"Bu, ayo makan. Tadi Adiva beli ayam geprek," ajak Adiva."Oke, ayo makan.Kami makan dulu ya, Mas?" kataku pada Mas Fahmi.Kami bertiga makan dengan lahap, terutama aku. Mungkin karena aku belum makan dari pagi. Nikmatnya jadi orang sehat, bisa menikmati makanan dengan enaknya. Mas Fahmi hanya melihat kami, sesekali ia tersenyum.Selesai makan, Arya dan Adiva pulang."Jangan lupa, kunci semua pintu ya?" pesanku pada anak-anak."Iya, Bu." Mereka menjawab hampir bersamaan. Kemudian mereka pamit pada ayahnya. Tinggal aku berdua dengan Mas Fahmi."Mas, aku mandi dulu, ya? Rasanya gerah sekali," ucapku.Mas Fahmi hanya mengangguk. Aku pun segera mandi, tapi dengan metode kilat khusus, alias cepat. Segarnya badan dan pikiranku. Selesai mandi aku langsung salat magrib. "Mas, ayo minum obatnya dulu," kataku mendekati Mas Fahmi. Ia pun mengangguk. Aku membantunya untuk duduk. Kemudian memberinya obat untuk diminum. "Mau berbaring lagi?" tanyaku."Nanti saja, Bu. Mau duduk saja, punggung ter
"Assalamualaikum, Bu?" Aku menyapa Ibu melalui saluran telepon."Waalaikumsalam, kamu dimana Hanum? Tadi Ibu ke TK, ternyata sudah sepi. Ibu ke rumah juga tutup." Ibu langsung nyerocos."Hanum di rumah sakit, Bu?""Ha? Kamu sakit apa? Kok nggak ngasih tahu Ibu?" Terdengar suara Ibu yang kaget mendengar kata-kataku."Mas Fahmi yang sakit, Hanum menungguinya.""Kamu masih mau merawatnya? Setelah apa yang ia lakukan?" seru Ibu dengan emosi."Iya, Bu. Mas Fahmi masih suami Hanum, Bu. Jadi Hanum masih berkewajiban merawatnya.""Ya, sudah. Nanti Ibu kesana."Aku menghela nafas panjang, aku tahu kalau Ibu kecewa dengan Mas Fahmi. Memang Mas Fahmi yang salah.***Ketika jam besuk, Arya dan Adiva datang membawakanku makanan dan pakaian. Mereka hanya sebentar, karena banyak tugas yang harus dikerjakan. Ketika pulang, aku memintanya untuk membawa pakaian kotor."Hati-hati di rumahnya?" Aku mewanti-wanti anak-anak."Siap,Bu bisa." Arya dan Adiva begitu mandiri. Mereka sudah tahu apa yang harus d
"Kenapa Mas nggak mau mengakuinya di depan Ibu? Apa Mas takut dicoret dari daftar warisan?" cecarku."Ngapain kamu sibuk ngomongin warisan? Kamu tidak berhak atas warisan dari kami." Ibu berkata dengan keras."Memang saya nggak berhak atas warisan itu, saya hanya ingin membuktikan kalau Ibu berani bertindak sesuai ucapan Ibu. Kenapa Mas Fahmi diam saja? Mana tangisan Mas waktu mengakui kalau Mas selingkuh? Kok nggak berani ngomong di depan Ibu? Takut sama Ibu, tapi dzolim dengan istri dan anak-anak. Memalukan sekali Mas!""Sudahlah Hanum, nggak usah bicara seperti itu lagi. Fahmi sedang sakit, nanti dia malah semakin parah," kata Ayah menengahi perdebatan kami."Ayah, beberapa hari Mas Fahmi nggak pulang, bersenang-senang dengan Mbak Hani. Giliran sakit, baru ingat pulang. Dan gara-gara Mas Fahmi tidak mengaku di depan Ibu, Ibu menuduh saya mengada-ada." Aku mencoba meminta dukungan dari Ayah mertua."Memang kamu itu mengada-ada, kok! Suami setia kayak gini kok dituduh selingkuh. Kamu
"Kenapa? Kami mau membela Hanum? Pikiranmu itu sudah diracuni oleh Hanum. Sudah Hanum, kamu pulang saja. Biar Ibu yang mengurus Fahmi. Tunggu saja surat perceraian kalian. Dan kamu siap-siap keluar dari rumah itu," kata Ibu dengan ketus."Ibu! Kok ngomong seperti itu?" tanyaku."Ibu sudah bosan punya menantu seperti kamu.""Oh, begitu ya? Baik, Bu. Saya tunggu surat perceraian itu, tapi saya juga akan menyiapkan laporan perselingkuhan ke atasan Mas Fahmi. Karena saya punya buktinya. Jadi Mas Fahmi, bersiap-siap untuk dipecat dari PNS."Aku segera mengambil tasku, dan bersiap untuk pulang. Wita menarik tanganku."Mbak, jangan mengambil keputusan dalam kondisi emosi. Nanti akan menyesal. Pikirkan baik-baik.""Maaf, Wita. Semua karena Mas Fahmi tidak mau mengakui perselingkuhannya di depan Ibu. Mas Fahmi terlalu pengecut menjadi seorang laki-laki. Semoga saja Arya tidak seperti ayahnya.""Diam semuanya," teriak Mas Fahmi.Aku terkejut dan melihat ke arahnya. Ibu mendekati Mas Fahmi dan m
"Assalamualaikum," sapaku menjawab panggilan dari Opik."Waalaikumsalam. Num, kamu kok nggak nungguin Mas Fahmi? Aku tadi ke kamarnya, ada ibunya Mas Fahmi. Ngoceh-ngoceh nggak karuan gitu." Opik langsung saja nyerocos."Maksudnya ngoceh gimana?""Biasalah, Num. Ngomongin kamu.""Oh, biarin aja.""Kok kamu pulang?""Aku diusir sama Mas Fahmi.""Kok, bisa?""Panjang ceritanya. Kalau diceritakan, minggu depan baru selesai," candaku pada Opik."Haha…. Aku siap mendengarkan. Kalau dibuat sinetron berapa episode?" "Banyak….haha….""Kamu ini masih bisa bercanda ya?" kata Opik."Biar nggak terlalu stress."Aku pun menceritakannya pada Opik. "Harusnya ibunya Mas Fahmi dibawa ke psikolog itu. Dia sebenarnya tahu kalau anaknya selingkuh, tapi mengingkarinya. Karena untuk menutupi kekecewaan atas kelakuan anaknya.""Iya, aku yakin dalam hati kecilnya, Ibu pasti sangat kecewa. Tapi terlalu gengsi untuk mengakuinya.""Sudah nggak usah jadi beban pikiran. Kamu harus semangat demi anak-anak. Masal
"Hani! Sudah kalian nggak usah ribut. Malu kalau nanti didengar tetangga," kata Bapak melerai kami. "Hanum itu yang memulai duluan." Mbak Hani berteriak membela diri."Aku? Hello? Ini rumahku, yang datang kesini siapa? Jadi yang mengajak ribut siapa? Ngapain kamu tadi kesini? Aku kan nggak mengundangmu untuk datang?" tanyaku pada Mbak Hani. "Aku mencarimu di rumah sakit, tapi kamu nggak ada.""Mencariku? Nggak salah dengar? Bukannya kamu mau bertemu dengan Mas Fahmi. Gimana di rumah sakit tadi? Bertemu dengan calon mertua ya? Sekalian cari muka biar disayang calon mertua. Minta restu sekalian nggak?" cecarku dengan banyak pertanyaan."Restu? Apa maksudnya?" tanya Ibu."Mas Fahmi dan Mbak Hani berencana untuk menikah siri. Kok mau-maunya diajak menikah siri, Mbak? Apa itu hanya tameng biar nggak dikatakan melakukan zina? Perempuan kok nggak punya harga diri."Plak! Tiba-tiba Mbak Hani menamparku. Aku memegang pipiku yang terasa panas."Hani!" teriak Bapak.Terdengar suara motor masuk
"Jangan mulai lagi kamu, Hanum," teriak Mbak Hani menatapku dengan tajam. Aku menatapnya dengan sinis."Sudah, jangan ribut terus. Bapak jadi pusing melihat pertengkaran kalian." Aku dan Mbak Hani hanya terdiam."Pak, maafkan Hanum kalau membuat Bapak bersedih. Hanum nggak tahu apa yang harus dilakukan. Semua diluar kendali Hanum, Pak. Hanum nggak bisa berpikir dengan jernih. Yang Hanum pikirkan hanya anak-anak. Hanum nggak mau anak-anak menjadi tertekan karena masalah ini." Aku berkata sambil menangis dan mendekati Bapak.Bapak mengelus kepalaku."Bapak tahu, masalah ini terlalu berat bagimu. Tapi yakinlah, masih ada Allah. Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatnya. Pasrahkan semua pada Allah." Bapak memberikan aku semangat. Aku mengangguk."Doakan Hanum ya, Pak. Semoga Hanum mampu melewati semua ini."Ibu memelukku sambil menangis."Ibu yakin, kamu bisa melewatinya. Bapak dan Ibu akan selalu mendukung keputusanmu. Selalu hubungi kami kalau kamu perlu tempat untuk
Malam hari menjelang tidur, aku berusaha memejamkan mata. Tapi entah mengapa pikiranku melayang kemana-mana. Kulihat ke arah samping, tampak Mas Fahmi yang sudah tertidur. Mungkin karena pengaruh obat yang membuatnya mengantuk. Aku merasa jijik dengan Mas Fahmi. Membayangkan ia dengan Mbak Hani berbagi peluh dan berbagi kemesraan, membuatku bergidik. Aku tidak bisa membayangkan, jika aku harus berbagi ranjang dengan perempuan lain. Apalagi dengan Mbak Hani. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ikhlas jika tubuhku ini disentuh oleh Mas Fahmi, walaupun ia masih menjadi suamiku yang sah. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi aku seperti insomnia. Memikirkan hal-hal yang terjadi padaku. Allah begitu sayang padaku, hingga aku diberi cobaan sebesar ini. Aku berusaha bersugesti positif terhadap hidupku. ***Azan subuh berkumandang, segera aku bangun. Menunaikan salat subuh dan beraktivitas seperti biasa. Ibu juga sudah bangun. Aku segera memasak air.Sambil me