Nadia mengantarkan Brata ke ruang dokter, di sana perawat terkejut melihat Tuan besarnya datang bersamaan seorang gadis. "Tuan? Apa ada masalah? Kenapa Anda datang ke sini dan tidak menunggu saya?" tanya perawat yang takut Tuan besarnya mengalami masalah.Dia sudah menemani Brata selama beberapa tahun, baru kali ini berada datang sendiri ke ruang dokter tanpa dijemput. "Nggak ada masalah. Aku tadi bosan menunggu di mobil, dan gadis ini yang membantuku ke sini," jawab Brata, lantas mengalihkan pandangannya kepada Nadia. "Sekali lagi makasih banyak, Nak. Kamu nggak hanya cantik, tapi juga berhati baik.""Kakek bisa saja, tolong jangan berlebihan. Sudah selayaknya kita menolong sesama manusia," sahut Nadia yang langsung diangguki oleh Brata."Ngomong-ngomong kakimu kenapa bisa sampai begini?" Pria senja itu menelisik kaki Nadia yang digantung ke atas."Ah, ini ... ini gara-gara aku ngejar anak kucing ke jalan raya, nggak tahunya ada truk yang lewat. Akhirnya aku ketabrak, Kek. Tapi ngg
Hari berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah tiga hari Nadia menemani Ayahnya di rumah sakit. Siang ini gadis itu berencana ke kantin bersama Ara, tetapi langkahnya terhenti saat ponsel ayahnya berdering."Sebentar, Kak. Pak Hikam telepon." Ara kembali duduk sambil menunggu Nadia menerima telepon."Halo, Pak?" sapa Nadia setelah mengangkat sambungan telepon tersebut. "Selamat siang, Mbak Nadia. Saya mengabari bahwa besok jam sembilan pagi akan dilakukan jadwal sidang, apakah Mbak Nadia bisa datang? Sidang ini penting sekali untuk memutuskan hukuman yang tepat bagi pelaku, tapi kalaupun Mbak Nadia belum bisa datang, saya bisa mengatur jadwal lagi. Tapi, mungkin perlu waktu sedikit lama. Sekitar dua atau tiga minggu lagi," jelas Pak Hikam dari seberang telepon. Nadia tidak langsung menjawab, dia butuh berdiskusi dulu dengan Darren."Saya akan mendiskusikannya dulu dengan Pak Darren, karena beliau yang akan mengantarkan saya. Secepat mungkin saya akan memberikan jawaban, Pak.""Baik
"Dengan hormat, sidang kasus pembunuhan berencana hari ini akan dibuka. Saya sebagai hakim akan memimpin sidang ini dengan adil dan berdasarkan hukum yang berlaku. Saya mengharapkan semua pihak untuk memberikan bukti dan argumen dengan jujur dan transparan agar kebenaran dapat terungkap dalam persidangan ini. Mari kita mulai sidang dengan penuh keadilan."Hakim menatap satu persatu orang yang hadir dalam persidangan ini, lantas mulai membacakan prosedur. "Dengan hormat, kuasa hukum dari pihak penggugat, saya meminta Anda untuk menyampaikan argumen dan bukti yang mendukung tuntutan Anda dalam kasus ini. Mohon jelaskan dengan jelas dan tegas mengenai alasan mengapa Anda menganggap tergugat terlibat dalam rencana yang disebutkan. Silakan mulai presentasi Anda."Nadia menatap ke arah Pak Hikam, berdoa agar pria paruh baya itu bisa menjabarkannya dengan baik."Yang Mulia, dengan hormat kami dari pihak penggugat ingin mempersembahkan bukti-bukti yang sangat vital dalam kasus ini. Kami memi
Kediaman Anton | Malam hari.Rumah mewah itu dihias dengan banyak bunga hidup dan lampu kristal, suara alunan musik mengalun lembut. Banyak tamu undangan yang telah hadir, terutama dari keluarga besar.Malam ini pertunangan Raka dan Embun, Dua insan itu sudah berkomitmen untuk menjalin hubungan yang lebih serius ke jenjang selanjutnya. Semua orang sudah menawarkan untuk melakukan perkenalan dulu, tetapi pasangan itu mengatakan kalau mereka sempat menjalin kasih selama tiga tahun dan ingin merangkainya sejak awal mulai hari ini."Dalam momen istimewa ini, di depan keluarga yang kita cintai, aku ingin berbagi sesuatu yang sangat penting. Sejak pertama kali kita bertemu, hidupku berubah menjadi lebih indah. Kamu adalah cahaya yang menerangi setiap hari dalam hidupku. Dengan cinta dan kesadaran penuh, aku ingin menanyakan padamu, Embun Alillea, apakah engkau mau berbagi sisa hidupmu denganku? Bersama-sama kita akan tertawa, bahagia, dan merayakan setiap momen kecil. Kita akan mengarungi
Nadia duduk sambil mencengkeram lembut bahu ayahnya, air matanya seolah tidak mau berhenti mengalir."Aku tahu Ayah pasti mendengar suaraku. Kata orang, saat seseorang koma alam bawah sadarnya masih bisa mendengar suara di sekitar. Dan aku ... a-aku hanya ingin mengatakan kalau aku sangat menyayangi Ayah. Jadi, tolong ... tolong bangunlah. Aku rindu suara Ayah, aku pengen peluk Ayah," rintih Nadia.Sementara Darren berdiri di dekat kaki Toni sambil menautkan tangannya ke depan.Denting alat medis yang berada di ruangan putih ini semakin membuat telinga berdengung, aroma obat menusuk indera penciuman.Nadia enggan beranjak, dia masih ingin menemani ayahnya. Menunggu pria paruh baya itu sampai sadar, meskipun tadi dokter mengatakan bahwa kemungkinannya sangat kecil."Kamu belum makan dari siang, Nad."Gadis itu menoleh, sekejap kemudian kepalanya menggeleng. "Aku nggak enak makan kalau Ayah masih seperti ini.""Dan Ayah akan sedih kalau kamu nggak mau makan," sahut Darren."Dokter tadi
"Nih, minumannya." Darren menaruh nampan besar berisi tiga cangkir dan dua piring buah potong.Brata tersenyum lebar, mengambil satu piring berisi anggur dan menyerahkannya kepada Nadia."Makanlah, Nak."Nadia mengangguk dengan senyum manisnya, menerima piring tersebut dan lantas memakan satu anggur. Manis sekali.Darren yang melihatnya hanya terdiam, menatap bergantian kakeknya yang meminum teh dan Nadia yang masih memakan anggur.Yang lebih menyebalkan, Brata duduk membelakangi Darren. Seolah benar-benar tidak menganggap cucunya."Kek, ini Nadia. Wanita yang aku bicarakan_""Kesibukanmu sekarang apa, Nad?" tanya Brata tanpa peduli Darren yang tengah berbicara padanya.Pria senja itu tidak peduli telah memotong ucapan cucunya, wajahnya bahkan tidak teralih dari Nadia."Aku lagi jalanin bisnis online, Kek. Jual beli baju sama aksesoris. Kalau dulu aku kerja di butik, setelah kecelakaan aku resign karena kata Dokter pemulihannya lama. Aku nggak mungkin kerja dalam kondisi seperti ini,"
"Nggak! Aku memang sempat dijodohkan sama Alana, tapi aku nolak." Darren menatap tajam ke arah Alana yang masih tampak santai saja. "Apa kamu lupa kalau aku telah menolak perjodohannya, Alana? Jadi, nggak ada lagi perjodohan antara kita, jangan seenaknya ngaku jadi calon istri. Sampai kapanpun, kamu nggak akan pernah jadi calon istriku!" Wajah Alana pias mendengar penolakan itu, tangannya mencengkram goodie bag yang dibawanya. "Aku sudah ada wanita lain, dan Kakek telah setuju. Jadi, berhentilah untuk merecokiku, Alana. Kita masih bisa jadi teman ataupun saudara, tapi jangan ganggu kenyamananku. Kata-katamu barusan ... telah membuat aku dan calon istriku nggak nyaman!" tegas Darren. Alana menyeringai, menatap remeh Nadia sambil bertanya, "wanita cacat ini calon istrimu?" "Jaga ucapanmu!" Darren menunjuk tepat di depan wajah Alana, membuat gadis itu langsung mundur. "Atau ku buat mulutmu nggak bisa ngomong lagi." Bukannya takut, Alana terkekeh mendengarnya. "Jangan keterlaluan, D
"Maaf, ya, Nak Nadia. Alana memang seperti itu, dia keras kepala." Brata merasa tidak enak, apalagi melihat wajah pias Nadia. "Ayo kita ke ruang makan."Nadia mengangguk, membawa langkah tertatih menuju ruang makan."Jangan kapok mau ke sini, ya. Ini masih terlalu awal bagi Alana, mungkin dia kemarin terlalu berharap. Jadi, move on-nya lama," sambung Brata.Nadia tersenyum tipis. "Aku ngerasa nggak enak, Kek. Maafkan aku, ya.""Bukan salahmu, dia memang seperti itu. Nanti Kakek yang akan kasih pengertian ke orang tuanya."Pria senja itu melemparkan senyum hangat, berharap Nadia tidak lagi salah paham.Sementara Darren fokus pada ponselnya, wajahnya menegang membaca pesan teks dari Anton. Koleganya itu mengatakan baru saja tiba di Jakarta bersama istri, anak serta calon menantunya.Anton mengajak Darren bertemu di restoran yang terletak di depan apartemennya dulu, jelas saja hal itu membuatnya panik. "Nad, aku ada urusan pekerjaan. Bagaimana ini?" bisiknya."Sekarang hari minggu, Kak.
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka