"Lupakan saja bocah!"
Dahi Aden berkerut. "Mengapa?"
Lagi-lagi Edgar yang menjelaskan dengan sabar, karena sudah pasti Emily tidak mau bersusah payah. Menurutnya tidak ada gunanya juga jika Aden tahu.
"Benda itu tidak ada satupun yang pernah melihatnya. Yah bisa dikatakan seperti dongeng yang diturunkan ke generasi oleh para leluhur. Konon, barangsiapa yang bisa mendapatkan mustika itu mereka juga bisa menduduki puncak hierarki. Beberapa orang pun ada yang tertarik untuk memilikinya. Jadi mereka mencari ....."
"Bagaimana mereka mencarinya kalau tidak ada yang pernah melihat seperti apa benda itu?" tanya Aden memotong ucapan Edgar.
"Banyak tanya kau!" geram Emily. Dia lantas mengambil sesuatu dari balik bajunya dan melemparkannya ke Edgar. Aden tidak tahu apa itu, karena Edgar langsung memasukkannya ke kantung.
Setelahnya, Emily memanggil Max yang sejak tadi di pinggir sungai dan akan mencebur ke dalam untuk menangkap ikan yang lewat. Max baru mendekat ke Emily setelah memakan hasil tangkapannya tadi. Emily lalu naik ke punggung Max.
"Aku pergi. Jangan cari aku lagi." ucap Emily lalu menghilang di balik rimbunan pohon.
Aden senang tentunya karena dia sangat tidak suka dengan Emily. Akhirnya dia bisa bersama Edgar—ah apa matanya rabun? Mengapa dia melihat Edgar yang tersenyum samar ke arah perginya Emily?
Edgar yang sadar Aden menatapnya, menyimpulkan kalimatnya tadi. "Intinya hanya mereka yang merasa sangat kuat, yang berani berpikir untuk mencari mustika itu."
Benar juga apa yang dibilang Edgar. Makin berharga suatu benda, maka makin banyak pula yang ingin menginginkannya. Kalau nekat dengan modal kekuatan yang tidak seberapa, seperti setor nyawa saja.
Aden mengangguk mengerti. "Lalu apa kau bisa mengajariku? Aku sangat ingin mendapatkan mustika itu. Latihan seberat apapun akan kulakukan."
Aden mengatakannya dengan tegas. Edgar menatapnya beberapa detik, melihat kesungguhan Aden lewat matanya yang hitam kelam. Edgar menghela napas, lalu mengangguk kecil.
"Kau yakin tidak akan mengeluh?"
Pertanyaan macam apa itu. Aden tidak akan ragu lagi. Orang sejak kecil saja dia sudah mendapat latihan keras dari ayahnya. Seharusnya berlatih dengan Edgar yang sabar tidak lebih sulit.
"Yakin!"
"Baiklah. Tetapi lebih dahulu kau harus mengganti pakaianmu," Aden menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Bisakah kau memberiku pakaian? Yang biasa saja tidak apa-apa," inginnya sih yang bagusan, tetapi kan Aden tidak punya sepeserpun uang saat ini. Malu lah ya kalau udah minta, malah request yang bagus pula.
Edgar mengiyakan, lalu memberikan pakaian yang pas di tubuh Edgar. Tak lama Edgar sudah dalam tampilan yang baru. Edgar memujinya kalau dia tampan. Aden hanya berdehem, kan dia sendiri juga sadar kalau dirinya tampan. Terbukti banyak wanita yang ingin menjadi kekasihnya.
"Ayo ke rumahmu." ajak Edgar.
Aden bingung bagaimana harus menjawabnya. Masa iya dia harus bilang tidak punya. Tetapi kan kenyataannya memang begitu. Kalau bohong, apa yang ingin dikatakan?
"Rumahku dirampok dan dibakar." oke alasan yang bagus Aden. Jadi bisa mengisyaratkan kalau kau tidak perlu membayar pakaian dari Edgar.
"Orang tuamu?" tanya Edgar lagi.
"Aku tinggal sendiri," untuk yang satu ini dia tidak berbohong loh. Edgar manggut-manggut. Lalu menadahkan tangannya. "Pegang tanganku,"
Aden nurut saja. Tangan Edgar yang lebih besar darinya itu sudah digenggamnya. Kabut ungu tipis muncul di sekeliling mereka. Lama-lama kabut tersebut menutupi tubuh keduanya.
Aden merasa aneh dengan tubuhnya. Saat dia bertanya mengapa kabut itu tiba-tiba muncul, Edgar tak menjawabnya. Seperti sihir, kabut itu akhirnya lenyap begitu pula dengan Aden dan Edgar.
"Apa yang ....?" Aden heran. Hanya dalam satu kedipan mata dia sudah berada di tempat yang berbeda. "Ini di mana, Ed?"
Saat ini mereka ada di depan gerbang besar. Di sisi kanan dan kiri gerbang tersebut dijaga oleh pria berpakaian sama, yang membawa tombak serta tameng. Sebenarnya di bagian atas gerbang tersebut ada tulisannya, hanya saja karena gelap Aden tidak bisa membacanya.
Belum sempat menjawab, dua orang itu mendekat ke Aden dan Edgar. Mereka lantas menunduk hormat, tepatnya hanya ke Edgar saja. Aden pikir si Edgar ini pastilah punya kedudukan.
"Selamat datang kembali, Tuan Zan." lah kok mereka bukannya memanggil Edgar?
"Maaf saya lancang, tetapi pria di sebelah anda ini?" salah satu pria itu bertanya setelah mereka berdiri tegak.
"Muridku."
Mereka mengerti, lalu memberi jalan. Pintu gerbang dibuka, memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
Jalanan berundak, rumah kecil bergaya kuno, lampu-lampu temaram yang pastinya tidak menggunakan listrik berjejer di pinggir jalan, bangunan tinggi di ujung, dan gunung yang berada di bagian selatan.
"Selamat datang, Tuan Zan." suara itu menyapa dari belakang. Aden membalikkan tubuhnya, mendapati seorang wanita cantik yang menampilkan senyum manisnya.
Lagi-lagi Tuan Zan. Mengapa Edgar dipanggil Zan?
Seakan tahu apa yang dipikirkan Aden, Edgar berbisik. "Nama belakangku Zan."
Mata wanita itu memicing ke arah Aden. Aden mendelik. Dia tidak suka dengannya.
"Tuan tahu kan kita tidak boleh membawa masuk sembarang orang kesini?" tanyanya dengan nada lembut. Telinga Aden geli mendengar nada yang dibuat-buat itu.
"Dia bukan sembarang orang." jawab Edgar menatap Aden yang berdiri di sampingnya. "Aden, muridku."
Wanita itu mengubah sikapnya, lalu mengelus kepala Aden. "Kalau begitu ayo, ikut denganku. Aku akan menunjukkan tempat untukmu istirahat."
Aden menatap Edgar, seolah mengatakan agar tidak membiarkan dia ikut wanita itu. Tetapi Edgar tidak menangkapnya. Edgar mengiyakan saja, lalu pergi entah ke mana.
Dia punya firasat buruk soal wanita ini. "Cih, memuakkan. Mengapa bocah seperti kau diperhatikan oleh Tuan Zan!" tuh kan dibilang juga apa.
"Apa ini layak disebut tempat tinggal?" Aden memandang ruangan yang kini dimasukinya bersama Helda—nama wanita tadi, yang baginya lebih menyebalkan daripada Emily. Dari luar rumah seluas lima meter persegi itu tampak baik-baik saja, tetapi dalamnya tampak bobrok. Satu lemari kecil yang kayunya sudah keropos, tempat tidur beralaskan tikar yang koyak di beberapa bagian, tanah becek di sekeliling karena atapnya bocor, belum lagi sarang laba-laba dan debu di mana-mana. "Tempat lain sudah penuh. Kalau kau tak mau ya sudah tidur di luar sana!" Helda tak peduli. Dia langsung keluar dari rumah itu, kembali ke tempatnya sendiri. Tanpa sepengetahuan Aden, dia terkikik pelan. Aden jelas lebih memilih untuk tidur di luar. Maka dia pun melangkah. Pikirnya lebih baik dia jalan-jalan sebentar guna melihat seperti apa Perguruan Goya ini. Oh iya, dia baru tahu saat tadi Helda dengan mulutnya yang terus nyerocos tanpa henti mengatakan ini itu padanya. Sampai akhirnya d
Keesokan harinya.Aden terbangun merasakan hangat serta silau matahari yang mengenai netranya. Rasanya dia baru saja memejamkan mata, namun sudah harus bangun. Bukannya dia tidak bisa tidur karena tidak mendapat alas berupa kasur yang empuk. Dia sudah pernah hampir tiga hari tiga malam harus berada di hutan karena menghindari jebakan musuh. Dan tentunya dia juga tidak terlalu mempermasalahkan tidur hanya beralaskan rumput.Saat masih mengumpulkan nyawa, dia mendengar suara di sampingnya."Matahari terlihat indah kan dari sini?"Suara lembut itu mengalun di telinga Aden, terasa nyaman.Aden menoleh, terpana. Jujur saja dari sekian wanita yang pernah ditemuinya, baru kali ini dia melihat wanita yang benar-benar cantik alami.Wanita itu menoleh ke arahnya dengan senyum yang terlukis di bibir semerah cerinya. "Aku sering kesini disaat ingin menyendiri. Orang-orang mungkin menganggap hidupku sangatlah sempurna, tetapi mereka salah. Hanya aku yang
Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya. Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun. Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar. Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar. Aneh memang. Terlebih lagi
"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan."Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana.""Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?Bisa jadi bukan?Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya."Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke
Cuaca sore hari ini mendung dengan awan yang berwarna abu-abu lebih ke hitam. Mungkin tak lama lagi air yang ditampung akan turun menjadi hujan. Angin berhembus, menggoyangkan rerumputan serta dedaunan sehingga terlihat melambai indah. Suasana yang kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang terbilang sangat panas. Setelah ujian selesai, Aden dan Helda jalan bersama. Bukan berarti keduanya berteman sekarang, Helda cuma ingin melihat orang yang satu itu. Aden pun juga begitu, akhirnya mereka barengan saja. Beberapa orang bertegur sapa dengan Helda, Helda menjawab sekenanya. Sementara Aden, saat ada gadis yang malu-malu ataupun secara terang-terangan melirik ke arahnya, hanya cuek saja. Sewaktu Helda menyuruh agar Aden sedikit tersenyum saja, jawaban Aden membuatnya bungkam. "Banyak tersenyum membuat kulitmu cepat keriput." Mereka kembali ke rumah Helda, duduk di kursi bambu lagi. Mumpung suasananya begini Helda masuk ke rumah, mengambil
Yang diucapkan Nugi benar. Besoknya, Aden berada di kelas yang sama dengan Jin dan Nugi. Ini hanya sementara, kalau Edgar sudah selesai dengan urusannya maka Aden dilatih langsung olehnya.Untuk tahun ini, jumlah murid hanya tiga puluh orang. Sangat sedikit ketimbang tahun yang lalu. Sudah jelas ini disebabkan ujiannya. Kalau ditotal dari keseluruhan, murid yang diterima kurang dari sepuluh persen.Seperti yang dikatakan kemarin, mulai sekarang mereka akan berlatih. Entah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan, murid baru yang sekarang diajar oleh Zidi.Jubang merahnya dia tepuk-tepuk sebentar, kemudian menaruh kedua tangannya di belakang. Menghitung berapa murid yang sudah duduk.Matanya agak menyipit kala melihat tiga orang yang menonjol datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Aden, Nugi, dan Jin. Mungkin kelihatannya Jin hanya pelengkap, namun Jin juga memiliki latar belakang dari keluarga kerajaan meski bukan pangeran. Bangku yang tersisa ada lima. Dua
"Lili." gadis itu memperkenalkan diri. Senyum manis lagi-lagi tak pernah luput dia sunggingkan."Apa kita pernah bertemu?" tanya Aden.Lili terlihat syok karena Aden tidak mengingatnya, sementara Jin menatap keduanya bergantian. Apakah si Lili salah satu fans Aden?Aden benar-benar tidak ingat siapa Lili. Baru saat Lili mengatakan mereka bertemu di padang rumput beberapa hari lalu, Aden ingat."Kita ternyata satu angkatan, ya." Lili mulai bicara karena ketiganya kompak tidak ada yang membuka percakapan. Daripada canggung, bukan?Jin mengiyakan. Dia menanyakan darimana asal Lili. Siapa tahu dia kenal. Lagipula mana bisa dia mengabaikan Lili yang cantik itu."Aku dari Kerajaan Sheng," sahut Lili.Mata Jin terbuka lebar, "Apa kau seorang putri?"Jin begitu terkejut saat Lili menganggukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa melewatkan daftar gadis yang bisa menjadi calonnya?Tak!"Aduh!" Jin mengusap dahinya yang terkena r
Kirin melihat token itu sekali lagi, lalu bertanya, "Apa dia mengetahui tentang ini?""Tidak." jawab Edgar cepat, "Ah, namun dia memang ada di sana saat Emily memberikan token itu padaku. Meski begitu dia belum sempat melihatnya." tambah Edgar.Dahi Edgar berkerut, dia mencoba mengingat kembali kejadian dua malam yang lalu.FlashbackMalam ini, awan putih terlihat bergumul di langit. Awan-awan itu bergerak pelan tertiup angin. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi menguntungkan bagi mereka yang bertugas jaga. Beruntungnya juga hujan tidak turun, padahal beberapa hari terakhir jam-jam segini sudah hujan deras.Kali ini giliran berjaga sampai dini hari merupakan tugas Edgar. Dia bersama dua guru lain dan lima murid senior dibagi menjadi empat kelompok. Kemudian mereka pergi ke arah yang sudah ditentukan.Hampir empat jam lamanya, mereka ke
Aden, Nugi, dan Mizu bersiap. Ketiganya berdiri di depan Wuzu dan Lin. Aden mengacungkan pedang, menatap si pemimpin serigala. Serigala itu menggeram melihat mata Aden, merasa seolah-olah bisa mengalahkannya dengan mudah. Nugi dan Mizu saling lirik. Masing-masing membatin akan menunjukkan siapa yang bisa mengalahkan serigala itu lebih banyak lalu mengambil posisi sebagai ketua. Hanya dengan lirikan itu, keduanya seperti merasa sedang berlomba dan berlari maju bersamaan. Beberapa serigala itu pun maju. Mereka melewati Aden karena berpikir dia bagian sang pemimpin. Nugi mengeluarkan tombak serta cambuknya. Kali ini dia akan menggunakan dua senjata itu. Berbeda dari Aden, serigala itu tidak akan berpikir secerdas manusia. Mereka hanya mengandalkan kemampuan bertarung dan bertahan di alam bebas. Dari tiga serigala yang menyerangnya, Nugi berhasil menumpas dua diantaranya. Dia memakai trik yang sama sewaktu bertarung dengan
Pagi ini, para siswa baru sudah berada di lapangan. Masing-masing membawa tas di punggung yang berisi senjata, bekal, serta obat-obatan. Kemarin Zidi berpesan agar mereka membawa obat untuk berjaga-jaga, karena setelah mereka masuk dia tidak mungkin membuntuti mereka dan menolong apabila sesuatu terjadi. Namun, untuk kasus tertentu mereka boleh menyalakan api warna sebagai tanda bahaya. Api warna itu semacam petasan kembang api, namun tidak meledak. Jika dilepaskan ke langit maka akan terlihat warna merah dan kuning. Sebelum mereka berangkat, Zidi memberi kantung penyimpanan untuk wadah tanaman obat yang mereka dapatkan. Batas waktu sampai pukul lima sore. Jadi mereka harus sudah berkumpul kembali di lapangan sebelum waktunya habis. "Siapa yang menjadi ketua?" tanya Mizu melihat kelompoknya. Matanya menilai mereka satu persatu, lalu menghembuskan napas. "Tidak ada yang pantas selain aku." ucap Mizu menunjuk dirinya sendiri. Rautnya agak terbebani, ked
Suasana kelas pagi ini tidak berbeda seperti dua hari yang lalu. Zidi masih saja menyulitkan siswa baru dengan serangkaian tindakan yang didasarkan atas statusnya sebagai guru. Dan mereka sebagai murid tentu harus menurutinya. Hampir sepuluh hari mereka dilatih keras oleh Zidi. Banyak yang mengeluh karena latihannya berat. Bagaimana tidak, Zidi terus membuat mereka menggerakkan tiap bagian tubuh mereka. Alhasil tiap pulang mereka akan kelelahan. Meski begitu, mereka bisa dikatakan beruntung. Karena dari rumor yang ada, angkatan yang dilatih oleh Zidi kebanyakan menghasilkan murid yang hebat. Salah satunya Kirin. Oleh karena itu kemarin Kirin berani menghentikan Zidi yang hendak menampar Yilu. Bagi Zidi Kirin merupakan murid favoritnya, jadi dia tidak begitu perhitungan saat amarahnya mereda. Latihan-latihan yang diajarkan Zidi merupakan tingkatan ketiga dari tahap dasar. Seperti melihaikan gerakan senjata yang dipakai, menggunakannya untuk bertarung d
Kirin melihat token itu sekali lagi, lalu bertanya, "Apa dia mengetahui tentang ini?""Tidak." jawab Edgar cepat, "Ah, namun dia memang ada di sana saat Emily memberikan token itu padaku. Meski begitu dia belum sempat melihatnya." tambah Edgar.Dahi Edgar berkerut, dia mencoba mengingat kembali kejadian dua malam yang lalu.FlashbackMalam ini, awan putih terlihat bergumul di langit. Awan-awan itu bergerak pelan tertiup angin. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi menguntungkan bagi mereka yang bertugas jaga. Beruntungnya juga hujan tidak turun, padahal beberapa hari terakhir jam-jam segini sudah hujan deras.Kali ini giliran berjaga sampai dini hari merupakan tugas Edgar. Dia bersama dua guru lain dan lima murid senior dibagi menjadi empat kelompok. Kemudian mereka pergi ke arah yang sudah ditentukan.Hampir empat jam lamanya, mereka ke
"Lili." gadis itu memperkenalkan diri. Senyum manis lagi-lagi tak pernah luput dia sunggingkan."Apa kita pernah bertemu?" tanya Aden.Lili terlihat syok karena Aden tidak mengingatnya, sementara Jin menatap keduanya bergantian. Apakah si Lili salah satu fans Aden?Aden benar-benar tidak ingat siapa Lili. Baru saat Lili mengatakan mereka bertemu di padang rumput beberapa hari lalu, Aden ingat."Kita ternyata satu angkatan, ya." Lili mulai bicara karena ketiganya kompak tidak ada yang membuka percakapan. Daripada canggung, bukan?Jin mengiyakan. Dia menanyakan darimana asal Lili. Siapa tahu dia kenal. Lagipula mana bisa dia mengabaikan Lili yang cantik itu."Aku dari Kerajaan Sheng," sahut Lili.Mata Jin terbuka lebar, "Apa kau seorang putri?"Jin begitu terkejut saat Lili menganggukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa melewatkan daftar gadis yang bisa menjadi calonnya?Tak!"Aduh!" Jin mengusap dahinya yang terkena r
Yang diucapkan Nugi benar. Besoknya, Aden berada di kelas yang sama dengan Jin dan Nugi. Ini hanya sementara, kalau Edgar sudah selesai dengan urusannya maka Aden dilatih langsung olehnya.Untuk tahun ini, jumlah murid hanya tiga puluh orang. Sangat sedikit ketimbang tahun yang lalu. Sudah jelas ini disebabkan ujiannya. Kalau ditotal dari keseluruhan, murid yang diterima kurang dari sepuluh persen.Seperti yang dikatakan kemarin, mulai sekarang mereka akan berlatih. Entah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan, murid baru yang sekarang diajar oleh Zidi.Jubang merahnya dia tepuk-tepuk sebentar, kemudian menaruh kedua tangannya di belakang. Menghitung berapa murid yang sudah duduk.Matanya agak menyipit kala melihat tiga orang yang menonjol datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Aden, Nugi, dan Jin. Mungkin kelihatannya Jin hanya pelengkap, namun Jin juga memiliki latar belakang dari keluarga kerajaan meski bukan pangeran. Bangku yang tersisa ada lima. Dua
Cuaca sore hari ini mendung dengan awan yang berwarna abu-abu lebih ke hitam. Mungkin tak lama lagi air yang ditampung akan turun menjadi hujan. Angin berhembus, menggoyangkan rerumputan serta dedaunan sehingga terlihat melambai indah. Suasana yang kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang terbilang sangat panas. Setelah ujian selesai, Aden dan Helda jalan bersama. Bukan berarti keduanya berteman sekarang, Helda cuma ingin melihat orang yang satu itu. Aden pun juga begitu, akhirnya mereka barengan saja. Beberapa orang bertegur sapa dengan Helda, Helda menjawab sekenanya. Sementara Aden, saat ada gadis yang malu-malu ataupun secara terang-terangan melirik ke arahnya, hanya cuek saja. Sewaktu Helda menyuruh agar Aden sedikit tersenyum saja, jawaban Aden membuatnya bungkam. "Banyak tersenyum membuat kulitmu cepat keriput." Mereka kembali ke rumah Helda, duduk di kursi bambu lagi. Mumpung suasananya begini Helda masuk ke rumah, mengambil
"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan."Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana.""Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?Bisa jadi bukan?Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya."Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke
Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya. Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun. Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar. Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar. Aneh memang. Terlebih lagi