"Orang ini, bisakah dia tidak mengeluarkan jarumnya?" Pangeran Han Yuze menjerit dalam hati. Kepanikan itu membuat wajah tampannya memucat dan tampak menyedihkan. Pangeran Han Yuze segera berkata, "Kakak Tabib, sepertinya tidak ada yang perlu diperiksa lagi. Keadaanku sangat baik sekarang. Aku sepuluh kali lipat lebih kuat dari siapa pun. Katakan saja pada ibu kalau aku baik-baik saja." "Maaf, Pangeran. Hamba tidak berani. Hamba hanya menjalankan tugas saja. Mohon kiranya Pangeran untuk tidak menyulitkan tugas hamba. Dan hamba juga melihat kalau wajah Anda sedikit pucat, hamba khawatir kalau ada hal yang tidak baik terjadi di dalam tubuh Yang Mulia." Tabib Xue berkata lembut, dan suaranya ini seperti dibuat bernada rendah dan berwibawa. "Jika Anda terus menolak untuk diperiksa, lalu ibunda Yang Mulia dan juga keluarga Pangeran bertanya, bagaimana hamba harus menjawabnya? Bisa jadi kepala hamba dipertaruhkan untuk menjadi gantinya. Tidakkah Pangeran merasa kasihan kepada nasib tabib
Tak lama kemudian, mantan kaisar dan Pangeran Han Yuxuan tiba di ruangan tersebut dengan wajah cemas. Mereka langsung menghampiri Qu Yilin yang tengah menunggui Pangeran Han Yuze di depan pintu dengan gelisah dan terlihat mondar-mandir semacam setrika arang, atau alat penghalus kain dari logam kuningan. Qu Yilin sibuk berjalan hilir-mudik tanpa henti. Wanita itu sesekali meremas punggung tangannya sendiri, sampai ia tak begitu menyadari akan kehadiran suami dan ayah mertuanya. "Semoga saja anak itu tidak mengalami cedera serius yang menghambat pelatihannya nanti," bisik Qu Yilin dalam hati dengan jantung berdebaran. Suara langkah kaki bersepatu milik kedua orang penting terdengar seperti sangat terburu-buru. Qu Yilin segera menyambut kedatangan kedua orang pria berstatus mulia itu dengan memberi hormat. Tangannya teratur di depan perut dan lututnya sedikit menekuk. "Salam Yang Mulia Ayahanda, salam, Yang Mulia Pangeran." Akibat rasa panik, keduanya sampai tak dapat menya
Dalam cekalan tangan kokoh para prajurit, tabib muda itu hanya bisa pasrah. Meskipun hatinya sangat tidak terima, tapi Tabib Xue saat ini tidak berdaya. "Ayah, tolong lepaskan Tabib Xue!" Pangeran Han Yuze memohon dengan suara lirih, napasnya sedikit tersengal. "Sebenarnya, dia baru saja menyelematkan aku." "Menyelamatkanmu?" Pangeran Han Yuxuan terlihat bingung. Ruang di antara alis matanya bahkan sampai berkerut ketika pria itu menatap tubuh kurus Tabib Xue yang berlutut di lantai. Pangeran Han Yuze menyeka keringat yang mengalir di wajahnya, lalu menganggukkan kepala dengan gerakan lemah. "Benar, Ayah. Jadi, tolong lepaskanlah tabib itu, Ayah." Pangeran Han Yuxuan melihat ke arah Pangeran Han Yuze untuk memastikan kalau ucapannya dapat dipercaya. Ada kecurangan kuat dalam hati pria itu tentang Tabib Xue yang menurutnya sangat aneh. Sementara itu, Mantan Kaisar Han Yuwen lebih memilih untuk memerhatikan keadaan cucunya dari jarak dekat dan merasakan aakwn adanya kejanggala
Qu Yilin berjalan mendekati jendela sambil meremas-remas punggung tangannya sendiri. Kulit putih nan lembutnya pun menjadi memerah akibat remasan-remasan yang seakan menjadi pelampiasan suatu perasaan. "Tujuh belas tahun yang lalu, ayahmu pergi mengembara selama bertahun-tahun. Dia ditugaskan untuk mencari obat penawar racun guna menyembuhkan penyakit nenekmu. Dan di dalam perjalanannya, ayahmu menemukan pecahan kepala tombak aneh di Puncak Gunung Naga." Qu Yilin mulai bercerita. Pangeran Han Yuze diam mendengarkan, meskipun di dalam hati dirinya merasa ada suatu kejanggalan. "Ayah pergi mencari obat untuk nenek, bukankah saat itu kakek masih menjadi kaisar? Selain tabib istana, apakah kakek tidak mengundang tabib terbaik di negara ini untuk menyembuhkan penyakit nenek?" Pangeran Han Yuze tak bisa untuk menahan pertanyaannya. "Tentu saja semua sudah dilakukan dan tidak ada yang berhasil sama sekali. Penyakit nenekmu bukanlah penyakit biasa saja, melainkan karena diracuni seseorang
Jing Ling bukan belum pernah datang ke mari sebelumnya, dan dia sudah tidak merasa asing dengan tempat ini. Jing Yue kemudian menyalakan dupa pengharum ruangan, serta dupa batangan yang untuk melakukan persembahan doa. Wanita itu memberikan satu batang dupa yang sudah dinyalakan kepada Jing Ling, dan menyalakan satu batang lagi untuk dirinya sendiri. Keduanya melakukan ritual tersebut untuk mendoakan dan mengenang arwah para anggota keluarga yang sudah mendahului pergi ke alam keabadian. Mereka memegang batang dupa dengan kedua tangan, lalu membungkuk sebanyak tiga kali di hadapan papan memori para leluhur. Tak bisa dipungkiri, jika hati keduanya pun merasa sangat sedih dan terluka saat mengenang kejadian tragis di masa lalu. Peristiwa berdarah itu telah membuat semua orang yang namanya tertera di papan peringatan harus meninggalkan dunia ini dengan cara sangat mengenaskan. Sesuai melakukan ritual tersebut, Jing Yue mau tak mau meneteskan air mata. Wanita itu kemudian mengelu
"Benda ini pula yang menjadi saksi atas tragedi di malam itu. Kamu buka dan lihatlah, Ah Ling!" Tangan Jing Yue sedikit bergetar saat teringat kenangan pahit telah membuatnya merasa tertekan dalam hati selama tujuh belas tahun ini. "Benda ini ditinggalkan olehnya untukmu beserta sebuah kitab. Tapi kamu tidak perlu berterima kasih kepadanya." "Tak perlu berterima kasih padanya?" Alis hitam Jing Ling sampai berkerut akibat merasa heran. "Siapa maksud Ibu?" "Itu ... nanti akan ibu ceritakan pelan-pelan," jawab Jing Yue, sendu. "Hmm, Ibu rupanya sudah mulai senang bermain teka-teki denganku." "Konyol!" Jing Yue menyentil ujung hidung anaknya dengan lembut. "Sudah jangan banyak bicara. Cepat kamu lihat benda itu!" "Oh." Jing Ling mengangguk. "Baiklah. Baiiiik." Sebenarnya, hati Jing Yue terasa sedang tercabik-cabik dan berdarah oleh kenangan yang membuat separuh usianya hanya terkungkung dalam dendam. Sakitnya tak terkata hingga menangis sepanjang puluhan tahun ini pun bagai
Jing Yue hanya menggelengkan kepala. "Ibu, lihatlah! Ibu bisa melihat sejauh mana perkembanganku." Jing Ling begitu bersemangat, lalu dia melompat ke tengah ruangan dengan gerakan lincah. Di hadapan Jing Yue dan seluruh papan peringatan Keluarga Jing, Jing Ling memainkan tombak itu dengan penuh semangat. Satu kali gerak Sambaran ke udara berhasil menimbulkan gelombang angin besar yang membuat semua tirai di ruangan itu bergerak melambai. "Menyambar kuat seperti ekor naga raksasa, tapi juga lentur dan lembut saat diayunkan!" teriak Jing Ling sembari terus mengayunkan tombak itu sambil melakukan gerak berputar, menusuk ke depan, memutar bilah tersebut dengan gerakan lincah. "Gelombang angin yang berderu kencang cukup untuk merobohkan bukit anakan!" Pemuda itu lalu melompat cukup tinggi dan menyabetkan mata tombak ke tirai yang digantung sebagai hiasan. Hanya dalam satu kali sabetan saja, kain merah itu terpotong menjadi dua bagian dan melayang terbang dengan sangat lembut, lalu
"Jika Ibu bertanya, apakah aku takut?" Jing Ling berkata jujur. "Tentu saja aku takut. Bahkan sangat takut. Mendengar cerita tentang kekejamannya saja hatiku sudah bergetar dan ragu. Tapi aku akan berusaha mengatasi ketakutan itu demi keluargaku!" "Ibu, mohon doakan aku agar aku bisa menjadi lebih kuat dan dapat memenuhi harapan Ibu!" Jing Ling mengepalkan kedua tangannya. Jing Yue semakin terharu. "Tentu saja ibu akan selalu mendoakanmu. Hanya kamulah satu-satunya kebahagiaan, kebanggaan dan harapan ibu." "Doa saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan latihan yang keras. Ibarat seseorang ingin mengangkat gunung, tapi bergerak saja malas." Suara orang lain mengejutkan keduanya. "Ayah!" Jing Ling berseru kegirangan saat berbalik badan dan melihat Hua Yan, Hua Fei dan Hua Lin sudah berdiri di sana dengan sikap tenang lagi anggun. "Ayah datang." "Mmhh. Aku ingin bicara beberapa hal dengan ibumu," ujar Hua Yan sambil melangkah mendekati Jing Yue. "Silakan, Ayah." Jing Ling mem
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa