Malam hari menjelang tidur, aku berusaha memejamkan mata. Tapi entah mengapa pikiranku melayang kemana-mana. Kulihat ke arah samping, tampak Mas Fahmi yang sudah tertidur. Mungkin karena pengaruh obat yang membuatnya mengantuk. Aku merasa jijik dengan Mas Fahmi. Membayangkan ia dengan Mbak Hani berbagi peluh dan berbagi kemesraan, membuatku bergidik. Aku tidak bisa membayangkan, jika aku harus berbagi ranjang dengan perempuan lain. Apalagi dengan Mbak Hani. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ikhlas jika tubuhku ini disentuh oleh Mas Fahmi, walaupun ia masih menjadi suamiku yang sah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi aku seperti insomnia. Memikirkan hal-hal yang terjadi padaku. Allah begitu sayang padaku, hingga aku diberi cobaan sebesar ini. Aku berusaha bersugesti positif terhadap hidupku. ***Azan subuh berkumandang, segera aku bangun. Menunaikan salat subuh dan beraktivitas seperti biasa. Ibu juga sudah bangun. Aku segera memasak air.Sambil me
Semua sudah berkumpul disini, untuk makan malam bersama. Ibu bertindak seolah-olah beliau adalah tuan rumahnya. Aku, Arya dan Adiva yang sibuk wara-wiri menyiapkan semuanya."Ayo kita makan, ini semua Ibu yang masak," ajak Ibu pada semua yang hadir."Ibu memang hebat, masak semua ini," sahut Fariz."Jangan remehkan Ibu yang sudah tua ini. Walaupun nggak ada yang membantu, tapi masih mampu melakukannya," sinis Ibu berkata sambil menatapku.Aku hanya terdiam. Sudah aku duga, pasti Ibu akan berkata seperti itu. Satu persatu mereka mengambil makanan dan suasana makan tampak ramai. Sambil makan sambil berceloteh, aku hanya menjadi pendengar saja. Selesai makan malam, kami masih berkumpul untuk ngobrol-ngobrol. Anak-anak main ponsel di teras depan rumah.Mulailah Ibu mengeluarkan segala yang ada di pikirannya."Hanum, Ibu nggak mau tahu ya? Jangan lagi mengungkit-ungkit kecurigaanmu. Kalau masih mau bersama Fahmi, diam, nggak usah banyak komentar. Kurangi rasa cemburu itu. Kalau suami sel
Aku bimbang, sebenarnya aku masih sangat mencintai Mas Fahmi. Tapi disisi lain aku sangat kecewa dan membenci kelakuannya. Berselingkuh itu menurutku sudah merupakan kesalahan besar. Dia sudah mempermainkan janjinya ketika menikah dulu. Aku memiliki teman yang suaminya berselingkuh. Aku dan beberapa teman menyarankan untuk berpisah saja. Tapi ia tetap mempertahankan rumah tangganya. Karena ia memikirkan anak-anaknya. Ternyata keputusan untuk bertahan itu sangat tepat. Mereka memulai lembaran baru dan mereka terlihat bahagia. Apa aku harus seperti itu ya? Aduh pusing kepalaku. Menasehati orang kayaknya mudah, begitu aku mengalami masalah yang sama, ternyata sudah untuk mengambil keputusan."Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya," kata Mas Fahmi lagi.Belum sempat aku menjawab, terdengar pintu depan di ketuk. Aku segera beranjak dari duduk dan berjalan menuju ke pintu.Kulihat Mbak Hani di depan pintu dengan wajah sayu. Mungkin ini
"Hani! Kamu ulangi lagi ucapanmu tadi. Biar semua tahu," teriak Ibu dengan sinis."Aku hamil," kata Mbak Hani pelan."Apa?" teriak Mas Hanif yang duduk disampingku."Aku hamil anaknya Fahmi," ucap Mbak Hani lagi.Ayah langsung mendekati Mas Fahmi.Plak! Plak!"Ayah," teriak Ibu.Walaupun Ibu marah dengan Mas Fahmi, mungkin ia tetap tidak tega, melihat Mas Fahmi ditampar oleh Ayah. "Otak itu dipakai untuk mikir! Jangan hanya mikir nafsu saja. Kalau sudah seperti ini, mau apa lagi?" kata Ayah dengan marah."Hanif, tolong telepon bapakmu. Kalau bisa kesini sekarang," kata Ayah pada Mas Hanif."Iya, Pak," jawab Mas Hanif. Kemudian menelepon Bapak."Tunggu Pak Irwan sampai, baru kita bicarakan lagi," kata Ayah. Irwan adalah nama bapakku.Kami semua larut dengan pikiran masing-masing, sambil menunggu kedatangan Bapak dan Ibu."Assalamualaikum." Terdengar suara Bapak mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Ayah menjawab salam."Ada apa ini? Kok semua ngumpul disini? Lho Hani sudah disini ya? K
