“Emi, nanti Bibi akan ke sini nungguin Emi sekolah. Mami harus ke kantor, tapi nanti waktu Emi pulang. Mami akan menjemput,” ucap Aruna sambil memakaikan tas ke punggung Emily.“Iya, Mami hati-hati di jalan,” balas Emily.Aruna berjongkok di depan Emily, lantas menatap putri tirinya itu dengan seulas senyum.“Ingat, kalau ada yang datang dan mau kasih Emi sesuatu. Emi harus izin Papi atau mami,” ucap Aruna mengingatkan.“Mami tenang saja. Pesan Mami dan Papi sudah ada di kepalaku. Di sini,” balas Emily sambil menunjuk pelipis.Aruna tersenyum mendengar balasan Emily. Dia mencium kedua pipi gadis kecil itu lantas meminta Emily segera masuk.Aruna masih berdiri di sana sampai Emily hilang dari pandangan. Dia menghela napas kasar, lantas pergi meninggalkan tempat itu.**Ansel sudah sampai kantor. Dia disambut Rio yang sudah menunggunya datang.“Saya sudah mendapatkan informasi pria yang terus mengawasi Nona Emi, Pak.”Ansel langsung menatap Rio yang baru saja bicara.“Kamu sudah memasti
“Non Emi tunggu di sini sebentar. Bibi ke kamar kecil bentar,” kata pengasuh Emily karena tiba-tiba ingin buang air kecil.“Iya, sana Bibi ke kamar mandi.” Emily mengangguk lalu meminta pengasuhnya buru-buru pergi.Emily duduk di bangku depan gedung sekolah sambil melihat teman-temannya dijemput. Dia sendiri menunggu Aruna datang sesuai janji ibunya itu.Gadis kecil itu duduk sambil mengayunkan kedua kaki ke depan dan belakang, hingga dia melihat seorang pria yang berdiri menatapnya. Emily menoleh ke kanan dan kiri, berpikir jika pria itu mungkin sedang menatap orang lain.Emilio datang ke sekolah Emily, tentu saja untuk memastikan apakah Emily memang putrinya yang tak dianggap enam tahun lalu. Dia terus memperhatikan, hingga sebuah mobil menghalangi pandangan.Emily tak melihat pria itu lagi. Dia lantas menatap ke mobil yang ternyata milik Aruna.“Mami!” teriak Emily sambil melompat dari bangku.Emily berlari menghampiri Aruna yang baru saja keluar dari mobil.“Di mana Bibi?” tanya A
“Emi, apa Bibi yang menemuimu adalah wanita ini?” tanya Ansel sambil memperlihatkan foto Grace. Emily memperhatikan foto itu, lantas menganggukkan kepala. “Iya itu,” jawab Emily setelah memastikan. Ansel terdiam mendengar jawaban Emily, ada rasa kesal dan amarah yang terpancar dari tatapan matanya. “Emi main dulu di luar, ya,” kata Aruna saat melihat Ansel diam. Emily mengangguk lantas keluar dari kamar orang tuanya. Aruna menatap Ansel yang hanya diam. Dia pun duduk di samping suaminya, lantas menggenggam telapak tangan Ansel. “Apa wanita dan pria itu ada hubungannya dengan Citra? Kenapa kamu diam sejak tadi, Ans?” tanya Aruna penasaran. Setelah membaca detail data yang diberikan Rio. Ansel diam lantas mengajak Aruna pulang untuk menanyai Emily. Kini suaminya pun kembali diam setelah mendapat jawaban Emily, membuat Aruna bingung. Ansel menoleh Aruna, tatapan matanya masih menunjukkan rasa kesal. Dia menghela napas kasar, lantas mengguyar rambut ke belakang. “Cerita saja, aga
“Bagaimana? Kamu sudah menemuinya?” tanya Grace saat melihat suaminya pulang di sore hari. Emilio hanya menatap Grace yang menghadang langkahnya. “Kenapa kamu diam? Jawab!” bentak Grace kesal melihat Emilio yang hanya diam. “Aku sudah melihatnya, tapi tidak menemuinya,” ucap Emilio karena Grace memaksa. “Dia sangat cantikkan? Dia tinggal bersama pria yang tak berstatus apa pun dengannya. Mana mungkin kamu tidak bisa mengambilnya. Bawa dia, aku janji akan menyayanginya seperti anakku sendiri.” Grace menatap penuh harap ke Emilio agar mau membawa Emily bersama mereka. Emilio menatap Grace yang berharap banyak. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Kenapa kamu diam?” Grace terlihat kembali kesal karena tatapan Emilio. “Aku hanya berpikir kita bisa melakukan cara lain jika kamu menginginkan anak, Grace.” Emilio mencoba membujuk agar Grace tak meminta Emily. Raut wajah Grace berubah menjadi garang dan penuh amarah. Tampak jelas tatapan matanya yang membenci bujukan dari pria itu. “A
Aruna memperhatikan mobil itu, hingga dia melihat seorang pria turun dari mobil. Aruna mencoba memperhatikan wajah pria itu sampai dia mengingat di mana pernah melihat pria itu. “Banmu kempes? Kamu butuh tumpangan?” tanya pria yang tak lain Emilio. Aruna mengenali pria itu dari foto yang diberikan Rio. Dia pun langsung memberikan tatapan tak senang ke pria itu. Namun, karena Emilio tak mengenalnya, membuat Aruna hanya menjaga jarak saja. “Tidak perlu, aku sudah menghubungi suamiku,” jawab Aruna lantas melirik Emily yang masih di dalam mobil. Aruna sendiri berpura-pura tak mengenal pria itu agar Emilio tidak secara tiba-tiba mengakui Emily. Emilio mengangguk-angguk mendengar jawaban Aruna. Dia menoleh ke mobil, hingga melihat Emily yang turun dari mobil. Emily turun dari mobil lantas berlari ke belakang kaki Aruna, dia bersembunyi di belakang kaki tapi mengintip ke Emilio. Emilio menatap Emily yang bersembunyi, baru kali ini dia melihat Emily dari jarak dekat. “Dia putrimu?” ta
Emilio terlihat begitu tenang meski bemper depan mobil Ansel hampir menyentuh kakinya. Dia diam sambil memandang ke mobil itu. Aruna pun bergitu syok karena mengira jika Ansel akan menabrak Emilio. Dia melihat suaminya turun dari mobil dengan ekspresi wajah penuh amarah. “Ans.” Aruna melihat suaminya sudah mengepalkan telapak tangan, membuat Aruna cemas jika Ansel lepas kendali. Benar saja, Ansel menatap penuh amarah ke Emilio. Dia langsung melayangkan pukulan hingga menghantam pipi pria itu. “Ans!” Aruna berteriak, lantas mencoba menahan Ansel agar tidak melakukan hal lebih buruk dari itu. Emilio terdorong ke samping karena pukulan Ansel yang cukup keras hingga pipinya terasa panas. “Mau apa kamu, hah?” Ansel hendak menerjang Emilio, tapi Aruna menahannya. “Ans, ini di lingkungan sekolah. Tahan amarahmu,” ucap Aruna mengingatkan, “kita coba bicara di tempat lain, jangan di sini,” imbuh Aruna kemudian. Emilio menyentuh ujung bibir menggunakan jempol. Dia lantas menatap Ansel y
Guru Emily menoleh ke gadis kecil yang duduk di bangku belakang, lantas kembali memandang ke pintu. “Saya hanya ingin bicara saja, tidak akan lama,” ucap wanita yang tak lain Grace. Grace memandang ke Emily, lantas memulas senyum manis ke gadis kecil itu. “Saya janji tidak akan lama,” ujar Grace meyakinkan guru. “Baiklah, Anda bisa bicara dengan Emi. Tapi mohon di depan kelas saja,” balas guru mengizinkan dengan syarat. “Terima kasih,” ucap Grace sambil mengangguk. Emily turun dari kursinya. Dia pun mendekat perlahan ke Grace yang ada di luar kelas. “Kenapa Bibi menemuiku lagi?” tanya Emily sambil menatap Grace. “Bibi ke sini membawakanmu hadiah,” jawab Grace lantas mengambil sebuah paper bag yang ada di lantai. “Lihat bonekanya, kamu suka, ga?” Grace memperlihatkan boneka beruang berwarna merah muda ke Emily. Emily terlihat senang dan menyukai boneka itu, tapi dia ingat dengan pesan Aruna dan Ansel. “Kata Mami dan Papi, aku tidak boleh menerima hadiah dari orang asing. Jug
“Mami.” Emily berlari ke arah Aruna yang menjemput. Dia memeluk boneka yang tadi diberikan Grace. Aruna datang menjemput bersama Ansel. Keduanya keheranan saat melihat Emily membawa boneka. “Emi, ini boneka dari siapa?” tanya Aruna saat Emily sampai di hadapannya. Emily menatap bingung ke Ansel dan Aruna saat mendengar pertanyaan itu. “Apa Bibi tidak izin ke Papi dan Mami?” tanya Emily sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Ansel dan Aruna saling tatap mendengar pertanyaan Emily, tentunya mereka pun bingung kenapa Emily bertanya demikian. “Bibi siapa?” tanya Ansel terlihat tak senang. Emily terlihat takut melihat tatapan tak senang ayahnya. Dia baru menyadari kalau Grace berbohong dan tidak meminta izin ke Ansel. “Bibi yang kemarin kasih kue. Dia bilang mau minta izin ke Papi asal aku mau menerima boneka ini,” jawab Emily sambil menundukkan kepala dengan ekspresi wajah ketakutan. Aruna dan Ansel sangat terkejut mendengar jawaban Emily. Aruna melihat Ansel yang