Nadia terbangun di kamar Darren, Ara langsung membantunya untuk duduk melihat Nadia yang kembali meraung memanggil Ayahnya. "Ayah mana, Kak? Kenapa aku sudah di rumah Kak Darren? Tadi aku masih di rumah sakit sama Ayah." Nadia menggenggam erat tangan Ara, kedua matanya memerah dan basah oleh air mata. "Kak ... ini semua mimpi 'kan? Tolong katakan padaku kalau Ayah baik-baik saja, tolong katakan kalau aku cuma mimpi!" Ara langsung memeluk Nadia, membuat gadis itu membeku mendengar suara sesenggukan dari bibir Ara. "Kenapa kamu nangis, Kak? Kamu nangisin apa?" tanya Nadia dengan suara gemetar, takut jawaban Ara menghancurkan harapannya akan kesembuhan sang Ayah. Belum sempat Ara menjawab, pintu kamar terbuka yang membuat Nadia sontak mengangkat kepala. "Kak Darren," bisik Nadia. Pria itu berjalan mendekat, membuat Ara melepaskan pelukannya. "Nad, aku keluar dulu," katanya. Nadia mengangguk kaku, lantas mengalihkan pandangannya kepada Darren. Tampak jejak air mata di pipi p
"Ayo kita pulang, Sayang." Darren membantu Nadia untuk bangkit, dia menuntun istrinya untuk mencuci kaki sebelum keluar dari pemakaman. Darren membantu Nadia untuk masuk ke dalam mobil, lantas kendaraan roda empat itu membawa mereka melaju pergi. Nadia terus memandang ke arah pusara baru ayahnya, hatinya benar-benar sakit, perih tak terperi menahan kedukaan atas kehilangan cinta pertamanya. Hingga sebuah dering ponsel menyentak, Nadia meraih benda pipih itu dan mendapati pesan dari kuasa hukumnya yang mengatakan bahwa besok akan dilakukan sidang kedua untuk kasus Tania dan Mella. "Aku akan menemanimu besok, kita hadapi mereka sama-sama," ucap Darren sambil menggenggam tangan istrinya. "Iya, Kak." Pria itu mengulas senyum manis, menarik lembut kepala Nadia agar bersandar di bahunya. "Nggak usah mikir macam-macam, tenang saja. Besok aku jamin putusan hakim langsung keluar." "Aku juga berharap seperti itu, pokoknya Ibu sama Kak Tania harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Mella tidak mampu berkutik, diam dengan seluruh persendiannya yang terasa lemas. Sementara Tania masih terus memandangi mantan suaminya, andaikan tidak sesak dengan usia kandungannya yang semakin membesar, dia ingin kembali merayu Darren. "Seharusnya Mas Darren masih bersamaku, gara-gara pelakor kecil itu suamiku menceraikanku," bisik Tania, yang masih bisa didengar oleh Nadia dan Darren. Pasangan itu menoleh, melayangkan tatapan tidak suka. "Ngomong apa kamu?!" sentak Darren. Tidak terima saat istrinya dikatakan sebagai pelakor kecil, padahal kesalahan Tania lah yang membuat Darren pergi. "Apa kamu lupa sama perselingkuhanmu dengan Raka? Bisa-bisanya mengatakan istriku pelakor, padahal kamu yang telah merebut kekasih orang. Kamu sudah merebut tunangannya Nadia, Tan!" tukas pria itu. Wajah Tania langsung pias, tidak menyangka bahwa Darren bisa membela Nadia di hadapannya. Awalnya dia mengira Darren hanya ingin memanas-manasi atau membuat Nadia tegar menghadapi dirinya dan san
"A-aku kira ... kamu datang ke sini untuk membantuku," bisik Tania. Raka menggeleng. "Aku malah ingin menegaskan kalau kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Tan. Aku sudah tidak bisa memberikan bantuan apa-apa kalau kamu membutuhkan sesuatu lagi. Mungkin ini terkesan jahat, tapi aku harus memikirkan perasaan calon istriku. Sekali lagi aku mohon maaf, dan dengan ini aku menarik kembali pengacara yang telah aku sewa untukmu." Kedua lutut Tania lemas, maniknya menatap nanar ke arah Raka. "Tega kamu! Kamu sudah makek aku beberapa kali, kamu bahkan menjadikan aku pelampiasan s3ksu4l. Tapi apa ... kamu malah membuangku begitu saja! Kamu kira aku barang yang bisa digantikan begitu saja saat kamu menemukan yang lebih baik, hah?!" Suara Tania menggelegar ke seluruh lorong, membuat Nadia tersentak saat baru saja keluar ruangan. Darren segera menuntun Nadia untuk berjalan, tidak membiarkan gadisnya berhenti sedetik pun. Darren tidak mau Nadia melihat Raka, tetapi rupanya Raka lebih dulu
Nadia membelalakkan mata saat Raka dan Embun sudah sampai di hadapannya, gadis itu langsung menggamit lengan Darren dan bersembunyi di balik tubuh suaminya. "Jangan takut, ada aku," bisik Darren. Nadia menggelengkan kepala, entah kenapa traumanya selalu muncul saat melihat Raka. Mau sekuat apapun dia melupakan mantan tunangannya itu, nyatanya bayangan akan kekejaman pengkhianatan itu terus terputar di dalam kepalanya. Ada beberapa trauma yang sulit dilupakan, meskipun orang lain mengatakan bahwa move on jalur kecewa akan sangat cepat. "Aku sudah berusaha mendatangi banyak psikiater, tapi saat melihat Raka tubuhku kembali merespon aneh. Kenapa bisa seperti ini?! Lalu ... siapa gadis yang datang bersama Raka?" tanya Nadia di dalam hatinya. Darren melihat wajah Nadia sangat ketakutan, keringat dingin mulai membanjiri pelipis seiring dengan degup jantung yang bertambah sekian kali lipat. "A-aku lemes, Kak," bisik Nadia. "Nggak akan terjadi apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,
"Aku sengaja meminta Nadia untuk tinggal di apartemenku, tapi kami beda unit. Setiap hari aku mengawasinya, aku memasukkan ke kelas bela diri dan membawanya bekerja di butik. Semakin lama Nadia mulai bisa bangkit, dia memulai lagi usaha onlineshop-nya. Saat Nadia bisa memulai hidupnya lagi, aku membawa Ayah dan mempertemukan mereka berdua," jelas Darren."Berarti Pak Toni tahu kalau putrinya bersama Anda, Pak? Dan beliau menyembunyikannya dari Bu Mella dan Tania?"Darren mengangguki ucapan Raka. "Ya. Tapi meskipun sudah berusaha menyembunyikan semua serapi mungkin, tetap ada jalan hingga akhirnya mereka tahu. Lalu terjadi insiden kapsul pelemah saraf yang sudah merenggut nyawa Pak Toni, tapi beruntung pengadilan sudah menetapkan hukuman penjara seumur hidup."Raka terdiam untuk beberapa saat, pikirannya masih berusaha mencerna. Hingga akhirnya dia kembali bertanya, "saat Anda mengenalkanku kepada seorang hacker, apa itu juga bohong?""Tidak. Aku memang benar-benar memberikan nomor hac
Embun menghampiri Nadia, duduk di samping gadis itu sambil melemparkan senyum hangat. "Kenalkan, Mbak. Namaku Embun, dan Mas Raka sudah cerita banyak tentang kamu," ucap Embun, menatap calon suaminya dan Darren yang masih asik berbincang membicarakan pekerjaan. "Kamu pernah dicintai sangat hebat oleh calon suamiku, dan aku tahu alasannya. Kamu gadis baik, semua yang terjadi di masa lalu sebenarnya nggak pantas kamu dapatkan. Tapi ... Tuhan Maha Adil, Mbak. Kamu sekarang mendapatkan kebahagiaan, kamu sudah menikah dan pasti suamimu sangat menyayangimu. Semoga kamu terus bahagia, ya, Mbak," sambung Embun.Tangannya bergerak menggenggam tangan Nadia. "Aku sudah mendengar semua cerita Mas Raka tentang hubungan kalian berdua, dan aku bersyukur Mas Raka pernah mengenal wanita sebaik kamu. Kami ... akan menikah tiga minggu lagi, aku harap Mbak mau memaafkan dan memberikan restu untuk kami.""Kenapa minta restu padaku?" Embun kembali tersenyum melihat alis Nadia yang hampir bertaut, sepert
Sesuai janjinya malam ini, Darren mengajak Nadia untuk mencari restoran, mobilnya berhenti di depan sebuah restoran berbintang yang cukup ramai. Darren mengajak sopirnya untuk makan satu meja, tetapi pria paruh baya itu menolak dengan alasan segan. Darren tidak mau memaksa, dia lekas membawa istrinya menuju private room dan memesan banyak makanan. "Aku pernah sekali makan di sini sama Ayah dan Mama, saat itu Ayah baru saja gajian dan membawa kami makan di restoran mewah ini. Aku senang banget, karena pertama kalinya menginjakkan kaki di bangunan samegah ini," tutur Nadia sambil melepas gelak tawa, meskipun ada rasa nyeri di hatinya saat mengingat mendiang sang ayah."Pasti Ayah sama Mama bahagia melihatmu makan di sini lagi, Sayang.""Ya, aku rasa begitu. Makasih, ya, sudah mau membawaku makan di sini. Aku bahagia banget, Kak," kata Nadia.Senyumnya terlihat sangat manis, kedua manik bening itu berkaca-kaca menahan luapan kebahagiaan yang membumbung tinggi di dalam hatinya. "Ayo ki
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka