Beranda / Pernikahan / Kakak Iparku Mencintaiku / Bab 1 - Temani Aku Tidur

Share

Kakak Iparku Mencintaiku
Kakak Iparku Mencintaiku
Penulis: EYN

Bab 1 - Temani Aku Tidur

Penulis: EYN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Semalam Lillian menunggu suaminya pulang, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Jangankan datang, memberi kabar pun tidak. Ponsel laki - laki itu tidak aktif. Seharian Lillian memeriksa aplikasi percakapan antara dirinya dan Ernest, tapi tidak ada tanda - tanda suaminya berusaha menghubungi. Halaman percakapan pribadinya kosong, dan di daftar panggilan tak terjawab juga tidak tertera nama Ernest.

Mengingat semua itu, Lillian jadi tidak selera menyelesaikan pesanan design yang sedang dikerjakannya. Mendadak saja dia jadi lesu. Pekerjaan design favorite-nya, kini tidak lagi menarik.

Lillian duduk di lantai dan memandang layar laptop dengan tatapan kosong. Ini bukan pertama kalinya kelakuan Ernest seperti ini. Kian hari kian menjadi. Dia sering hilang dan muncul sesuka hati, bahkan hingga berhari - hari menghilang tanpa kabar.

Mencoba menenangkan diri, Lillian berdiri lalu mengambil botol anggur koleksi Ernest dari lemari kaca. Dia menuangnya ke gelas kaca dan meminumnya dalam sekali teguk.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Lillian dengan antusias segera menyambar benda pipih itu dan membaca.

"Hai, sudah tidur?"

Bahunya luruh. Bukan Ernest. "Belum." Dia menjawab pesan seadanya.

"Jam segini?"

"Yes."

"Sudah makan malam?"

Lillian termenung. Andai saja yang menanyakan ini adalah Ernest, tentu hatinya akan melayang. Deringan nada panggil ponsel mengagetkan lamunannya. Harvey!

Sebelum Lillian sempat menyapa, suara Harvey sudah terdengar dari seberang sana. "Aku di depan." 

"Hah? Tunggu."

Secara otomatis Lillian berlari ke pintu dan membukanya. Dia melihat Harvey ada di depan pintu sambil tersenyum padanya. "Hai," sapanya sambil mengangkat kantong - kantong makanan di tangannya lalu menggoyangkannya di depan Lillian. "Aku tak sanggup menghabiskan semua ini. Bantu aku menghabiskannya."

Lillian menggelengkan kepala. "Kalau tak sanggup menghabiskan, kenapa membeli sebanyak itu?"

Harvey tak menjawab. Dia berjalan masuk menuju ke bar dapur rumah adik iparnya, lalu meletakkan barang - barang bawaannya ke atas meja. Makanan demi makanan dikeluarkan satu per satu dari kotak dan dipindahkan ke piring saji.

Lillian menatap ke arah Harvey yang ternyata juga menoleh kepadanya. "Aku tahu kamu belum makan malam. Ayo, makan!" perintahnya.

Masih sambil menatap Harvey, Lillian melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa kamu sedang ada masalah, Harvey?"

Ini bukan pertama kalinya mereka makan bersama tanpa Ernest. Lelaki ini tinggal di perumahan yang sama dengan Lillian, hanya selisih beberapa nomer. Jika laki - laki itu memiliki masalah atau sebaliknya Lillian sedang banyak pikiran, maka keduanya akan saling bertamu, makan, minum atau sekedar ngobrol.

Hubungan mereka sangat unik. Keluarga mereka punya hubungan yang sangat dekat, demikian pula dengan Harvey, Lillian dan Ernest. Namun Harvey lebih serius menata masa depan dibanding dengan Ernest. Hari - hari Harvey yang sibuk, membuka kesempatan bagi Ernest untuk mengambil hati Lillian lalu melamarnya.

Harvey mengangkat bahunya. "Bukannya kamu yang sedang ada masalah, Lily?"

"Aku? Tidak!" bantah Lillian, berusaha menutupi fakta kalau dirinya sedang gelisah karena Ernest menghilang tanpa kabar.

Harvey bersedekap, meniru gaya Lillian. "Lalu kenapa ada wine disitu?" Matanya melirik meja kecil di dekat lemari kaca.

"Terserah kamu saja." Lillian menjawab dengan tak acuh. Sebenarnya, dia ingin bercerita tentang perubahan Ernest. Tapi Lillian tahu kalau kakak iparnya itu selalu berada di pihaknya. Salah - salah Ernest bisa habis dihajar oleh Harvey.

Di sisi lain, Lillian juga tahu kalau dia butuh teman untuk minum bersama dan menghilangkan pikiran negatif yang muncul tentang Ernest. Dan dari dulu hingga saat ini, Harvey masih tetap pilihan yang terbaik. Laki - laki yang berusia enam tahun di atasnya itu selalu berhasil membuat perasaannya lebih baik.

"Buka mulutmu!" perintah Harvey kembali terdengar. Sepotong dark cokelat sudah berada tepat di depan mulut Lillian.

"Aku bisa --... hmpf...." Lillian merasakan sesuatu yang padat dijejalkan ke dalam mulutnya saat hendak memprotes Harvey kalau dirinya bukan anak kecil lagi, tidak perlu disuapi.

"Makan!" perintah Harvey tak bisa dibantah.

Lillian melotot. Tapi tak urung, mulutnya mengunyah, rasa pahit cokelat bercampur manisnya wine yang ada di tengah cokelat merupakan kombinasi yang memanjakan lidah, membuat perasaannya terasa lebih baik.

"Belajarlah dari pengalaman. Pilih laki - laki yang bisa memberimu segalanya. Jangan menikah hanya karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat." ucap Harvey memecahkan keheningan.

Lillian menghentikan kunyahannya, membiarkan cokelat meleleh dengan sendirinya di mulut. Dia menatap Harvey dengan sorot yang tak terbaca.

"Cari tahu apa yang dilakukan oleh suamimu diluar sana. Pastikan dirimu selalu baik - baik saja." lanjut Harvey lagi.

"Aku tidak pernah mendengar gosip atau berita tidak benar tentang Ernest diluar sana." tolak Lillian dengan nada tak yakin.

Harvey meletakkan pasta dan daging merah ke atas sebuah piring lalu menyodorkannya pada Lillian. "Kamu tahu kalau dia dari dulu hanyalah seorang pengacau. Sayangnya, para wanita selalu tergila - gila pada wajah tampan dan sikapnya yang ramah."

Kenyataan yang diucapkan oleh Harvey membuat Lillian kesal. Dia marah. Andai saja waktu bisa diputar kembali, tentu dia ingin mengulang semuanya. Keluarganya dan juga Harvey sudah melarang dirinya menerima lamaran Ernest. Ya, Harvey benar. Dia menikah hanya karena terlalu cinta pada Ernest.

Malu bercampur marah, Lillian menghabiskan semua makanan yang disodorkan oleh Harvey sebagai pelampiasan. Sialnya, makanan enak dan cokelat tak berhasil membuat Lillian tenang. Masih dalam mode uring - uringan, dia mendorong piring kosongnya dan mengangkat kedua tangannya. "Sepertinya kamu berhasil menakutiku, Harvey."

"Aku hanya berkata jujur, Lili. Berbohong bukan kebiasaanku. Aku mengatakan ini karena aku mengenal siapa adikku dan aku tidak ingin kamu terpuruk suatu hari nanti."

Lillian tidak bisa menahan kekesalannya. Sungguh, dia butuh teman. Tapi tampaknya kali ini Harvey tidak berniat membuatnya lebih baik. Pikiran buruk kembali menyerangnya, Lillian frustasi dan berjalan menuju ke meja kaca tempat dimana wine-nya berada.

"Aku butuh minum," serunya sembari menuangkan minuman dan menenggaknya hingga tandas.

