“Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini, Bin?” Langit benar-benar sudah pusing menghadapi emosi Bintang yang benar-benar tak terduga. Bintang tak membalas ucapan suaminya. Dia hanya diam tanpa kata sambil duduk di tepian ranjang. “Aku tahu kamu sedih, kesal, dan marah. Tapi tidak bisakah sedikit saja kamu berusaha mengalah. Kita tidak tahu bagaimana nantinya masa depan Runa. Kita tidak tahu, apa rencana Tuhan untuk Runa. Jadi bisakah kamu sedikit saja menurunkan ego? Jika tak bisa menyukai Ansel, kamu hanya perlu membuat Runa bahagia? Kamu tidak ingat dulu juga pernah melakukan sama seperti Runa, menentang Papi demi mempertahanku yang begitu fatal menyakitimu.” Langit terus berusaha untuk membuat Bintang sedikit melunak. “Sekali saja pahami putrimu sendiri, Bin. Tak selamanya yang terlihat buruk itu buruk. Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya tak ingin keluarga kita terpecah. Apa kamu baru akan sadar saat Runa meninggalkan rumah ini?” Langit menatap Bintang yang masih d
Saat pagi hari. Bintang melakukan aktivitasnya seperti biasa di dapur menyiapkan sarapan bersama pembantu. Langit baru saja keluar kamar setelah bersiap-siap ke kantor. Dia berpapasan dengan Aruna yang juga sudah siap ke kantor. “Kamu sarapan dulu, kan?” tanya Langit untuk memastikan agar Aruna tak berangkat tanpa sarapan. Bukan apa-apa. Langit hanya tak ingin masalah antara Bintang dan Aruna semakin memburuk. Aruna terdiam sejenak mendengar pertanyaan Langit. Dia pun menganggukkan kepala. Keduanya berjalan menuju ruang makan sambil membahas soal pria yang menjadi dalang penyerangan Aruna. “Polisi sudah menangkap Gallen kemarin sore saat dia baru saja kembali dari luar negeri,” ucap Langit sambil berjalan. “Baguslah, pria brengsek seperti itu memang harus mendapat balasan. Dia pikir aku karyawan biasa yang sombong karena menolaknya. Dia pikir aku gampangan yang mudah dibujuk hanya dengan segelas minuman.” Aruna tersenyum miring mengejek pria itu. “Semoga dia mendapatkan hukuma
“Kamu sehat? Sudah makan?” Emily melebarkan senyum, lantas menjawab, “Aku sehat, hanya sedikit sedih. Aku belum makan siang.” Bintang memulas senyum mendengar jawaban Emily yang selalu saja menggemaskan. Dia memang sengaja datang ke sana sambil membawa makan siang. “Oma bawa makan siang, ada kue juga. Kamu mau makan bareng oma?” tanya Bintang sambil mengeluarkan kotak bekal makanan yang dibawa. Emily memandang Bintang yang terlihat biasa saja, hingga dia teringat dengan kesalahannya. “Oma Bintang sudah baca surat dariku? Apa Oma Bintang masih marah karena aku tidak jawab pertanyaan Oma?” tanya Emily dengan suara lirih karena takut. Bintang sedang meletakkan kotak bekal saat mendengar pertanyaan Emily. Dia memandang gadis kecil itu yang terlihat takut dan sedih. “Sudah, Oma sudah baca. Terima kasih, ya. Karena surat itu, Oma sembuh,” jawab Bintang sambil memulas senyum. “Oma Bintang tidak marah lagi? Aku minta maaf ya, Oma.” Emily memberanikan diri menatap Bintang. “Iya, Oma m
Aruna benar-benar penasaran, kenapa ekspresi wajah Ansel benar-benar seperti terkejut akan sesuatu. “Ada apa, Ans? Kenapa ekspresimu begitu?” tanya Aruna penasaran. Ansel menatap Aruna yang sedang penasaran. Dia lantas memperlihatkan apa yang didapatnya. Aruna pun mengambil ponsel Ansel, lantas ikut syok melihat apa yang ada di ponsel Ansel. “Bagaimana menurutmu?” tanya Ansel sambil menatap Aruna yang masih sangat syok. Aruna tak bisa berkata-kata. Dia menatap Ansel lantas memberikan ponsel pria itu. “Entahlah, apa itu memang benar?” tanya Aruna seperti tak percaya. “Semoga benar,” jawab Ansel sambil menggenggam telapak tangan Aruna. ** Saat sore hari. Ansel menjemput Aruna sesuai dengan permintaan kekasihnya itu. Namun, Aruna tak mau langsung pulang, dia mengajak Ansel pergi ke taman lantas duduk berdua di sana. “Kalau kamu pulang sangat terlambat, apa Daddy dan Mommy tidak akan cemas?” tanya Ansel tak ingin dianggap memengaruhi Aruna. “Daddy sudah tahu, jadi tak perlu cem
Sudah satu minggu Bintang dan Aruna tak ada yang mau saling bicara, meski mereka berada di satu rumah, makan pun bersama. Langit pun tak mau ambil pusing dengan diamnya mereka, yang penting tidak berdebat. “Kamu tidak sarapan dulu?” tanya Langit saat Aruna berpamitan. “Tidak, Dad. Aku harus mampir ke rumah Oma dulu buat ambil pesanan kueku, terus jempur Emi ke sekolah. Hari ini aku cuti buat nemenin dia di bazar sekolah,” jawab Aruna menjelaskan karena Langit lupa dirinya ambil cutoi. “Oh iya, daddy lupa,” balas Langit, “ya sudah, hati-hati di jalan. Salam buat Emi,” ucap Langit lagi. Aruna mengangguk lantas melangkahkan kaki untuk pergi, hingga langkahnya terhenti saat melihat Bintang sedang menyiapkan sarapan. Dia terdiam sejenak, tapi sedetik kemudian memilih segera pergi karena takut kesiangan. Aruna pergi ke rumah kakek dari sang mommy. Dia meminta tolong omanya untuk membuatkan kue yang biasa disukai anak-anak. “Oma, apa sudah siap?” tanya Aruna saat menemui sang nenek. “
“Kamu baik-baik saja?” tanya Ansel saat Aruna hanya diam menunggu Emily sedang bersiap-siap. Aruna langsung menoleh Ansel, kemudian menganggukan kepala. “Aku baik-baik saja,” jawab Aruna lantas tersenyum. Ansel pun percaya saja jika memang Aruna baik-baik saja. Aruna sendiri sedang memikirkan ucapan sang oma soal mommynya. Dia benar-benar tak menyangka kalau Bintang yang membuat kue itu, padahal tahu jika itu untuk acara Emily di sekolah. “Maaf harus merepotkanmu membantu Emi. Aku akan coba datang setelah rapatnya selesai,” ujar Ansel karena pagi itu ada rapat. “Iya, kamu tenang saja. Andai tidak bisa datang tak masalah, lagian Emi pasti sudah senang meski hanya aku yang datang,” balas Aruna. Ansel pun menganggukkan kepala mendengar balasan Aruna. “Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, segera hubungi aku,” ucap Ansel lagi. “Iya, kamu jangan cemas,” balas Aruna. Aruna pergi bersama Emily dan baby sitter. Mereka langsung ke sekolah, di sana ternyata sudah disediakan stand untu
Aruna dan Bintang duduk di mobil yang terparkir di halaman sekolah. Sopir Bintang pun menunggu di luar karena ibu dan anak itu hendak bicara pribadi. Aruna masih diam tak mau memulai pembicaraan karena tak mau nantinya dianggap pemicu perdebatan jika salah bicara. Bintang sendiri masih diam dan belum mengucapkan satu kata pun meski mereka sudah duduk beberapa menit di sana. “Sampai kapan kamu akan terus diam?” tanya Bintang akhirnya membuka pembicaraan. “Bukan aku yang memulai diam,” jawab Aruna tanpa menoleh Bintang. Bintang akhirnya menoleh Aruna. Dia menatap putrinya yang memasang wajah datar. “Kamu masih berpikir untuk menjalin hubungan dengan pria itu?” tanya Bintang sambil memandang Aruna. Aruna akhirnya menoleh Bintang, lantas membalas, “Bukan berpikir, aku memang menjalin hubungan dengannya. Meski Mommy tidak merestui, aku tetap akan berhubungan dengannya.” Bintang menghela napas kasar lantas mengalihkan pandangan dari Aruna dengan perasaan kesal. Meski Aruna tahu kal
Ansel tak bisa menghadiri acara market day di sekolah Emily karena kedatangan klien secara mendadak. Dia pun belum bisa menghubungi Aruna karena baru saja selesai menghadiri rapat. “Saya selalu senang bekerjasama dengan perusahaan Anda. Saya harap Anda selalu memberikan yang terbaik,” ucap klien wanita yang memang sudah lama bekerjasama dengan perusahaan Ansel. “Tentu, kami tidak akan pernah mengecewakan,” balas Ansel sambil menjabat tangan wanita itu. Wanita itu memulas senyum, lantas pamit diikuti asisten dan beberapa staffnya. Ansel bernapas lega karena akhirnya memiliki waktu luang untuk menghubungi Aruna meski sudah sangat terlambat untuk mengatakan jika tak bisa datang. “Runa, maaf aku tidak bisa datang karena ada klien lama yang tiba-tiba datang membahas masalah kerjasama,” ucap Ansel dengan cepat saat panggilannya dijawab Aruna. “Tidak apa, tenang saja. Lagi pula acaranya tadi berjalan sangat lancar, Emi juga sangat senang karena semua kuenya habis,” balas Aruna dari seb