Aku duduk kembali dan bergabung bersama mereka, karena ayah yang meminta."Fahmi, kamu tinggal di rumah Ayah saja. Biarkan Hanum dan anak-anak tinggal disini," kata Ayah."Nggak bisa, Yah. Ini kan rumahnya Fahmi. Kok Fahmi yang harus keluar," teriak Ibu."Sudah, Bu. Nggak usah diungkit-ungkit lagi," bentak Ayah.Ibu langsung terdiam mendengar Ayah membentaknya. Kasihan juga melihat Ibu dibentak Ayah seperti itu. Tapi memang Ibu yang nyebelin."Nggak usah, Yah. Biar saya dan anak-anak yang keluar dari rumah ini. Saya nggak mau nanti diungkit-ungkit terus," kataku."Anak-anak tinggal sama Fahmi saja," celetuk Ibu."Nggak bakal mau, Bu. Anak-anak pasti ikut saya.""Oh, kamu sudah menghasut mereka ya? Nanti biar Ibu yang berbicara dengan mereka," lanjut Ibu."Silahkan saja. Maaf saya mau ke kamar, mau mulai berkemas-kemas," pamitku, kemudian aku melangkah menuju ke kamar. Sampai di kamar, aku mulai berkemas-kemas untuk membawa barang-barangku. Lebih baik aku pergi, biarlah aku tidak ting
Aku segera keluar dari kamar untuk melanjutkan menonton televisi. Sambil tiduran di sofa, mataku menatap layar televisi tapi pikiranku kemana-mana.Terdengar seseorang memanggilku. Aku terbangun, berarti aku tadi ketiduran waktu menonton televisi. Kulihat Arya di sampingku."Ibu kenapa tidur disini?" tanya Arya."Nggak apa-apa," jawabku."Ibu bertengkar lagi dengan Ayah?" "Nggak kok.""Maaf, Arya. Ayah dan Ibu sudah tidak bisa bersama lagi. Ibu tidak akan memaksa kalian ikut dengan Ibu. Semua terserah kalian. Beberapa hari lagi Ibu akan keluar dari rumah ini.""Kenapa Ibu harus keluar dari rumah ini? Ibu mau tinggal dimana?" "Karena Ibu tidak bisa satu atap dengan ayahmu lagi. Tadi sore Ibu sudah mencari rumah kontrakan. Kecil sih, ada tiga kamar. Tapi nggak masalah bagi Ibu. Kalian mau tinggal disini nggak apa-apa. Ada Ayah yang akan selalu menjaga kalian."Aku menahan air mataku supaya tidak jatuh. "Apakah Ibu dan Ayah harus berpisah? Tidak adakah pintu maaf untuk Ayah?" tanya Ar
"Biarlah Mas, malas berurusan dengan Ibu. Tapi semua sertifikat ada ditanganku.""Wah, pintar juga kamu haha…."Aku dan Mbak Sarah ikut tertawa.Setelah membantu berberes-beres, Mas Hanif, Mbak Sarah dan anak-anaknya pulang.Hari yang sangat melelahkan, mulai dari berkemas-kemas di rumah lama, pindahan kesini dan membereskan barang-barang. Sisanya besok saja dilanjutkan."Malam ini Ibu tidur dengan Adiva dulu ya? Kamar Ibu belum ada kasurnya," kataku pada anak-anak ketika menjelang tidur."Nggak apa-apa kok, Bu. Kita tidur ramai-ramai disini. Kasur dua digabung jadi lumayan luas kan?" usul Adiva."Betul itu. Biar Arya yang angkat kasur satunya kesini," kata Arya beranjak ke kamarnya.Malam ini kami tidur bertiga di rumah kontrakan.***Pagi ini aku berangkat ke sekolah, dari kejauhan kulihat mobil Mas Fahmi parkir di depan TK. Aku malas bertemu dengannya, akhirnya aku berhenti dan masuk ke sebuah warung.Aku mengirim pesan pada Susan.[Assalamualaikum, Susan. Ibu ke dinas pendidikan d
"Bagaimana Mbak Hani, Bu?" tanyaku pada Ibu. Walaupun aku sangat membencinya, ia tetaplah kakakku. "Di rumah terus sekarang, sering melamun. Kemarin habis kontrol ke dokter kandungan. Kehamilan Hani sangat rentan, mengingat usia sudah diatas empat puluh tahun. Karena itu diberi berbagai vitamin untuk menguatkan kondisi janin. Tadi ia sudah tidur, makanya kami tinggal." Ibu menjawab dengan nada sedih."Maafkan Hanum, Bu. Untuk beberapa waktu kedepan, Hanum belum bisa berkunjung ke rumah Ibu. Hanum masih belajar untuk menahan emosi dan menerima kenyataan yang ada. Masih menata hati untuk menjadi lebih baik lagi. Takutnya kalau bertemu dengan Mbak Hani, malah jadi emosi. Semoga Bapak dan Ibu bisa memahami kondisi Hanum," aku berkata memberi penjelasan pada Bapak dan Ibu."Bapak mengerti dengan kondisimu, Nok, dan bisa memakluminya. Kami tidak bisa memaksa kamu untuk memaafkan Hani. Bukannya kami membela dan pilih kasih pada Hani. Kamu berdua anak Bapak dan Ibu, kami tidak membedakan ka