Gara - gara melihat bekas merah di leher Lillian, pagi - pagi Harvey sudah uring - uringan. Harvey berusaha menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka dan menunggu Lillian turun dengan sendirinya. Dia sengaja tidak membangunkan wanita itu karena masih marah. Biar saja sekali - kali Lillian ijin tidak masuk kerja, toh jatah libur tahunan milik Lillian masih banyak. Harvey mengambil laptop, duduk di meja makan dan membukanya, lalu tangannya meraih mouse. Dalam sekejap layar monitor yang terpampang di hadapannya menampilkan nilai - nilai mata uang dunia, update harga logam mulia terkini hingga pergerakan saham pagi ini. Laki - laki itu mengerang kesal saat suara ponsel yang nyaring memecah konsentrasinya. Padahal dirinya mulai hanyut dengan berita - berita yang dibacanya. Telapak tangannya menggapai ponsel yang ada di sebelah laptop, lalu membaca nama yang tertera di layar. "Ya, Mama?" sapa Harvey begitu menempelkan ponsel di telinganya. Suaranya terdengar berat dan t
Tangan Lillian bergetar saat melihat sisa saldo yang tertera di rekening bank-nya. Uang tabungannya terkuras habis. Di catatan transaksi jelas sekali tertera nama Ernest sebagai penerima dana. Suami kurang ajar itu benar - benar keterlaluan. Dia hanya menyisakan sedikit uang yang bahkan tak akan cukup untuk makan hingga akhir bulan.Uang tunai di dompet dan perhiasan juga sudah lenyap dibawa oleh Ernest. Mau menyebut Ernest dengan sebutan perampok tapi laki - laki itu suaminya. Lillian benar - benar geram. Perasaannya bercampur baur antara muak dan kalut. Tega sekali Ernest memperlakukan dirinya semena - mena seperti ini. Dia tahu kalau Ernest dari dulu tidak pintar mengatur keuangan tapi bukan berarti harus habis - habisan seperti ini kan? Mereka sama - sama bekerja, punya penghasilan masing - masing. Seharusnya uang tidak masalah kalau hanya untuk dipakai keperluan sehari - hari untuk dua orang. Selama ini, hanya pendapatan Lillian yang dipakai untuk biaya hidup. Pendapatan Ernest ya
"Ada apa lagi? Apa soal Lillian lagi?" tanya Richard jengkel sambil menghampiri Harvey. Setelah membujuk Lillian berkali - kali tanpa hasil, Harvey langsung meminta Richard menemuinya di sebuah cafe.Saat ini mereka duduk di salah satu meja pojok yang jauh dari pandangan orang. Dua gelas kopi dan makanan ringan tersedia menemani bincang pagi ini. Richard menyeruput kopinya sambil memperhatikan cerita Harvey."Kenapa sih kamu tidak mau menuruti usul Amara?" tanya Richard masih jengkel."Tidak bisa. Lillian sedang dalam fase penolakan. Dia curiga Ernest punya wanita lain tapi tidak mau semakin tersulut oleh pernyataanku. Aku tidak mau semakin membuatnya tertekan lalu ngambek," jawab Harvey "Jadi dia ngambek gara - gara kamu ngomong soal itu? Bisa juga Lillian bersikap kekanakan," komentar Richard sambil menyesap kopinya. Di kepalanya Lillian tergambar sebagai wanita yang mandiri dan dewasa, apalagi saat menghadapi Ernest. Jarang sekali terlihat Lillian bermanja - manja.Harvey terkekeh
"Har... !" seru Lillian sekuat tenaga, tapi yang terdengar hanya sebuah bisikan. Tenggorokannya kering, sekujur tubuhnya bergetar menahan rasa sakit. "Tolong aku!" teriaknya lagi, tapi tak ada suara yang bisa keluar dari mulutnya. Sekeras apa pun usahanya berteriak, dia tidak bisa bersuara. Mulutnya terbuka dan menutup lagi tapi tak ada terdengar apa pun. Tenggorokannya terasa kering. Lillian merasakan tubuhnya terjerembab di lantai yang dingin, terasa ada yang sakit di tulang belakangnya. Belum sempat dirinya bergerak, dia merasakan ada yang menarik rambutnya dengan keras. "Jangan pernah sentuh barang - barangku!" "Ernest!" pekik Lillian. Otaknya berputar cepat, berusaha mencerna perintah Ernest. Dia tak mengerti barang apa yang dimaksud oleh Ernest. Kulit kepalanya terasa perih, bisa jadi ada rambutnya yang tercabut karena jambakan Ernest. PLAAK! "Ssshh... " Kepala Lillian oleng ketika punggung tangan Ernest menempel tanpa belas kasihan di pipi kirinya, memberikan sensasi pana
"Hidup bersamaku selamanya." Lillian mendengus lalu mengomel. "Kamu ini tidak tahu tempat dan waktu kalau bercanda." "Aku serius." Lillian melongo. Dia kembali menatap Harvey dengan mata bulatnya yang cantik, menelaah setiap perubahan ekspresi yang tergambar di wajah tampan Harvey. Mendadak Lillian bingung mengartikan ucapan Harvey. Apa sih definisi hidup bersama bagi Harvey? Pada kenyataannya, Harvey dan dirinya sering tinggal dibawah atap yang sama. "Baiklah." Akhirnya Harvey bangkit dari tempat duduknya. Dia kemudian berjalan menuju ke arah Lillian, yang ternyata tanpa disadari mempengaruhi jantung Lillian. Harvey mengambil sebuah kursi yang tersedia di ruangan itu, menariknya mendekat hingga jarak antara dirinya dan Lillian juga sangat dekat. Harvey menahan dirinya untuk tidak langsung mencium Lillian. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin terus menyentuh wanita ini. Selama beberapa menit tak ada yang berbicara. Kamar hening dan terasa dingin. Harvey sempat bingung sendiri har
Lillian tersenyum sungkan. "Maaf, merepotkanmu. Aku benar - benar bisa sendiri. Tidak usah segan kalau ada keperluan lain, Harvey memang suka berlebihan sampai menyuruhmu datang jauh - jauh kemari."Amara mengibaskan tangannya, lalu menghampiri Lillian dan memeluknya. "Kebetulan aku sedang mengambil cuti. Dan aku juga rindu dengan cerita - ceritamu. Bagaimana kabarmu?""Aku sudah sehat. Dokter sudah mengijinkan aku pulang besok, tapi Harvey meminta supaya aku dirawat lebih lama karena khawatir ada komplikasi," ceritanya sambil mengerutkan kening. Bibirnya juga cemberut, menunjukkan kalau dirinya sedang kesal.Semakin lama dirinya di rumah sakit, semakin banyak pula cuti yang diambilnya. Ini akan berimbas pada pekerjaannya. Padahal metode operasi yang digunakan tergolong baru dan tidak membutuhkan banyak sayatan sehingga pendarahan yang terjadi juga lebih sedikit. Masa pemulihannya juga lebih cepat, seharusnya dia juga bisa keluar dari rumah sakit lebih awal."Harvey sangat mencintaimu,
Lidah Lillian kelu. Bagai tersambar petir, dia hanya bisa terpaku di tempat tidurnya. Harvey akan menikah adalah hal yang wajar. Lillian heran pada dirinya sendiri yang mendadak merasa tak senang mendengar kabar 'bahagia' ini.Susah payah Lillian menarik kedua sudut di bibirnya hingga terulas sebuah senyum tipis."Aku senang sekali mendengarnya, Papa. Semoga Harvey mendapatkan wanita yang lebih baik kali ini," ujarnya, berpura - pura bahagia."Jangan khawatir. Kali ini aku benar - benar selektif memilihkan pasangan untuknya. Aku juga tak ingin Harvey gagal lagi." seru Marcia yang berada tak jauh dari sana. Ibu Harvey dan Ernest itu meraup apa saja yang ada di lemari dan memasukkannya ke dalam tas secara sembarangan tanpa menatanya. Merasa sudah beres semua, wanita itu menutup trolley, lalu menghampiri Lillian dan Bernard."Carina adalah wanita yang tepat untuk Harvey. Dia berpendidikan tinggi dan sopan. Orang tuanya juga punya pengaruh di negara ini. Masa depan Harvey jelas akan sanga
Tiga hari setelahnya, setelah Harvey memastikan kondisi kesehatan Lillian, mereka akhirnya berangkat ke San Antonio. Awalnya Marcia dan Bernard memaksa Lillian untuk langsung ikut, tapi Harvey dengan keras menolak dengan alasan tak mau menanggung resiko di perjalanan. Atas anjuran dokter, waktu paling aman bepergian luar kota setelah operasi menggunakan metode laparoskopi minimal satu minggu. Salah seorang asisten rumah tangga di San Antonio melapor pada Harvey kalau Ernest mengamuk karena mabuk. Tak ada yang bisa mengatasinya. Hal itu semakin menguatkan tekad Harvey untuk mencegah Lillian pulang tanpa dirinya. Harvey harus menyelesaikan beberapa urusan kantor sebelum bisa pulang San Antonio.Khawatir dengan kondisi rumah, Marcia dan Bernard terpaksa pulang lebih dulu ke San Antonio. Sedangkan Amara, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Richard sebelum kembali kesana. Tentu saja, Richard yang akan mengantarnya kembali ke San Antonio.Lillian dan Harvey saling berdiam diri
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang