Aruna dan Ansel akhirnya sampai di hotel tempat yang Bintang pesan. Bangunan tinggi itu berada di tengah kota, hingga menyajikan indahnya pemandangan kota Paris dari tempat mereka berada sekarang. “Dari sini semuanya terlihat indah,” ucap Aruna sambil menatap hamparan lampu yang menyala menghias kota Paris begitu indah. Aruna berdiri di dekat pintu kaca balkon. Dia melihat malam berhias ribuan lampu yang menerangi kota. Ansel baru saja memberi tips ke pelayan yang membantu membawa koper. Dia menutup pintu, hingga melihat Aruna yang berdiri sambil mengagumi keindahan kota Paris. “Bukankah kamu bilang pernah ke sini?” tanya Ansel sambil mendekat, lantas memeluk Aruna dari belakang. Dia menghidu dalam-dalam aroma tubuh istrinya itu. Aruna melirik sekilas ke Ansel, lantas kembali menatap ke hamparan lampu yang menghias kota itu. “Iya pernah sekali karena urusan bisnis. Itu juga hanya dua hari, lalu aku harus menempuh perjalanan panjang untuk kembali ke perusahaan,” jawab Aruna lanta
Aruna berbaring di ranjang sambil menatap Ansel yang kini berada di atasnya. Napasnya sedikit tersengal karena durasi ciuman mereka yang cukup lama, membuat paru-parunya kekurangan stok oksigen.“Harus malam ini?” tanya Aruna karena gugup.Ansel mengukung tubuh Aruna di bawahnya. Dia menatap Aruna yang terlihat gelisah.“Kamu belum siap?” tanya Ansel memastikan karena tak ingin Aruna merasa tak nyaman.Aruna menggelengkan kepala, entah apa maksud dari gelengan kepalanya.“Tidak apa jika tak siap, kita bisa melakukannya lain waktu,” ucap Ansel yang tak mau memaksa Aruna.Ansel hendak menyingkir dari atas tubuh Aruna, tapi ternyata istrinya itu langsung menahan lengannya.“Maksudku, aku siap dan bukannya tak siap. Hanya sedikit gugup. Kamu tahu ini pertama untukku,” ujar Aruna mencoba mengakui meski malu.Ansel tersenyum mendengar ucapan Aruna. Dia membelai wajah istrinya itu dengan lembut, lantas mengecup kening Aruna penuh kasih sayang.“Ini juga yang pertama untukku,” balas Ansel tan
Aruna membuka mata saat matahari mulai menyapa. Hal pertama yang dilihatnya saat bangun adalah wajah suaminya yang mampu membuatnya tersenyum. “Selamat pagi,” ucap Aruna saat melihat Ansel mulai membuka mata. “Pagi,” balas Ansel dengan seulas senyum menyambut pagi bersama wanita yang dicintainya. Aruna tersenyum menatap Ansel yang terlihat masih mengantuk. “Ans, aku lapar,” ucap Aruna sambil memainkan rambut depan Ansel. Ansel langsung bangun mendengar ucapan Aruna. Dia menengok ke jam dinding dan melihat waktu menunjukkan pukul enam pagi. “Ayo cari sarapan sambil jalan-jalan,” ajak Ansel lantas mencium pipi Aruna sebelum akhirnya turun dari ranjang untuk berganti pakaian. Aruna mengulum senyum, lantas ikut turun agar bisa segera sarapan. Ansel dan Aruna sarapan di restoran hotel, sebelum kemudian pergi jalan-jalan sesuai dengan jadwal mereka. “Ini cocok untuk Emi, kan?” Aruna memegang sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Dia memandang jepit itu sambil tersenyum bahagia.
