Beranda / Pernikahan / Kakak Iparku Mencintaiku / Bab 9 - Kelakuan Ernest

Share

Bab 9 - Kelakuan Ernest

Penulis: EYN
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. 

"Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya.

"Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey.

Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya.

"Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan.

"Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi.

"Tapi dia sudah membuatmu hidupmu sulit. Kamu dikejar - kejar debt collector karena dia pengecut. Kamu menanggung cicilan kartu kredit si brengsek ini. Enak saja dia hilang dan muncul sesukanya," protes Harvey.

"Tapi bukan seperti ini caranya, Har," ketus Lillian. Dia tahu bagaimana sifat Ernest, laki - laki itu bisa saja mengadukan Harvey ke polisi dengan pasal penganiayaan. Jujur, Lillian lebih khawatir pada nasib Harvey dibandingkan dengan keadaan Ernest yang babak belur saat ini. Tapi mulut dan hatinya seakan tidak sinkron, apa yang terucap berbeda dengan yang dipikirkan.

"Jangan ikut campur urusan kami, Har. Sebaiknya kamu pergi dari sini. Ini urusan rumah tangga. Kam itu cuma orang luar," potong Ernest. Dia duduk di sofa sambil memegang pipinya yang mulai bengkak, sengaja memasang ekspresi kesakitan untuk menarik simpati Lillian.

Lillian memang melihat Ernest kesakitan, tapi dia tidak berani meninggalkan mereka berdua untuk mengambil peralatan P3K. Ruangan ini masih dipenuhi dengan aura permusuhan. Salah - salah, Harvey kembali menghajar adiknya.

Harvey terdiam sambil menatap Lillian. Wanita bertubuh mungil itu tertegun mendapati ada kilatan sedih di dalam mata Harvey. Rasanya Lillian ingin memeluk Harvey saat itu juga. Dia tak tega melihat Harvey yang sakit hati dan kesepian. Sayangnya, disini ada Ernest yang kesakitan. Tidak etis rasanya kalau dia lebih condong ke kakak iparnya dari pada suami sendiri.

"Har, untuk malam ini. Hanya malam ini saja. Pulanglah ke rumahmu sendiri. Ernest benar. Kami akan menyelesaikan masalah ini berdua. Ya?" Kali ini Lillian mengucapkannya dengan nada lebih lembut, ada permohonan disana.

"Kamu juga mengusirku, Lili?" desis Harvey tak bisa lagi menyembunyikan sakit hatinya.

"Tidak, Har. Bukan seperti itu. Ini rumahmu. Tenangkan pikiranmu dulu, lalu kembalilah saat dirimu sudah lebih tenang. Aku tidak suka melihatmu melukai orang hanya karena emosi," jawab Lillian dengan sabar. Dia berusaha meredakan emosi Harvey.

Tapi siapa sangka, Lillian tak sengaja salah memilih kalimat. Kalimat terakhir terasa menyakitkan bagi Harvey. Lillian membela Ernest yang bisanya hanya menyusahkan orang lain. Kekesalan itu meluap begitu saja.

"Terserah kamu saja, Lili," geram Harvey, merasa sia - sia dirinya berada disini. 

Harvey mengalihkan pandangan dari Lillian ke Ernest. "Aku pergi karena Lillian yang memintanya. Jangan berani menyentuh dia seujung jari pun, atau aku akan membunuhmu! Aku tidak main - main," ancamnya.

Setelah itu Harvey keluar rumah dengan membanting pintu keras - keras. Bunyinya sampai membuat Lillian terjengit saking kerasnya. Dalam hati Lillian heran dengan emosi Harvey hari ini.

"Hei, Har! Ada apa denganmu?" Lillian berseru keras dari jendela, tapi Harvey tidak mendengarnya. Dia keluar pagar dan langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Raungannya menggema di jalanan yang sepi.

"Apa yang membuatnya begitu emosi? Apa sebenarnya yang terjadi tadi?" gerutu Lillian sambil mengambil peralatan P3K untuk mengobati memar di wajah dan luka di tangan Ernest. Harvey yang dikenalnya adalah tipe lelaki dewasa yang tenang dan mengayomi.

"Harvey memang gila. Posesif akut. Tukang ikut campur. Sok kuasa." Ernest mencaci maki sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di jendela dengan wajah puas karena rivalnya sudah berhasil disingkirkan. Ernest mengenal Lillian dengan baik. Wanita itu pasti membela yang lebih lemah. Oleh karenanya, Ernest sengaja tidak melawan, merelakan diri untuk menjadi samsak bagi Harvey. Dia punya tujuan lain datang ke rumah Lillian malam ini.

"Apa maksudmu?" Lillian berhenti tepat di depan Ernest sambil memegang kotak P3K. Cara bicara laki - laki itu membuat Lillian enggan mendekat, apalagi mengobati. Harvey yang dihina, Lillian yang merasa sakit hati.

Ernest malah berbalik lalu mendorong Lillian dengan kasar. Dia masuk ke kamar Lillian dan berkaca. Tulang pipinya robek tapi darah sudah berhenti. Lillian mengikuti Ernest, sambil terheran - heran pada dirinya sendiri. Sedikit pun tidak ada rasa iba pada Ernest.

Saat ini yang perasaan yang tersisa pada Ernest hanya satu, yaitu kewajiban. Iya. Dia tahu kalau laki - laki di hadapannya adalah suaminya. Seburuk - buruknya Ernest, Lillian tetap harus menghormati. 

"Dimana tasmu?" Ernest balik bertanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar dan menemukan sebuah tas tangan berwarna hitam teronggok diatas nakas.

Lillian mengerutkan kening ketika melihat Ernest menyambar tas miliknya dan menuang begitu saja isi tas ke atas tempat tidur. Ponsel, dompet, alat make up, handsanitizer dan beberapa keperluan wanita lain berserakan disana.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat semuanya berantakan," protes Lillian marah.

Ernest tak merespon. Dia mengambil dompet Lillian, membukanya dan mengambil semua lembaran uang yang ada disana lalu mengantonginya.

"Cih, cuma segini uangmu! Ini masih kurang."

Melihat gelagat buruk Ernest, Lillian membelalakkan matanya lebar - lebar. Dengan matanya, Lillian mengikutk gerak gerik Ernest. Kini laki - laki itu beralih ke ponsel Lillian dan mengutak atiknya. "Bagus. Kamu masih menggunakan password yang sama. Dasar bodoh!" ujarnya sambil tertawa licik.

Lillian merasa seperti tersengat lebah. Jangan - jangan.... 

"Hei! Kembalikan ponselku!" seru Lillian marah. Semua akun pribadi ada di ponselnya termasuk rekening bank dan e-money lainnya. Semua password yang dipakainya selalu sama sejak dia masih SMA. Lillian gemetar saat melihat Ernest membuka aplikasi berlogo salah satu bank swasta yang terkenal. Jangan sampai Ernest merampok dirinya. Seingat Lillian, Ernest sering meminjam uang darinya tapi tak pernah sekali pun dia mengembalikan.

"Ernest!" seru Lillian sambil menyambar ponsel miliknya. Namun Ernest lebih cepat, dia berkelit lalu mendorong Lillian hingga wanita itu terpental ke belakang.

"Mengganggu saja!" Ernest mengumpat sambil melanjutkan aksinya sambil berdiri memunggungi Lillian. Di lantai Lillian duduk dengan sambil menyentuh dahinya yang terasa nyeri karena terantuk nakas. Ini bukan pertama kali Ernest berlaku kasar seperti ini. Ingatan - ingatan masa lalu kembali muncul, sikap - sikap kasar Ernest. Setelah menikah, Ernest jadi kasar dan ringan tangan.

Sekali lagi Lillian mengusap dahinya yang sakit, lalu melihat jarinya sendiri. Untung saja tidak berdarah, meski kemungkinan besok akan lebam.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurliza Eri
Keren kak cerita semangat ya kak ...
goodnovel comment avatar
Effie Widjaya
lilian terlalu sabar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 10 - Bukan Urusanmu!

    "Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 11 - Cemburu

    Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 12 - Bukan Ciuman Sahabat

    "Ya, Sayang?" Suara lembut Ernest seakan bergema di suasana malam yang sepi. Lillian terhenyak. Dia seperti melihat Ernest di masa lalu. Laki - laki ramah dan lembut yang dicintainya. Waktu itu panggilan cinta berhamburan dari mulut manis Ernest, membuat Lillian mabuk kepayang. Siapa sangka, tiba - tiba saja Ernest berubah setelah mereka menikah. Laki - laki itu seperti menunjukkan sifat aslinya. Dia begitu kasar, suka menghambur - hamburkan uang dan ringan tangan. "Oke. Aku datang." Suara Ernest memudarkan lamunan Lillian. "Ern... -" Sebelum sempat Lillian menyelesaikan kalimatnya, Ernest sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Lillian begitu saja. Seketika pikiran buruk menyelusup di kepala dan hati Lillian bersamaan dengan angin malam yang menghembuskan udara yang dingin. Lillian memeluk dirinya sendiri, sekali lagi memandang mobil yang dikendarai Ernest. Kendaraan beroda empat itu pergi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Terlalu kecew

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 13 - Perasaan Yang Sama

    Telapak tangan Harvey mulai menyusup kebalik piama yang dipakai oleh Lillian, mengusap kulit halus yang ada di dalam sana. Perjalanan tangan Harvey begitu lancar hingga mendapati Lillian tidak memakai bra."Hm..., apa kamu mencoba menggodaku, Lili?" bisik Harvey di sela - sela ciumannya."Ha?""Lembut sekali," bisik Harvey semakin melantur. Tangannya dengan santai menyentuh bulatan kembar milik Lillian seakan benda itu miliknya.Lillian memutar matanya kesal. Di saat orang sedang terhanyut oleh suasana, kata - kata Harvey malah mengembalikannya pada sebuah kenyataan bahwa hubungan mereka terlarang."Har, stop! Kamu yang memancingku. Jangan katakan kamu ingin mengulang kesalahan yang sama lagi!" Lillian berusaha membentengi diri meski tidak ada ketegasan dalam nada suaranya. Akhir - akhir ini, Harvey terlihat lebih tampan dimatanya. Setiap kali bersama Harvey, Ernest pasti akan tersingkirkan dari pikirannya."Woops...!"Harvey tiba - tiba mengganti posisi mereka. Dia tertawa saat tubuh

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 14 - Posesif Dan Protektif

    Gara - gara melihat bekas merah di leher Lillian, pagi - pagi Harvey sudah uring - uringan. Harvey berusaha menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka dan menunggu Lillian turun dengan sendirinya. Dia sengaja tidak membangunkan wanita itu karena masih marah. Biar saja sekali - kali Lillian ijin tidak masuk kerja, toh jatah libur tahunan milik Lillian masih banyak. Harvey mengambil laptop, duduk di meja makan dan membukanya, lalu tangannya meraih mouse. Dalam sekejap layar monitor yang terpampang di hadapannya menampilkan nilai - nilai mata uang dunia, update harga logam mulia terkini hingga pergerakan saham pagi ini. Laki - laki itu mengerang kesal saat suara ponsel yang nyaring memecah konsentrasinya. Padahal dirinya mulai hanyut dengan berita - berita yang dibacanya. Telapak tangannya menggapai ponsel yang ada di sebelah laptop, lalu membaca nama yang tertera di layar. "Ya, Mama?" sapa Harvey begitu menempelkan ponsel di telinganya. Suaranya terdengar berat dan t

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 15 - Bertengkar

    Tangan Lillian bergetar saat melihat sisa saldo yang tertera di rekening bank-nya. Uang tabungannya terkuras habis. Di catatan transaksi jelas sekali tertera nama Ernest sebagai penerima dana. Suami kurang ajar itu benar - benar keterlaluan. Dia hanya menyisakan sedikit uang yang bahkan tak akan cukup untuk makan hingga akhir bulan.Uang tunai di dompet dan perhiasan juga sudah lenyap dibawa oleh Ernest. Mau menyebut Ernest dengan sebutan perampok tapi laki - laki itu suaminya. Lillian benar - benar geram. Perasaannya bercampur baur antara muak dan kalut. Tega sekali Ernest memperlakukan dirinya semena - mena seperti ini. Dia tahu kalau Ernest dari dulu tidak pintar mengatur keuangan tapi bukan berarti harus habis - habisan seperti ini kan? Mereka sama - sama bekerja, punya penghasilan masing - masing. Seharusnya uang tidak masalah kalau hanya untuk dipakai keperluan sehari - hari untuk dua orang. Selama ini, hanya pendapatan Lillian yang dipakai untuk biaya hidup. Pendapatan Ernest ya

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 16

    "Ada apa lagi? Apa soal Lillian lagi?" tanya Richard jengkel sambil menghampiri Harvey. Setelah membujuk Lillian berkali - kali tanpa hasil, Harvey langsung meminta Richard menemuinya di sebuah cafe.Saat ini mereka duduk di salah satu meja pojok yang jauh dari pandangan orang. Dua gelas kopi dan makanan ringan tersedia menemani bincang pagi ini. Richard menyeruput kopinya sambil memperhatikan cerita Harvey."Kenapa sih kamu tidak mau menuruti usul Amara?" tanya Richard masih jengkel."Tidak bisa. Lillian sedang dalam fase penolakan. Dia curiga Ernest punya wanita lain tapi tidak mau semakin tersulut oleh pernyataanku. Aku tidak mau semakin membuatnya tertekan lalu ngambek," jawab Harvey "Jadi dia ngambek gara - gara kamu ngomong soal itu? Bisa juga Lillian bersikap kekanakan," komentar Richard sambil menyesap kopinya. Di kepalanya Lillian tergambar sebagai wanita yang mandiri dan dewasa, apalagi saat menghadapi Ernest. Jarang sekali terlihat Lillian bermanja - manja.Harvey terkekeh

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 17 - Bersamaku Selamanya

    "Har... !" seru Lillian sekuat tenaga, tapi yang terdengar hanya sebuah bisikan. Tenggorokannya kering, sekujur tubuhnya bergetar menahan rasa sakit. "Tolong aku!" teriaknya lagi, tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Sekeras apa pun usahanya berteriak, dia tidak bisa bersuara. Mulutnya terbuka dan menutup lagi tapi tak ada terdengar apa pun. Tenggorokannya terasa kering. Lillian merasakan tubuhnya terjerembab di lantai yang dingin, terasa ada yang sakit di tulang belakangnya. Belum sempat dirinya bergerak, dia merasakan ada yang menarik rambutnya dengan keras. "Jangan pernah sentuh barang - barangku!" "Ernest!" pekik Lillian. Otaknya berputar cepat, berusaha mencerna perintah Ernest. Dia tak mengerti barang apa yang dimaksud oleh Ernest. Kulit kepalanya terasa perih, bisa jadi ada rambutnya yang tercabut karena jambakan Ernest. PLAAK! "Ssshh... " Kepala Lillian oleng ketika punggung tangan Ernest menempel tanpa belas kasihan di pipi kirinya, memberikan sensasi pana

Bab terbaru

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 109 - Keluarga Kecil Bahagia

    Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 107 - Persalinan Darurat

    Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 106 - Misi Penyelamatan

    "Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 105 - Chaos

    "Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 104 - Firasat

    Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 103 - Call Me, Please...

    Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 102 - Terjebak Situasi

    "Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 101 - Pekerjaan Baru

    Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert

  • Kakak Iparku Mencintaiku   Bab 100 - Kejutan

    "Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang

DMCA.com Protection Status