Keesokan harinya.
Aden terbangun merasakan hangat serta silau matahari yang mengenai netranya. Rasanya dia baru saja memejamkan mata, namun sudah harus bangun. Bukannya dia tidak bisa tidur karena tidak mendapat alas berupa kasur yang empuk. Dia sudah pernah hampir tiga hari tiga malam harus berada di hutan karena menghindari jebakan musuh. Dan tentunya dia juga tidak terlalu mempermasalahkan tidur hanya beralaskan rumput.
Saat masih mengumpulkan nyawa, dia mendengar suara di sampingnya.
"Matahari terlihat indah kan dari sini?"
Suara lembut itu mengalun di telinga Aden, terasa nyaman.
Aden menoleh, terpana. Jujur saja dari sekian wanita yang pernah ditemuinya, baru kali ini dia melihat wanita yang benar-benar cantik alami.
Wanita itu menoleh ke arahnya dengan senyum yang terlukis di bibir semerah cerinya. "Aku sering kesini disaat ingin menyendiri. Orang-orang mungkin menganggap hidupku sangatlah sempurna, tetapi mereka salah. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya menjadi diriku. Terkadang aku ingin terlahir sebagai orang biasa sehingga bebas melakukan apapun yang kuinginkan."
Aden jadi teringat masa lalunya. Dulu dia juga seperti itu.
"Maaf aku banyak bicara. Bagaimana denganmu? Apa yang membawamu kemari?"
"Ah, aku ...."
"Hei!"
Keduanya menoleh, Helda datang ngos-ngosan.
Dia membungkuk sambil memegangi kedua lututnya, "Kau benar-benar tidur di sini?"
Melihat Aden yang tak kunjung menjawab, Helda bicara lagi, "Maaf aku kemarin tidak memaksamu tinggal sementara denganku."
Ada yang salah! Mengapa Helda tiba-tiba sok baik begini dengannya? Aden baru tahu jawabannya begitu Edgar muncul. Dengan muka duanya, Helda menyalahkan dirinya sendiri seperti yang dia bilang barusan.
"Apa-apaan, nyatanya kau sendiri yang menunjukkan tempat tidak layak itu untukku. Jelas saja aku tidur di sini!" ungkap Aden menggebu-gebu.
Entahlah Aden tidak tahu apa yang dipikirkan Edgar saat ini, karena pria itu tampak biasa saja. Dia lalu mengajak Aden. Katanya sih ada yang ingin dibicarakan.
Aden lalu tersenyum pada wanita cantik tadi, mengatakan dia harus pergi. Sementara dengan Helda, Aden hanya menatap sinis. Ingatkan dia harus memberi pelajaran pada Helda.
Suasana pagi ini cukup ramai, banyak anak-anak seusia Aden memulai aktivitasnya yang tak lain adalah belajar di perguruan ini. Mereka yang melihat Edgar menyapa sambil menunduk sebentar, Edgar menanggapinya dengan senyum tipis.
"Kau orang yang sangat dihormati, Ed." ucap Aden.
Edgar menoleh padanya. Edgar menggaruk pipinya. "Apa begitu?"
Aden mengangguk. Dilihat dari segi mana pun juga sudah jelas.
"Hmm. Kau sendiri apa cukup nyaman tinggal di sini?" Edgar bertanya di sela murid yang lewat.
Oh ya jelas tidak. Semalam saja dia tidur di luar ditemani nyamuk yang terus berdengung di telinga dan terkadang akan menusuk kulitnya untuk menyesap darah. "Tanpa kuberi tahu, kau pasti sudah tahu."
Edgar tertawa kecil.
"Apa yang kau tertawakan?" Aden bersungut-sungut.
Edgar yang melihatnya gemas. Ah, dia jadi ingin memiliki anak. "Ingin menjadi anak angkatku, Aden?"
Mata Aden membola, "Usia kita mungkin hanya berjarak tujuh tahun, Ed. Jadi tidak mungkin bagimu untuk menjadikanku anak angkatmu."
"Usia bukan masalah. Lagipula usia kita sebenarnya berjarak seratus tiga puluh tahun." Edgar menghitung dengan jarinya.
Aden melongo, serasa bisa menjatuhkan rahangnya saking lebarnya.
"Tidak mungkin!" bantahnya. Jelas siapa yang akan percaya jika Edgar sudah setua itu. Wajahnya saja masih muda, seperti berusia dua puluhan.
"Ya sudah kalau kau tidak percaya."
"Hmm. Jadi apa sebenarnya yang ingin kau katakan?" Aden yakin Edgar berbasa-basi tadi.
Edgar menghentikan langkahnya, menatap Aden. Dia membatin, Aden ini anak yang peka. "Ingat aku sudah menjadi gurumu?"
Aden mengiyakan. Edgar belum berbicara lagi, hingga mereka tiba di depan bangunan tinggi yang dilihat Aden semalam.
Dari dekat dia bisa melihat Ginzu yang berdiri kokoh, mengeluarkan hawa yang tampak berbeda dari semua tempat yang ada di perguruan ini. Sedikit lebih kental dengan suasana mencekam?
"Bisa dibilang, guru yang melatih murid-murid tinggal di sana." Edgar menunjuk bangunan di samping Ginzu.
Oh, pantas saja kemarin Edgar tidak mengajaknya tidur di tempatnya. Bangunan itu rupanya dikhususkan untuk para guru.
"Ada beberapa dari mereka yang kurang setuju dengan keputusanku,"
Jangan bilang Edgar bermaksud mencabut kata-katanya, lalu menendangnya keluar sehingga dia hanya akan menjadi gelandangan. Oh, tidak. Wajah tampannya terlalu disayangkan kalau begini akhirnya.
"Tetapi, untung saja kau kemari di waktu yang tepat karena acara itu akan segera dilaksanakan."
Aden menghembuskan napas lega. Tidak berselang lama, dia menaikkan alisnya sebelah, "Acara apa?"
"Ujian masuk untuk penerimaan murid,"
Oh, jadi begitu. Aden tidak terlalu khawatir sih. Palingan juga mereka harus menunjukkan kemampuan bertarung. Asal lawannya bermain dengan tangan kosong, Aden yakin dia tidak akan mudah untuk dikalahkan.
Ingat bukan, kehidupan Aden dulunya seperti apa?
"Tidak perlu khawatir, Ed. Aku pasti bisa melewatinya. Ngomong-ngomong acaranya kapan?"
"Tiga hari kemudian,"
Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya. Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun. Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar. Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar. Aneh memang. Terlebih lagi
"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan."Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana.""Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?Bisa jadi bukan?Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya."Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke
Cuaca sore hari ini mendung dengan awan yang berwarna abu-abu lebih ke hitam. Mungkin tak lama lagi air yang ditampung akan turun menjadi hujan. Angin berhembus, menggoyangkan rerumputan serta dedaunan sehingga terlihat melambai indah. Suasana yang kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang terbilang sangat panas. Setelah ujian selesai, Aden dan Helda jalan bersama. Bukan berarti keduanya berteman sekarang, Helda cuma ingin melihat orang yang satu itu. Aden pun juga begitu, akhirnya mereka barengan saja. Beberapa orang bertegur sapa dengan Helda, Helda menjawab sekenanya. Sementara Aden, saat ada gadis yang malu-malu ataupun secara terang-terangan melirik ke arahnya, hanya cuek saja. Sewaktu Helda menyuruh agar Aden sedikit tersenyum saja, jawaban Aden membuatnya bungkam. "Banyak tersenyum membuat kulitmu cepat keriput." Mereka kembali ke rumah Helda, duduk di kursi bambu lagi. Mumpung suasananya begini Helda masuk ke rumah, mengambil
Yang diucapkan Nugi benar. Besoknya, Aden berada di kelas yang sama dengan Jin dan Nugi. Ini hanya sementara, kalau Edgar sudah selesai dengan urusannya maka Aden dilatih langsung olehnya.Untuk tahun ini, jumlah murid hanya tiga puluh orang. Sangat sedikit ketimbang tahun yang lalu. Sudah jelas ini disebabkan ujiannya. Kalau ditotal dari keseluruhan, murid yang diterima kurang dari sepuluh persen.Seperti yang dikatakan kemarin, mulai sekarang mereka akan berlatih. Entah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan, murid baru yang sekarang diajar oleh Zidi.Jubang merahnya dia tepuk-tepuk sebentar, kemudian menaruh kedua tangannya di belakang. Menghitung berapa murid yang sudah duduk.Matanya agak menyipit kala melihat tiga orang yang menonjol datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Aden, Nugi, dan Jin. Mungkin kelihatannya Jin hanya pelengkap, namun Jin juga memiliki latar belakang dari keluarga kerajaan meski bukan pangeran. Bangku yang tersisa ada lima. Dua
"Lili." gadis itu memperkenalkan diri. Senyum manis lagi-lagi tak pernah luput dia sunggingkan."Apa kita pernah bertemu?" tanya Aden.Lili terlihat syok karena Aden tidak mengingatnya, sementara Jin menatap keduanya bergantian. Apakah si Lili salah satu fans Aden?Aden benar-benar tidak ingat siapa Lili. Baru saat Lili mengatakan mereka bertemu di padang rumput beberapa hari lalu, Aden ingat."Kita ternyata satu angkatan, ya." Lili mulai bicara karena ketiganya kompak tidak ada yang membuka percakapan. Daripada canggung, bukan?Jin mengiyakan. Dia menanyakan darimana asal Lili. Siapa tahu dia kenal. Lagipula mana bisa dia mengabaikan Lili yang cantik itu."Aku dari Kerajaan Sheng," sahut Lili.Mata Jin terbuka lebar, "Apa kau seorang putri?"Jin begitu terkejut saat Lili menganggukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa melewatkan daftar gadis yang bisa menjadi calonnya?Tak!"Aduh!" Jin mengusap dahinya yang terkena r
Kirin melihat token itu sekali lagi, lalu bertanya, "Apa dia mengetahui tentang ini?""Tidak." jawab Edgar cepat, "Ah, namun dia memang ada di sana saat Emily memberikan token itu padaku. Meski begitu dia belum sempat melihatnya." tambah Edgar.Dahi Edgar berkerut, dia mencoba mengingat kembali kejadian dua malam yang lalu.FlashbackMalam ini, awan putih terlihat bergumul di langit. Awan-awan itu bergerak pelan tertiup angin. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi menguntungkan bagi mereka yang bertugas jaga. Beruntungnya juga hujan tidak turun, padahal beberapa hari terakhir jam-jam segini sudah hujan deras.Kali ini giliran berjaga sampai dini hari merupakan tugas Edgar. Dia bersama dua guru lain dan lima murid senior dibagi menjadi empat kelompok. Kemudian mereka pergi ke arah yang sudah ditentukan.Hampir empat jam lamanya, mereka ke
Suasana kelas pagi ini tidak berbeda seperti dua hari yang lalu. Zidi masih saja menyulitkan siswa baru dengan serangkaian tindakan yang didasarkan atas statusnya sebagai guru. Dan mereka sebagai murid tentu harus menurutinya. Hampir sepuluh hari mereka dilatih keras oleh Zidi. Banyak yang mengeluh karena latihannya berat. Bagaimana tidak, Zidi terus membuat mereka menggerakkan tiap bagian tubuh mereka. Alhasil tiap pulang mereka akan kelelahan. Meski begitu, mereka bisa dikatakan beruntung. Karena dari rumor yang ada, angkatan yang dilatih oleh Zidi kebanyakan menghasilkan murid yang hebat. Salah satunya Kirin. Oleh karena itu kemarin Kirin berani menghentikan Zidi yang hendak menampar Yilu. Bagi Zidi Kirin merupakan murid favoritnya, jadi dia tidak begitu perhitungan saat amarahnya mereda. Latihan-latihan yang diajarkan Zidi merupakan tingkatan ketiga dari tahap dasar. Seperti melihaikan gerakan senjata yang dipakai, menggunakannya untuk bertarung d
Pagi ini, para siswa baru sudah berada di lapangan. Masing-masing membawa tas di punggung yang berisi senjata, bekal, serta obat-obatan. Kemarin Zidi berpesan agar mereka membawa obat untuk berjaga-jaga, karena setelah mereka masuk dia tidak mungkin membuntuti mereka dan menolong apabila sesuatu terjadi. Namun, untuk kasus tertentu mereka boleh menyalakan api warna sebagai tanda bahaya. Api warna itu semacam petasan kembang api, namun tidak meledak. Jika dilepaskan ke langit maka akan terlihat warna merah dan kuning. Sebelum mereka berangkat, Zidi memberi kantung penyimpanan untuk wadah tanaman obat yang mereka dapatkan. Batas waktu sampai pukul lima sore. Jadi mereka harus sudah berkumpul kembali di lapangan sebelum waktunya habis. "Siapa yang menjadi ketua?" tanya Mizu melihat kelompoknya. Matanya menilai mereka satu persatu, lalu menghembuskan napas. "Tidak ada yang pantas selain aku." ucap Mizu menunjuk dirinya sendiri. Rautnya agak terbebani, ked
Aden, Nugi, dan Mizu bersiap. Ketiganya berdiri di depan Wuzu dan Lin. Aden mengacungkan pedang, menatap si pemimpin serigala. Serigala itu menggeram melihat mata Aden, merasa seolah-olah bisa mengalahkannya dengan mudah. Nugi dan Mizu saling lirik. Masing-masing membatin akan menunjukkan siapa yang bisa mengalahkan serigala itu lebih banyak lalu mengambil posisi sebagai ketua. Hanya dengan lirikan itu, keduanya seperti merasa sedang berlomba dan berlari maju bersamaan. Beberapa serigala itu pun maju. Mereka melewati Aden karena berpikir dia bagian sang pemimpin. Nugi mengeluarkan tombak serta cambuknya. Kali ini dia akan menggunakan dua senjata itu. Berbeda dari Aden, serigala itu tidak akan berpikir secerdas manusia. Mereka hanya mengandalkan kemampuan bertarung dan bertahan di alam bebas. Dari tiga serigala yang menyerangnya, Nugi berhasil menumpas dua diantaranya. Dia memakai trik yang sama sewaktu bertarung dengan
Pagi ini, para siswa baru sudah berada di lapangan. Masing-masing membawa tas di punggung yang berisi senjata, bekal, serta obat-obatan. Kemarin Zidi berpesan agar mereka membawa obat untuk berjaga-jaga, karena setelah mereka masuk dia tidak mungkin membuntuti mereka dan menolong apabila sesuatu terjadi. Namun, untuk kasus tertentu mereka boleh menyalakan api warna sebagai tanda bahaya. Api warna itu semacam petasan kembang api, namun tidak meledak. Jika dilepaskan ke langit maka akan terlihat warna merah dan kuning. Sebelum mereka berangkat, Zidi memberi kantung penyimpanan untuk wadah tanaman obat yang mereka dapatkan. Batas waktu sampai pukul lima sore. Jadi mereka harus sudah berkumpul kembali di lapangan sebelum waktunya habis. "Siapa yang menjadi ketua?" tanya Mizu melihat kelompoknya. Matanya menilai mereka satu persatu, lalu menghembuskan napas. "Tidak ada yang pantas selain aku." ucap Mizu menunjuk dirinya sendiri. Rautnya agak terbebani, ked
Suasana kelas pagi ini tidak berbeda seperti dua hari yang lalu. Zidi masih saja menyulitkan siswa baru dengan serangkaian tindakan yang didasarkan atas statusnya sebagai guru. Dan mereka sebagai murid tentu harus menurutinya. Hampir sepuluh hari mereka dilatih keras oleh Zidi. Banyak yang mengeluh karena latihannya berat. Bagaimana tidak, Zidi terus membuat mereka menggerakkan tiap bagian tubuh mereka. Alhasil tiap pulang mereka akan kelelahan. Meski begitu, mereka bisa dikatakan beruntung. Karena dari rumor yang ada, angkatan yang dilatih oleh Zidi kebanyakan menghasilkan murid yang hebat. Salah satunya Kirin. Oleh karena itu kemarin Kirin berani menghentikan Zidi yang hendak menampar Yilu. Bagi Zidi Kirin merupakan murid favoritnya, jadi dia tidak begitu perhitungan saat amarahnya mereda. Latihan-latihan yang diajarkan Zidi merupakan tingkatan ketiga dari tahap dasar. Seperti melihaikan gerakan senjata yang dipakai, menggunakannya untuk bertarung d
Kirin melihat token itu sekali lagi, lalu bertanya, "Apa dia mengetahui tentang ini?""Tidak." jawab Edgar cepat, "Ah, namun dia memang ada di sana saat Emily memberikan token itu padaku. Meski begitu dia belum sempat melihatnya." tambah Edgar.Dahi Edgar berkerut, dia mencoba mengingat kembali kejadian dua malam yang lalu.FlashbackMalam ini, awan putih terlihat bergumul di langit. Awan-awan itu bergerak pelan tertiup angin. Udara malam ini tidak terlalu dingin, jadi menguntungkan bagi mereka yang bertugas jaga. Beruntungnya juga hujan tidak turun, padahal beberapa hari terakhir jam-jam segini sudah hujan deras.Kali ini giliran berjaga sampai dini hari merupakan tugas Edgar. Dia bersama dua guru lain dan lima murid senior dibagi menjadi empat kelompok. Kemudian mereka pergi ke arah yang sudah ditentukan.Hampir empat jam lamanya, mereka ke
"Lili." gadis itu memperkenalkan diri. Senyum manis lagi-lagi tak pernah luput dia sunggingkan."Apa kita pernah bertemu?" tanya Aden.Lili terlihat syok karena Aden tidak mengingatnya, sementara Jin menatap keduanya bergantian. Apakah si Lili salah satu fans Aden?Aden benar-benar tidak ingat siapa Lili. Baru saat Lili mengatakan mereka bertemu di padang rumput beberapa hari lalu, Aden ingat."Kita ternyata satu angkatan, ya." Lili mulai bicara karena ketiganya kompak tidak ada yang membuka percakapan. Daripada canggung, bukan?Jin mengiyakan. Dia menanyakan darimana asal Lili. Siapa tahu dia kenal. Lagipula mana bisa dia mengabaikan Lili yang cantik itu."Aku dari Kerajaan Sheng," sahut Lili.Mata Jin terbuka lebar, "Apa kau seorang putri?"Jin begitu terkejut saat Lili menganggukkan kepalanya. Bagaimana dia bisa melewatkan daftar gadis yang bisa menjadi calonnya?Tak!"Aduh!" Jin mengusap dahinya yang terkena r
Yang diucapkan Nugi benar. Besoknya, Aden berada di kelas yang sama dengan Jin dan Nugi. Ini hanya sementara, kalau Edgar sudah selesai dengan urusannya maka Aden dilatih langsung olehnya.Untuk tahun ini, jumlah murid hanya tiga puluh orang. Sangat sedikit ketimbang tahun yang lalu. Sudah jelas ini disebabkan ujiannya. Kalau ditotal dari keseluruhan, murid yang diterima kurang dari sepuluh persen.Seperti yang dikatakan kemarin, mulai sekarang mereka akan berlatih. Entah bisa dibilang keberuntungan atau kesialan, murid baru yang sekarang diajar oleh Zidi.Jubang merahnya dia tepuk-tepuk sebentar, kemudian menaruh kedua tangannya di belakang. Menghitung berapa murid yang sudah duduk.Matanya agak menyipit kala melihat tiga orang yang menonjol datang. Ya, siapa lagi kalau bukan Aden, Nugi, dan Jin. Mungkin kelihatannya Jin hanya pelengkap, namun Jin juga memiliki latar belakang dari keluarga kerajaan meski bukan pangeran. Bangku yang tersisa ada lima. Dua
Cuaca sore hari ini mendung dengan awan yang berwarna abu-abu lebih ke hitam. Mungkin tak lama lagi air yang ditampung akan turun menjadi hujan. Angin berhembus, menggoyangkan rerumputan serta dedaunan sehingga terlihat melambai indah. Suasana yang kontras sekali dengan cuaca pagi tadi yang terbilang sangat panas. Setelah ujian selesai, Aden dan Helda jalan bersama. Bukan berarti keduanya berteman sekarang, Helda cuma ingin melihat orang yang satu itu. Aden pun juga begitu, akhirnya mereka barengan saja. Beberapa orang bertegur sapa dengan Helda, Helda menjawab sekenanya. Sementara Aden, saat ada gadis yang malu-malu ataupun secara terang-terangan melirik ke arahnya, hanya cuek saja. Sewaktu Helda menyuruh agar Aden sedikit tersenyum saja, jawaban Aden membuatnya bungkam. "Banyak tersenyum membuat kulitmu cepat keriput." Mereka kembali ke rumah Helda, duduk di kursi bambu lagi. Mumpung suasananya begini Helda masuk ke rumah, mengambil
"Tanpa berbasa-basi maka ujian ini dimulai!" suara Zidi menggelegar.Semuanya memperhatikan apa yang dia katakan."Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini hanya ada satu tahap yang harus kalian selesaikan." Zidi menunjuk lingkaran batu, "Para peserta yang datang akan diuji di sana.""Kalian cukup meletakkan tangan kalian di bagian pusat, maka benda itu akan secara otomatis memberitahukan apakah kalian pantas."Selesai Zidi berbicara, baik yang hanya menonton maupun peserta saling bertanya. Batu itu dirasa tidak bisa memberikan keadilan, karena siapa yang tahu ada campur tangan orang lain. Ya misalnya jika ada orang berteriak mengatakan lolos?Bisa jadi bukan?Namun melihat para guru memasang raut seriusnya, agaknya tidak mungkin juga kecurangan terjadi. Atau bisa saja itu untuk menutupi yang sebenarnya."Mengapa mereka memilih ujian yang aneh ini? Lebih baik adu kekuatan saja seperti yang lalu," komentar Helda. Dia menoleh ke
Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya. Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun. Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar. Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar. Aneh memang. Terlebih lagi