“Mami mengirimkan foto jepit rambut, apa kamu suka?” tanya Aruna saat menghubungi Emily. “Iya, aku suka. Makasih Mami Runa.” Suara Emily terdengar begitu bersemangat dari seberang panggilan. Aruna tersenyum mendengar Emily menyukai apa yang diberikannya. “Emi, bisa tidak kalau manggilnya mami saja? Kalau manggilnya Mami Runa, seperti mami bukan maminya Emi,” ucap Aruna. Ansel yang mendengar itu langsung tersenyum. Dia memeluk Aruna dari belakang, padahal istrinya itu sedang bicara di telepon. Aruna mendengar suara Emily tertawa dari seberang panggilan, membuatnya begitu bahagia bisa melihat tawa gadis kecil itu. “Mami, tadi ada wanita bantu ambilin bolanya Archie. Tapi aku tidak suka melihatnya,” ucap Emily dari seberang panggilan. “Wanita? Wanita siapa?” tanya Aruna terkejut. Ansel pun ikut terkejut hingga melepas pelukan dari Aruna, lantas meminta istrinya menyalakan pengeras suara agar bisa lebih jelas mendengar cerita Emily. “Wanita siapa, Emi?” tanya Ansel. “Tidak tahu,
“Apa ada masalah, Dad?” tanya Ansel saat menemui Langit di ruang kerja.“Duduklah!” Langit mempersilakan Ansel duduk di kursi depan meja.Ansel pun duduk menunggu Langit bicara sesuatu yang hendak dibahas.“Sebenarnya masalah ini ingin kami bicarakan sejak dua hari lalu, tapi mengingat kalian sedang liburan apalagi kamu selalu mencemaskan Emi, kami pun memilih untuk menunggu kalian pulang,” ujar Langit mengawali pembicaraan mereka.“Sebenarnya ada masalah apa?” tanya Ansel cemas meski terlihat tenang.“Dua hari lalu ada orang mencurigakan berkeliaran di depan rumah. Satpam yang menyadarinya, saat kamera Cctv dicek, ternyata orang itu hanya mondar-mandir di depan sesekali menoleh ke rumah,” ujar Langit menjelaskan.“Aku pikir orang itu sama dengan yang memantau Emi di rumah mamamu. Kami tidak memberitahu Emi, takutnya dia cemas. Jadi akhirnya kami tetap menjaga Emi di dalam rumah. Untung saja Emi sangat penurut dan tidak membangkang ketika diminta tetap di dalam,” ujar Langit menjelask
“Kalau siang nanti kalian tidak bisa jemput Emi, biar mommy yang jemput,” kata Bintang saat membantu Emily menyiapkan tas.“Aku belum masuk kerja kok, Mom. Nanti ke kantor hanya untuk mengecek saja, setelahnya aku akan menunggu di sekolah sampai Emi selesai dengan kelasnya,” balas Aruna sambil menyisir rambut Emily.“Ah … begitu, ya sudah,” ucap Bintang.Aruna menoleh sekilas ke Bintang, lantas kembali fokus menyisir kemudian memakaikan jepit kupu-kupu yang dibelinya di Paris.“Sudah, cantikkan?” Aruna menatap Emily yang duduk tenang saat rambutnya dirapikan.“Iya, cantik,” ucap Emily menatap bayangannya dari pantulan cermin.Aruna memulas senyum mendengar ucapan Emily. Mereka pun keluar kamar dan siap berangkat sekolah.“Kenapa tidak bareng sekalian?” tanya Ansel.“Nanti aku ke kantor sebentar, terus balik ke sekolah Emi. Jadi lebih mudah kalau pakai mobil sendiri,” jawab Aruna menjelaskan, “lagian kamu harus fokus dengan pekerjaanmu, jadi lebih baik pakai mobil sendiri-sendiri.”“Ta
“Siapa?”Aruna sangat terkejut mendengar guru Emily menceritakan yang tadi terjadi. Dia datang setelah mengecek pekerjaan, hingga begitu terkejut saat mendengar perkataan guru soal kedatangan wanita asing.“Wanita itu bilang kalau teman almarhum maminya Emily. Karena Emily pun tak takut, saya pun tadi hanya menemani menemui wanita itu,” ujar guru menjelaskan lagi.Aruna pun terdiam mendengar ucapan guru. Mungkinkah benar jika yang datang teman Citra karena dia pun tak tahu.“Terima kasih karena mau menemani Emi saat ada orang yang menemuinya,” ucap Aruna ke guru. Dia tak mungkin menyalahkan guru karena bagaimanapun guru sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga Emily.Guru itu mengangguk, lantas meninggalkan Aruna karena harus mengurus anak-anak.Saat sore hari. Ansel baru saja pulang dari kantor. Saat masuk kamar, Ansel disambut Aruna yang langsung mengambil jas dari tangannya.“Bagaimana tadi di kantor?” tanya Aruna lantas membantu Ansel melepas dasi.“Banyak pekerjaan menumpuk,” j
“Emi, nanti Bibi akan ke sini nungguin Emi sekolah. Mami harus ke kantor, tapi nanti waktu Emi pulang. Mami akan menjemput,” ucap Aruna sambil memakaikan tas ke punggung Emily.“Iya, Mami hati-hati di jalan,” balas Emily.Aruna berjongkok di depan Emily, lantas menatap putri tirinya itu dengan seulas senyum.“Ingat, kalau ada yang datang dan mau kasih Emi sesuatu. Emi harus izin Papi atau mami,” ucap Aruna mengingatkan.“Mami tenang saja. Pesan Mami dan Papi sudah ada di kepalaku. Di sini,” balas Emily sambil menunjuk pelipis.Aruna tersenyum mendengar balasan Emily. Dia mencium kedua pipi gadis kecil itu lantas meminta Emily segera masuk.Aruna masih berdiri di sana sampai Emily hilang dari pandangan. Dia menghela napas kasar, lantas pergi meninggalkan tempat itu.**Ansel sudah sampai kantor. Dia disambut Rio yang sudah menunggunya datang.“Saya sudah mendapatkan informasi pria yang terus mengawasi Nona Emi, Pak.”Ansel langsung menatap Rio yang baru saja bicara.“Kamu sudah memasti