"Wow! Wow! Kamu benar - benar ada masalah rupanya," ujar Harvey dengan wajah serius. Meski sebenarnya dia tahu kalau mobil Ernest tidak ada di rumah berhari - hari. Itulah alasan sebenarnya kenapa dirinya mampir, untuk menghibur adik ipar kesayangannya. Tapi mulut lancang ini sedang tidak ingin berkata manis soal Ernest.

"Aku rasa kamu benar, Har. Ernest sudah tidak mencintaiku lagi."

"Ernest tidak pernah mencintai siapa pun. Yang dia cintai hanya dirinya sendiri," sahut Harvey kemudian. Dia benar - benar marah setiap kali membahas kelakuan Ernest yang seringkali menyakiti Lillian, wanita yang sudah dijaganya sejak kecil.

Lillian duduk di kursi dan kembali meminum minumannya. Hatinya terasa sakit. Tidak ada satu orang pun yang terlalu sibuk hanya untuk sekedar memberi kabar, kecuali dirimu bukan prioritasnya lagi. Pemikiran seperti itulah yang membuat Lillian kian sedih.

"Aku mengerti perasaanmu." Harvey ikut duduk di kursi, memutar kursi Lillian hingga menghadap kepadanya. "Sekarang katakan padaku. Apa yang kamu ingin aku lakukan terhadap laki - laki sialan itu?" tanyanya untuk memastikan. Lillian selalu marah padanya setiap kali dia menghajar Ernest.

"Aku tidak tahu."

"Sayang, masalah kalian tidak akan selesai kalau kamu sendiri tak tahu apa yang kamu inginkan."

"Masalahnya, aku tidak siap menghadapi kenyataan saat menemukan bukti. Aku harus bagaimana? Menceraikan Ernest?"

"Kan aku sudah pernah bilang kalau aku akan selalu ada untukmu," ucap Harvey dengan nada lebih lembut.

Lillian memutar bola matanya, lalu dia meneguk anggurnya lagi dan lagi.

Harvey mengamati teman kecilnya itu lekat - lekat. Dia tampak kacau, tapi tetap saja tak mengurangi daya tariknya. Bagi Harvey, Lillian adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat. Bahkan mantan istrinya yang fashionable dan pintar berdandan pun tidak bisa mengalahkan. Sial, dirinya tidak minum tapi malah mabuk oleh pesona Lillian.

"Kamu tahu, Har? Setidaknya dalam rumah tangga, dirimu lebih beruntung dariku," celoteh Lillian, mulai meracau.

Harvey tertawa ironi. "Istriku pergi dengan pria lain. Kamu bilang aku lebih beruntung?"

"Setidaknya kamu bebas bersama wanita mana pun tanpa rasa bersalah."

"Semua itu adalah keputusan, Lili. Kamu juga berhak bahagia kalau lelakimu terbukti berkhianat."

Kalimat terakhir Harvey terasa sangat menyakitkan, Lillian mengambil botol kedua dan meminumnya tanpa jeda. Harvey menahan tangan Lillian saat hendak menuangkannya sekali lagi. "Hey! Hey! Sudah cukup."

"Aku benar - benar butuh minum, Harvey."

"Kamu butuh tidur, Sayang." ucap Harvey lembut tapi tegas. Dia menggendong tubuh wanita itu dan membawanya ke tempat tidur. "Wajahmu merah karena mabuk," gumamnya sambil mengedarkan pandangan untuk mencari remote AC. 

Tapi saat Harvey hendak berdiri, Lillian menarik tangannya kuat - kuat hingga kakak iparnya itu jatuh di atas tubuhnya. "Temani aku tidur seperti dulu setiap kali aku merasa sedih."

Bab terkait

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 2 - Suasana Aneh

    Harvey terkejut. Tubuhnya seperti tersengat listrik saat dadanya yang bidang bertemu dengan tubuh bagian depan Lillian yang lembut. Posisi mereka benar - benar saling menempel, mata Harvey bertemu dengan tatapan sayu milik Lillian. "Oh, Lili. Jangan menggodaku atau kamu akan menyesal." Harvey berbisik dengan suara serak. Ketegasannya menguap entah kemana. Permintaan Lillian untuk tidur bersama membuat pikirannya tak waras. Dulu mereka memang sering tidur bersama, tapi itu dulu sekali ketika Harvey belum menyadari kalau Lillian adalah wanita yang menarik. Saat itu mereka hanya tidur, benar - benar tidur. Tidak ada seks atau apa pun. Belum berhasil mengumpulkan kewarasan, Lillian malah melingkarkan tangannya ke bahu Harvey, memaksa laki - laki itu mendekat. Lalu dengan cepat Lillian menyambar bibir Harvey dan menikmatinya dengan rakus. Harvey baru tahu kalau ternyata bibir Lillian selembut ini. Aroma wine yang tersisa, membuat pikiran laki - laki itu kian melayang. "Oh, Lili." Harvey

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 3 - Hal Buruk

    "Ada apa?" tanya Harvey penuh selidik.Dari sudut matanya, dia bisa merasakan perubahan sikap Lillian. Wanita itu duduk dengan tegang sambil memandang ponsel ditangannya seperti sedang menerima kabar buruk.Melihat Lillian tercenung, Harvey mengulang pertanyaannya, "Ada apa? Apa sesuatu yang buruk terjadi?"Bukannya menjawab, Lillian malah mematikan ponsel dan buru - buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas, lalu memeluk tasnya erat - erat. Caranya memegang seakan mencegah siapa pun menyentuh tas itu."Tidak. Tidak ada apa pun selain tugas mendadak dari atasanku yang menyebalkan," bohongnya dengan suara terbata - bata."Kamu tidak pintar berbohong, Lili," jawab Harvey dengan nada suara rendah.Lillian semakin erat memeluk tas miliknya sambil bergumam, "Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahku sendiri, Har."Harvey menghela napas, kantor Lillian sudah terlihat di depan sana. Dia juga tak ingin merusak mood Lillian hari ini. Harvey menghentikan mobilnya tepat di depan lobby p

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 4 - Total 1M

    "Sepertinya Ernest pulang," ucap Lillian. Dagunya menunjuk kearah mobil di depan mereka.Kening Harvey berkerut. "Itu bukan mobil Ernest. Ini sudah malam, aku tak suka ada orang asing datang ke rumahmu.""Bisa saja itu mobil barunya. Dia baru saja menggunakan kartu kreditku dalam jumlah besar... --" Lillian terdiam dan menggigit lidahnya sendiri yang terlalu jujur.Harvey mengurungkan niat keluar untuk membuka pintukan pintu bagi Lillian. Laki - laki itu menutup kembali pintu mobil dan menatap tajam Lillian. "Kamu memberikan kartu kreditmu pada Ernest dan membiarkan dia berbelanja dengan sesuka hati?" tegurnya keras."Oh, ehm, Ernest yang akan membayar tagihannya. Ehm, iya. Itu pasti. Jangan berlebihan, Harvey. Kami adalah suami istri. Uangnya adalah uangku. Dan uangku adalah uangnya. Bukankan seperti itu?" cicit Lillian tanpa berani melihat kearah Harvey. Hatinya mengutuki dirinya sendiri yang selalu keceplosan di depan Harvey."Uang suami adalah uang istri. Tapi uang wanita milik wan

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 5 - Firasat

    Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru. Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja. Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama. Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek sepe

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 6 - Tidur Bersama

    Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian. "Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual. "Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik. Harvey tertawa kencang melihat

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 7 - Ketenangan Sebelum Badai

    Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya mengham

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 8 - Harvey VS Ernest

    "Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 9 - Kelakuan Ernest

    "HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu

Bab terbaru

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 109 - Keluarga Kecil Bahagia

    Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 107 - Persalinan Darurat

    Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 106 - Misi Penyelamatan

    "Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 105 - Chaos

    "Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 104 - Firasat

    Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 103 - Call Me, Please...

    Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 102 - Terjebak Situasi

    "Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 101 - Pekerjaan Baru

    Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 100 - Kejutan

    "Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang

DMCA.com Protection Status