"Benda ini pula yang menjadi saksi atas tragedi di malam itu. Kamu buka dan lihatlah, Ah Ling!" Tangan Jing Yue sedikit bergetar saat teringat kenangan pahit telah membuatnya merasa tertekan dalam hati selama tujuh belas tahun ini. "Benda ini ditinggalkan olehnya untukmu beserta sebuah kitab. Tapi kamu tidak perlu berterima kasih kepadanya." "Tak perlu berterima kasih padanya?" Alis hitam Jing Ling sampai berkerut akibat merasa heran. "Siapa maksud Ibu?" "Itu ... nanti akan ibu ceritakan pelan-pelan," jawab Jing Yue, sendu. "Hmm, Ibu rupanya sudah mulai senang bermain teka-teki denganku." "Konyol!" Jing Yue menyentil ujung hidung anaknya dengan lembut. "Sudah jangan banyak bicara. Cepat kamu lihat benda itu!" "Oh." Jing Ling mengangguk. "Baiklah. Baiiiik." Sebenarnya, hati Jing Yue terasa sedang tercabik-cabik dan berdarah oleh kenangan yang membuat separuh usianya hanya terkungkung dalam dendam. Sakitnya tak terkata hingga menangis sepanjang puluhan tahun ini pun bagai
Jing Yue hanya menggelengkan kepala. "Ibu, lihatlah! Ibu bisa melihat sejauh mana perkembanganku." Jing Ling begitu bersemangat, lalu dia melompat ke tengah ruangan dengan gerakan lincah. Di hadapan Jing Yue dan seluruh papan peringatan Keluarga Jing, Jing Ling memainkan tombak itu dengan penuh semangat. Satu kali gerak Sambaran ke udara berhasil menimbulkan gelombang angin besar yang membuat semua tirai di ruangan itu bergerak melambai. "Menyambar kuat seperti ekor naga raksasa, tapi juga lentur dan lembut saat diayunkan!" teriak Jing Ling sembari terus mengayunkan tombak itu sambil melakukan gerak berputar, menusuk ke depan, memutar bilah tersebut dengan gerakan lincah. "Gelombang angin yang berderu kencang cukup untuk merobohkan bukit anakan!" Pemuda itu lalu melompat cukup tinggi dan menyabetkan mata tombak ke tirai yang digantung sebagai hiasan. Hanya dalam satu kali sabetan saja, kain merah itu terpotong menjadi dua bagian dan melayang terbang dengan sangat lembut, lalu
"Jika Ibu bertanya, apakah aku takut?" Jing Ling berkata jujur. "Tentu saja aku takut. Bahkan sangat takut. Mendengar cerita tentang kekejamannya saja hatiku sudah bergetar dan ragu. Tapi aku akan berusaha mengatasi ketakutan itu demi keluargaku!" "Ibu, mohon doakan aku agar aku bisa menjadi lebih kuat dan dapat memenuhi harapan Ibu!" Jing Ling mengepalkan kedua tangannya. Jing Yue semakin terharu. "Tentu saja ibu akan selalu mendoakanmu. Hanya kamulah satu-satunya kebahagiaan, kebanggaan dan harapan ibu." "Doa saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan latihan yang keras. Ibarat seseorang ingin mengangkat gunung, tapi bergerak saja malas." Suara orang lain mengejutkan keduanya. "Ayah!" Jing Ling berseru kegirangan saat berbalik badan dan melihat Hua Yan, Hua Fei dan Hua Lin sudah berdiri di sana dengan sikap tenang lagi anggun. "Ayah datang." "Mmhh. Aku ingin bicara beberapa hal dengan ibumu," ujar Hua Yan sambil melangkah mendekati Jing Yue. "Silakan, Ayah." Jing Ling mem
Sebenarnya, apa yang membuat mereka harus pergi secepat itu? Beberapa hari yang lalu. Setelah mendapat perawatan dari tabib, luka-luka Jing Ling dan Hua Fei sudah semakin membaik. Begitu pula dengan keadaan Hua Yan yang tidak lagi terlalu mengkhawatirkan. Siang hari itu, Hua Yan duduk santai di ruangan pribadinya dengan ditemani oleh Hua Wu yang begitu setia melayani sang guru. "Guru, ada salah seorang murid yang baru saja keluar lembah, dan dia menemukan kertas ini di jalanan." Hua Wu membungkuk hormat seraya menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Hua Yan. Hua Yan langsung membaca tulisan yang tertera pada kertas putih tulang yang baru saja diterimanya. Munculnya beberapa garis kerutan di dahi pria itu, seharusnya adalah suatu pertanda tentang bagaimana ia sedang berpikir keras. Hua Yan bergumam lirih. "Kompetisi tahunan ...." Setelah bergumam, Hua Yan langsung menyembunyikan kertas tersebut di tempat yang aman. "Benar, Guru. Murid-murid lain sudah ramai membicarakan ini
Wajah Hua Fei menunjukkan kekhawatiran yang tidak dibuat-buat. "Sudah paman bilang, kalau paman tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari racun dalam tubuh paman. Apakah kamu lupa siapa pamanmu ini?" Hua Yan menepuk lembut bahu Hua Fei. "Aku adalah salah seorang dari tiga ahli racun yang ada di wilayah Kekaisaran Han ini. Aku bukan hanya dapat menekannya, tetapi juga pasti bisa membuat penawarnya." "Ah Fei tentu saja selalu ingat. Aku hanya tidak ingin racun itu akan menjadi pengganggu yang merepotkan paman nantinya." Hua Fei tetap merasa cemas. Hua Yan tersenyum lembut sebelum berkata, "Paman tahu akan kekhawatiranmu, Ah Fei. Tapi percayalah kalau paman akan baik-baik saja di bawah perawatan Tabib Guo. Beliau adalah adik seperguruan mendiang kakekmu, tentu saja Tabib Guo bisa dengan mudah mengatasi racun kecil ini." Walaupun Hua Yan mengatakan kalau itu hanya racun kecil, tetapi sesungguhnya ada suatu hal yang masih menjadi ganjalan pikiran pria tersebut, yaitu ten
Hua Fei yang baru saja selesai merapikan pakaian Hua Yan pun segera menghadapkan muka ke wajah sang paman. Ada kecemasan pada cahaya matanya yang tak dapat disembunyikan. Hua Yan tersenyum, menepuk bahu Hua Fei dengan lembut. Pria itu kemudian berkata sambil berjalan menuju ke pintu keluar. "Kita serahkan saja semuanya pada takdir." Hua Fei merasa sedih dan tidak puas dengan jawaban Hua Yan. Dia lalu mengikuti langkah pria yang merupakan pelindung terbesarnya. Jika Hua Yan saja berkata demikian, bukankah itu artinya jikalau racun itu sebenarnya tidak mudah ditangani? Hua Fei tidak berharap apa pun selain daripada kesehatan sang paman, orang yang merupakan satu-satunya saudara muda mendiang sang ayah. "Sepertinya paman mencoba untuk membuatku tenang. Tapi itu justru membuatku hatiku semakin gelisah. Setelah ini, aku akan mencari tahu tentang racun yang ada di tubuh paman." Hua Fei berkata dalam hati sambil terus mengikuti Hua Yan. Mereka meninggalkan ruang perpustakaan dan langsun
Jing Yunxi terkejut bukan buatan atas sikap Jing Yanxi. Dia bahkan menoleh tanpa sadar dengan mata terbelalak lebar. Gadis itu berharap, jika telinganya tak bermasalah atau sedang tidak salah dengar, tetapi ini juga terlalu mustahil untuk bisa dipercaya. "Kak, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah tadi Kakak baru saja marah-marah dan tidak ingin masuk?" Jing Yunxi berbalik badan dan menatap tak percaya pada Jing Yanxi. Penatua Luo bingung sampai tak tahu harus berkata apa. "Ini ...." Jing Yanxi dalam hati diam-diam mengutuk adiknya yang sangat tidak peka. "Dasar gadis bodoh!" Memangnya jika dia bersikap tidak baik pada Jing Yue, siapa yang berani melawan wanita ini? "Bibi Yue, jangan hiraukan ucapannya. Yanxi ini benar-benar sangat tulus dalam meminta maaf atas segala kesalahanku tiga hari yang lalu. Selain ganti rugi atas ular-ular itu, kami juga membawa banyak barang hadiah sebagai permintaan maaf." Jing Yanxi menunjuk ke arah semua barang bawaan mereka untuk kediaman
Jing Yanxi meremas kain yang menutupi lututnya. Perasaan pemuda itu sangat berantakan dan marah saat mengingat kejadian tersebut. Dirinya sungguh tidak berdaya dengan ancaman Jing Cheng, ayahnya. 'Kalau saja si pria tua sialan tidak mengancamku dengan hal yang paling menakutkan itu, mana mungkin aku mau meminta maaf kepada si anak pengkhianat seperti Jing Ling?' Jing Yanxi menggerutu dalam hati dengan perasaan tertekan. "Sekarang mari kita lihat barang bawaan kalian itu!" Suara Jing Yue mengejutkan lamunan Jing Yanxi. Akibat terkejut, tubuh Jing Yanxi sampai sedikit terlonjak hingga dadanya menjadi kacau. "Oh, silakan, Bibi!" Ia segera menyahut dengan dada masih berdetak cepat. Pemuda itu lalu melambaikan tangan ke arah para pengawal. "Bawa ke mari semua barang itu!" "Baik, Tuan Muda!" Enam orang pengawal Keluarga Jing menyahut secara bersamaan. Mereka langsung melakukan perintah anak majikannya dengan membuka penutup kotak kayu satu per satu dan semuanya menampilkan ba
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa