Embun menghampiri Nadia, duduk di samping gadis itu sambil melemparkan senyum hangat. "Kenalkan, Mbak. Namaku Embun, dan Mas Raka sudah cerita banyak tentang kamu," ucap Embun, menatap calon suaminya dan Darren yang masih asik berbincang membicarakan pekerjaan. "Kamu pernah dicintai sangat hebat oleh calon suamiku, dan aku tahu alasannya. Kamu gadis baik, semua yang terjadi di masa lalu sebenarnya nggak pantas kamu dapatkan. Tapi ... Tuhan Maha Adil, Mbak. Kamu sekarang mendapatkan kebahagiaan, kamu sudah menikah dan pasti suamimu sangat menyayangimu. Semoga kamu terus bahagia, ya, Mbak," sambung Embun.Tangannya bergerak menggenggam tangan Nadia. "Aku sudah mendengar semua cerita Mas Raka tentang hubungan kalian berdua, dan aku bersyukur Mas Raka pernah mengenal wanita sebaik kamu. Kami ... akan menikah tiga minggu lagi, aku harap Mbak mau memaafkan dan memberikan restu untuk kami.""Kenapa minta restu padaku?" Embun kembali tersenyum melihat alis Nadia yang hampir bertaut, sepert
Sesuai janjinya malam ini, Darren mengajak Nadia untuk mencari restoran, mobilnya berhenti di depan sebuah restoran berbintang yang cukup ramai. Darren mengajak sopirnya untuk makan satu meja, tetapi pria paruh baya itu menolak dengan alasan segan. Darren tidak mau memaksa, dia lekas membawa istrinya menuju private room dan memesan banyak makanan. "Aku pernah sekali makan di sini sama Ayah dan Mama, saat itu Ayah baru saja gajian dan membawa kami makan di restoran mewah ini. Aku senang banget, karena pertama kalinya menginjakkan kaki di bangunan samegah ini," tutur Nadia sambil melepas gelak tawa, meskipun ada rasa nyeri di hatinya saat mengingat mendiang sang ayah."Pasti Ayah sama Mama bahagia melihatmu makan di sini lagi, Sayang.""Ya, aku rasa begitu. Makasih, ya, sudah mau membawaku makan di sini. Aku bahagia banget, Kak," kata Nadia.Senyumnya terlihat sangat manis, kedua manik bening itu berkaca-kaca menahan luapan kebahagiaan yang membumbung tinggi di dalam hatinya. "Ayo ki
Nadia dan Darren sampai rumah, mereka disambut oleh Brata yang sudah menunggu di depan pintu. Pria senja itu menghampiri cucunya, menarik mereka berdua untuk masuk ke rumah "Kenapa lama sekali? Kakek sudah menunggu sejak kemarin, dan kalian baru pulang hari ini. "Sebenarnya kami sudah mau pulang kemarin, Kek. Tapi menginap di hotel dulu karena sangat lelah sekali," sahut Darren. "Itu hanya alasan, kamu pasti ingin mengajak Nadia berlama-lama di luar. Padahal kakek sudah ingin bertemu kalian." Nadia tergelak mendengar ucapan kakeknya, tanpa terasa mereka sudah sampai di ruang tamu. Brata meminta keduanya untuk duduk, dia juga ikut duduk setelah memerintahkan pelayan untuk membuatkan minuman. "Ada yang ingin kakek bahas, terutama kepada Nadia." Pria senja itu menatap cucu menantunya dengan intens, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menciptakan senyuman hangat "Ada apa, Kek?" tanya Nadia. "Kakek akan memberikan pengawalan untukmu, jadi mulai hari ini perlindunganmu
Alana melayangkan tatapan nyalang ke arah kakeknya. "Apa maksudnya semuanya, Kek! Aku terima saat perjodohan diputuskan dan tidak dilanjutkan, tapi jujur saja ... aku bingung sama ucapannya Darren. Kapan mereka menikah? Kenapa aku nggak tahu?!" Deru napasnya naik turun, membuat Nadia khawatir akan terjadi kekacauan lagi saat semuanya terbongkar. "Pernikahan itu seharusnya disaksikan oleh semua anggota keluarga, kecuali memang orangnya hidup sebatang kara." Alana memicingkan mata, menatap penuh amarah ke arah Nadia. "Nadia memang sebatang kara, aku paham itu. Tapi 'kan Darren masih punya keluarga, Kek. Nggak sopan banget main nikah-nikah kayak gitu!" Alana kecewa, sakit hati dan hancur menjadi satu saat kesempatan merebut cintanya Darren sudah tertutup. Pria idamannya sudah menikah, tidak akan ada lagi celah untuk meraih perhatian. Alana sudah terlanjur mencintai Darren, dia berambisi memiliki Darren. Namun, dengan lancangnya Nadia merebut Darren menggunakan cara ini. Dia tidak t
"Kapan kalian akan mengumumkan pernikahannya?" tanya Brata, menatap bergantian kedua cucunya itu. Darren menoleh ke arah Nadia, lantas berkata, "kamu mau kapan?" "Kalau nggak keberatan ... aku mau menunggu sampai tujuh hariannya Ayah, Kak." Darren mengangguk paham. "Bagaimana, Kek?" "Nggak masalah, dong. Kalian bebas menentukan kapan waktunya, Kakek yang akan menyiapkan acaranya nanti. Kalau sudah siap, bilang saja." "Baiklah, Kek. Kami juga ingin membantu persiapan pernikahannya Renaldy sama Ara yang tinggal lima hari lagi. Selama ini mereka selalu membantu kami, dan inilah saatnya membalas semuanya," tutur Darren. "Oh, iya ... mereka akan menikah 'kan? Kakek sampai lupa, untungnya kamu bilang. Kakek juga akan ke sana aja, temanmu itu baik sekali selama ini sudah mau mengurus butikmu," ucap Brata yang membuat Darren membelalak. Pria itu mengisyaratkan kakeknya untuk diam, tetapi sepertinya pria senja itu tidak paham. "Kamu kenapa melotot-melotot seperti itu, Darren?
"Eum ... jangan salah paham dulu, Nak Darren. Kedatangan kami ke sini untuk membahas kerjasama antar perusahaan. Seperti yang kita sepakati diawal perjodohanmu dan Alana," ucap Rudi. Darren mengulas senyum tipis, lantas menoleh menatap wajah istrinya, tampak gadis itu hanya diam tanpa ekspresi berlebih. "Maaf, Om. Saya tidak bekerjasama dengan orang yang sudah menyakiti perasaan istri saya. Sebagai kepala rumah tangga, kenyamanan istri adalah yang paling lama. Dan orang yang telah membuat kenyamanan istri saya terganggu, maka sampai kapanpun saya tidak bisa mentolerir kesalahannya," sahut Darren. Rahayu meneguk salivanya dengan susah, kini menyesal pun juga tidak ada gunanya. Darren sudah terlanjur kecewa. "Tolong ucapan tantemu jangan dimasukkan hati, Nak. Tantemu memang suka bercanda, tapi sejujurnya bukan itu yang mau dia katakan tadi." Rudi terkekeh pelan, menyenggol kaki istrinya sebagai kode agar membantunya merayu Darren. "Maaf, ya, Nak ...." "Iya, Darren. Tante cuma
Satu minggu berlalu .... Setelah sibuk mengurus pernikahan dan semuanya berjalan lancar, Nadia mau istirahatkan tubuhnya seharian ini di kamar. Dua hari lalu acara pernikahan Renaldy dan Ara, kini dia dan Darren harus mengembalikan energi setelah membantu di acara besar itu. "Nanti malam ada pesta bisnis, Padahal aku masih capek banget," keluh Darren. "Minta diwakili Jacob saja, bisa 'kan?" "Nggak bisa, Sayang. Jacob lagi demam, sudah tiga hari." Darren menghela napas kasar, tidak mungkin mengajak sekretarisnya yang merupakan seorang wanita, khawatir Nadia cemburu. "Gimana kalau datang sama kamu?" "Aku harus ngapain, Kak? Aku nggak tahu apa-apa," sahut Nadia. Dia baru ingat kalau Jacob sakit, sementara suaminya tidak mungkin pergi sendirian. "Nemenin saja, yang penting aku nggak sendirian. Lagipula lusa pernikahan kita akan diumumkan, sekalian untuk perkenalan," rayu pria itu sambil menggenggam tangan istrinya. Nadia tampak berpikir sejenak, hingga akhirnya dia setuju kar
Sean berjalan mendekati Darren, membuka obrolan dengan membicarakan beberapa bisnis. Darren menyambutnya dengan hangat, dia masih cukup asing dengan wajah Sean sehingga tidak menaruh kecurigaan apapun."Saya tertarik untuk berinvestasi, Pak. Perusahaan cabang Anda sepertinya masih sangat baru, apa Anda tidak ingin mengundang investor?" tanya Sean yang membuat Darren terkekeh lirih."Sepertinya iya, tapi kemungkinan akan dilakukan setelah mengumumkan pernikahan saya ke depan publik. Sambil mempersiapkan hal-hal lain juga," jawab Darren.Sean berusaha membuat Darren fokus pada dirinya, hingga akhirnya kesempatan itu datang. Saat Darren memusatkan tatapan pada manik matanya, tangannya bergerak merogoh saku celana guna meraih botol kecil yang berisi cairan obat tidur. Perlahan-lahan dia meneteskan obat itu ke gelas, lantas kembali memasukkannya ke dalam saku. Semuanya dilakukan dengan sangat halus dan cepat, dia yakin Darren tidak menyadari hal ini. "Mari kita minum dulu, Pak." Sean men
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka