"Ada apa?" tanya Harvey penuh selidik.
Dari sudut matanya, dia bisa merasakan perubahan sikap Lillian. Wanita itu duduk dengan tegang sambil memandang ponsel ditangannya seperti sedang menerima kabar buruk.Melihat Lillian tercenung, Harvey mengulang pertanyaannya, "Ada apa? Apa sesuatu yang buruk terjadi?"Bukannya menjawab, Lillian malah mematikan ponsel dan buru - buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas, lalu memeluk tasnya erat - erat. Caranya memegang seakan mencegah siapa pun menyentuh tas itu."Tidak. Tidak ada apa pun selain tugas mendadak dari atasanku yang menyebalkan," bohongnya dengan suara terbata - bata."Kamu tidak pintar berbohong, Lili," jawab Harvey dengan nada suara rendah.Lillian semakin erat memeluk tas miliknya sambil bergumam, "Aku sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahku sendiri, Har."Harvey menghela napas, kantor Lillian sudah terlihat di depan sana. Dia juga tak ingin merusak mood Lillian hari ini. Harvey menghentikan mobilnya tepat di depan lobby perusahaan, lalu membukakan seatbelt untuk Lillian. "Baiklah. Kamu tahu aku selalu siap untukmu. Apa pun masalahnya," ujarnya, tak lupa mengecup kening Lillian.Lillian hanya mengangguk, ada hal penting yang harus dia lakukan begitu sampai di ruangannya. Baru beberapa jam menjalani hari, pikirannya sudah penuh.Setelah sampai di kantor, hal pertama yang dilakukan oleh Lillian adalah kembali membuka notifikasi pemakaian kartu kredit yang diterimanya. Wanita itu mengetuk - ngetuk mejanya dengan mulut mengerucut. Pikirannya berputar - putar tak tentu arah. Uang senilai hampir lima ratus juta rupiah itu digunakan untuk membeli sebuah mobil di salah satu show room.Ernest benar - benar gila. Padahal mobil mereka yang lama masih tergolong baru, belum satu tahun mereka membelinya. Yang membuat Lillian kepikiran adalah dia baru sadar kalau selama ini dirinya tidak pernah melihat mobil mereka terparkir di rumah. Harvey selalu setia mengantar jemput dirinya kemana pun dan kapan pun, tentu saja dengan mobil Harvey.Meski tahu akan sia - sia, Lillian mengadu peruntungan dengan menelpon suaminya. Dia ingin protes karena Ernest seenaknya memakai kartu kredit miliknya. Suaminya saja sulit dihubungi, bagaimana nanti kalau jatuh tempo pembayaran. Angka cicilan disana tergolong besar, belum lagi bunga keterlambatan. Gajinya satu bulan akan habis dipakai untuk membayar."Arrgh!" Lillian mengacak - acak rambutnya sendiri, frustasi.Mencoba menghubungi Ernest? Jelas bukan solusi yang baik. Yang ada emosi kian menumpuk karena nomer laki - laki kurang ajar itu tidak aktif empat hari terakhir ini.Sebal, marah, penasaran dan pikiran buruk semua bercampur menjadi satu. Lillian membombardir Ernest dengan rentetan text berisi omelan. Dan, tentu saja pesan itu centang satu. Tapi setidaknya Lillian sudah meluapkan emosi dengan memaki - maki Ernest melalui pesan."Heh, bengong aja!"Tepukan di bahu membuat Lillian terlonjak kaget."Sorry, kaget ya?" ringis Angel yang baru datang dengan membawa tumpukan dokumen. Dia meletakkan tumpukan dokumen itu dan berkata, "Pak Boss bilang, kamu yang akan memeriksa file - file ini."Lillian mengangkat alisnya tinggi - tinggi, rambutnya sedikit berantakan. "Aku?" keluhnya. Memeriksa file di saat pikiran kacau bukanlah ide yang bagus."Hm-hm. Apa ada masalah?" tanya Angel heran. Penampilan Lillian terlihat kusut."Tidak apa. Hanya memikirkan design-ku yang belum selesai." Lillian memandang tumpukan dokumen di atas mejanya sambil menghela napas."Kamu yakin baik - baik saja?" tanya Angel lagi yang menyadari perasaan Lillian sedang tidak baik - baik saja.Lillian menampilkan senyum terbaiknya yang selalu berhasil mengelabui siapa saja, kecuali Harvey tentunya. "I'm okay. Ini dateline besok kan? Jam berapa?""Setelah makan siang," Angel menepuk tumpukan dokumen itu. "Oke. Aku lanjut dulu. Kalau butuh apa - apa, jangan sungkan telpon."Lillian mengangguk dan melambai pada Angel yang keluar dari ruangannya. Sekarang waktunya fokus pada pekerjaan, masalah Ernest akan diurusnya nanti saat laki - laki itu muncul.Beberapa jam berlalu, Lillian masih berkutat dengan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya.Ting!"Jangan lupa makan."Lilliana mendengus. Harvey sudah seperti mesin pengingat otomatis saja, selalu mengingatkannya pada hal yang sama yaitu makan dan makan."Yaaaaaaaaaaa.... " balasnya dengan menyertakan huruf a yang panjang, pertanda dirinya sedang sebal.Di seberang sana, Harvey mengulum senyum. Baginya, Lillian sangat menggemaskan. Dia membalasnya dengan acungan jempol.Lillian meletakkan kembali ponselnya dan melanjutkan pekerjaan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lewat tapi pekerjaannya masih belum selesai. Dia bertekad untuk menyelesaikannya malam ini. Lebih baik sekarang dari pada menundanya. Kita tak pernah tahu ada tugas baru apa lagi menanti keesokan harinya.Tak terasa jarum jam akhirnya mendekati jam sembilan saat Lillian benar - benar menyelesaikan pekerjaannya. Dia menyandarkan punggung di kursi lalu meregangkan otot - ototnya yang kaku. Setelah itu dilepasnya kacamata anti radiasinya dan mengucek mata. Lelahnya baru terasa sekarang. Saatnya untuk pulang.Lillian meraih ponsel, ada beberapa pesan masuk dari rekan kerja dan grup kantor. Dia membaca satu per satu dan membalas sesuai kebutuhan.Dia beralih ke pesan selanjutnya, dari siapa lagi kalau bukan Harvey. "Lili, sudah malam. Ayo pulang."Hah? Jantung Lillian rasanya jatuh hanya dengan membaca pesan pendek dari Harvey. Dia tahu Harvey tidak akan marah karena menunggu tapi tetap saja ada rasa sungkan. Dalam sekejap, wanita itu sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby.Langkahnya terhenti saat melihat Harvey ada di ujung tangga sambil tersenyum padanya."Bagaimana? Lelah?" Tangan kanannya mengusap kepala Lillian sementara tangan kirinya mengambil alih tas yang dibawa oleh Lillian."Kenapa menungguku? Sorry, aku lupa bilang kalau lembur.""Tidak apa. Aku juga tidak ada pekerjaan di rumah." jawab Harvey santai. Dia membukakan pintu penumpang. "Silahkan.""Aku bisa pulang naik taxi, Har. Tidak perlu terlalu memanjakanku seperti ini," omel Lillian untuk menutupi rasa sungkannya karena sudah membiarkan Harvey menunggu."Keselamatanmu itu tanggung jawabku, Lili," Harvey menggerakkan kepalanya, memberi kode pada Lillian untuk masuk.Lillian dengan patuh masuk ke dalam mobil dan duduk dengan manis. Kalimat terakhir Harvey memberikan sensasi hangat di hati Lillian. Di saat suaminya entah kemana, bahkan tidak perduli apakah dirinya sudah makan atau belum, sehat atau sakit, lagi - lagi Harvey yang selalu ada.Mereka berkendara dalam diam. Harvey berusaha membuka percakapan tapi jawaban Lillian selalu pendek - pendek seakan memberi petunjuk kalau perempuan itu tidak dalam mode ingin bercakap - cakap.Akhirnya Harvey diam, menyetir dalam kecepatan sedang. Mengantarkan wanita yang disayanginya pulang ke rumah. Diam - diam dia menarik napasnya, semakin dekat ke tempat tujuan semakin tidak ingin dia berpisah. Hanya dalam beberapa menit, mereka sudah berhenti di depan rumah Lillian.Ada sebuah mobil parkir tepat di depan mobil Harvey berhenti. Lillian mengamati mobil itu baik - baik lalu menoleh ke dalam rumah dan lampu sudah menyala."Sepertinya Ernest pulang," ucap Lillian. Dagunya menunjuk kearah mobil di depan mereka.Kening Harvey berkerut. "Itu bukan mobil Ernest. Ini sudah malam, aku tak suka ada orang asing datang ke rumahmu.""Bisa saja itu mobil barunya. Dia baru saja menggunakan kartu kreditku dalam jumlah besar... --" Lillian terdiam dan menggigit lidahnya sendiri yang terlalu jujur.Harvey mengurungkan niat keluar untuk membuka pintukan pintu bagi Lillian. Laki - laki itu menutup kembali pintu mobil dan menatap tajam Lillian. "Kamu memberikan kartu kreditmu pada Ernest dan membiarkan dia berbelanja dengan sesuka hati?" tegurnya keras."Oh, ehm, Ernest yang akan membayar tagihannya. Ehm, iya. Itu pasti. Jangan berlebihan, Harvey. Kami adalah suami istri. Uangnya adalah uangku. Dan uangku adalah uangnya. Bukankan seperti itu?" cicit Lillian tanpa berani melihat kearah Harvey. Hatinya mengutuki dirinya sendiri yang selalu keceplosan di depan Harvey."Uang suami adalah uang istri. Tapi uang wanita milik wan
Harvey menekan pedal gas sekaligus rasa cemburu yang menyeruak begitu saja di dalam dada. Pikiran kalau Ernest ada di rumah bersama Lillian malam ini membuat dadanya seperti terbakar. Tapi ada sesuatu yang lebih menggelitik perasaannya. Ini bukan hanya cemburu tapi gelisah. Logikanya mengatakan mobil yang terparkir di depan rumah Lillian tadi bukanlan mobil baru. Pikiran - pikiran itu terus mengganggunya. Akhirnya Harvey hanya melewati rumahnya dan memutuskan untuk kembali ke rumah Lillian. Dia ingin memastikan Lillian baik - baik saja. Di depan rumah Lillian, Harvey memperhatikan baik - baik mobil baru yang penampilannya sama sekali tidak baru. Ada cat yang terkelupas di dekat pintu, lalu spionnya juga sedikit retak. Modelnya pun tidak seperti selera Ernest yang sudah - sudah. Yang mengherankan adalah seri mobilnya masih seri keluaran lama. Kening Harvey berkerut. Meski pun suka berfoya - foya, adiknya tidak akan sebodoh itu membeli mobil yang kondisi fisiknya yang sudah jelek sepe
Lillian mengerjapkan matanya beberapa kali. Kata - kata Harvey membuat telinganya gatal dan emosinya melonjak. Laki - laki itu terang - terangan mengatakan akan tidur dengannya padahal mereka adalah saudara ipar. Astaga!"Kamu sudah gila? Kamu seharusnya tahu kalau yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan. Jangan pernah ingin mengulanginya lagi!" semprot Lillian tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya.Harvey tersenyum lalu menyentil pelan dahi Lillian. "Hey, aku rasa bukan aku yang ingin mengulangnya tapi kamu. Aku mengatakan akan tidur bersamamu, bukan bercinta denganmu." Kalimat terakhir sengaja diucapkannya lambat - lambat dengan nada menggoda.Seketika wajah Lillian memerah, otaknya tanpa sadar mendefinisikan kata tidur dengan hal - hal yang sensual. "Oh! Yeah... ehm, maksudmu kamu akan menginap kan? Oke, silahkan." gagapnya, sambil menahan malu. Ini bukan pertama kalinya mereka tidur bersama kan? Catat baik - baik. Tidur, dan hanya tidur. Titik. Harvey tertawa kencang melihat
Sesaat Lillian termenung. Layar ponsel otomatis meredup lalu gelap sementara pemiliknya sedang termangu. Lillian benar - benar tak tahu harus bagaimana merespon pesan itu. Pikiran buruk tentang Ernest semakin merasuki pikirannya. Masalah kartu kredit dan hutang pada rentenir belum juga beres, tapi sepertinya masalah lain akan segera menyusul. Ruwet dan mumet, itulah yang dirasakan oleh Lillian saat ini.Sekali lagi ponsel Lillian bergetar. Kali ini dari Harvey yang memberitahu kalau dirinya sudah siap di lobby. Tak ingin membuat Harvey menunggu, Lillian bergegas menyambar tas tangan miliknya. Dalam sekejap, dia sudah setengah berlari menuju lift untuk turun ke lobby dengan hati yang kacauDi dalam lift, Lillian berusaha mengatur ekspresinya senatural mungkin supaya tidak membangkitkan kecurigaan Harvey. Langkahnya terhenti saat melihat Harvey menunggunya di depan lift sambil tersenyum. Matanya teduh dengan kedua tangannya terentang seperti seorang kekasih yang menanti wanitanya mengham
"Keluyuran kemana saja kamu? Apa gunanya membawa ponsel kalau susah sekali dihubungi?"Tubuh Lillian menegang saat mendengar suara seorang laki - laki, sebuah hardikan yang familiar dari seberang sana. Tanpa sadar matanya refleks menatap Harvey dengan perasaan nelangsa. Seharusnya dia yang bertanya kemana Ernest keluyuran selama ini, bukan malah dibalik seperti sekarang ini. Ernest lebih dulu menuduhnya keluyuran. Memang beberapa jam ini, Lillian tidak menyentuh ponselnya. Tapi apakah semua ini salahnya? Toh selama ini Ernest tidak pernah menghubungi Lillian. Belum sempat Lillian menjawab, perintah berikutnya sudah kembali terdengar, "Bukakan pintu untukku! Lima belas menit lagi aku sampai rumah."Akhirnya perjalanan pulang dilalui Lillian dengan perasaan yang terombang ambing. Setelah sekian lama tanpa kabar, akhirnya Ernest menelepon dengan nomer baru. Seharusnya seorang istri senang saat suaminya memberi kabar akan pulang ke rumah. Tapi pada kenyataannya, Lillian sama sekali tidak
"HENTIKAAAAN!!" pekik Lillian sekuat tenaga. Melihat wajah panik Lillian memenuhi pandangannya, Harvey menghentikan kepalan tangannya di udara. "Kalian berdua kakak beradik! Semua bisa dibicarakan baik - baik. Lihat! Ernest tidak melawan. Apa kamu ingin membunuhnya?" seru Lillian penih emosi. Dia menghampiri Ernest dan membantu laki - laki itu supaya bisa berdiri. Saat ini dia harus memilih untuk mengurus orang yang lebih membutuhkan dirinya. "Ernest, kamu tidak apa - apa?" tanya Lillian sambil menatap tajam kearah Harvey. Harvey bergeming. Dia memperhatikan setiap ekspresi yang bercampur menjadi satu di wajah Lillian. Di wajah wanita itu tidak hanya tergambar rasa panik dan cemas tapi juga marah. Rasa khawatir itu tentu saja untuk Ernest, sedangkan kemarahannya sudah jelas ditujukan kepada dirinya. "Apa kamu marah padaku, Lili?" tanya Harvey pelan. "Menurutmu?" Lillian balik bertanya, kebiasaannya saat dia marah. Dia mengangkat alisnya tinggi - tinggi. "Tapi dia sudah membuatmu
"Done. Thanks," ucap Ernest sambil tersenyum puas. "Ha?" Lillian melongo melihat Ernest dengan santai melemparkan ponsel yang tadi dia rampas ke tempat tidur. Apa yang telah dilakukan oleh Ernest pada ponselnya? Lillian bergegas menyambar benda pipin itu. Belum sempat dirinya memeriksa ponsel, sudut matanya menangkap bayangan Ernest berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang berharganya. Laki - laki itu terlihat sedang memasukkan kode dan membuka brankas mini milik Lillian. Kemudian dengan santai meraup barang - barang berharga didalamnya lalu memasukkan semuanya ke dalam kantong celana. Setelah itu dia menggulung beberapa lembar surat berharga dan memasukkannya ke dalam saku bagian dalam jaketnya. Tubuh Lillian semakin gemetar karena marah. Tapi dia juga takut dipukul. Suasana seperti ini sangat familiar dan biasanya akan berlanjut dengan kekerasan fisik apabila dia tak mau patuh pada Ernest. Lillian putus asa. Dia belum sempat membicarakan soal tagihan debt collector dan cic
Di saat Lillian sedang berseteru dengan Ernest, Harvey memutuskan untuk pergi mengunjungi apartment Richard, satu - satunya teman yang bisa dia percaya saat ini. Pengacara itu bergegas membukakan pintu, dia bengong sesaat begitu menyadari siapa yang datang. "Harvey?" "Hey," sapa Harvey yang terlihat lesu. Dia mendorong Richard agar tidak menghalangi jalan masuk ke dalam apartment. Harvey masuk begitu saja seolah masuk ke dalam rumahnya sendiri. Langkahnya gontai, wajahnya kusut. "Ada apa denganmu?" Richard heran, mereka baru saja bertemu saat makan malam tadi. Dia menutup pintu dan mengikuti langkah Harvey. Harvey menghempaskan tubuhnya di sofa, di depan sebuah ipad yang posisinya berdiri di atas meja. Layarnya dalam kondisi menyala dan menghadap kearah Harvey. "Hey, Har! Harvey!" Suara seorang wanita yang sangat familiar terdengar tak jauh darinya. Nadanya ceria dan bersemangat. Harvey terkejut. Celingukan, dia menoleh ke kanan dan kiri. "Di ipad, Har. Lihat aku!" seru wanita it
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang