Sudah seminggu aku menjadi istrinya Arlan. Aku masih tidak terima atas pernikahan ini. "Sudahlah! Jangan risau dan cobalah bersahabat dengan status barumu!" bisik Arlan tepat di daun telingaku. Aku masih saja tidak menyangka kalau pernikahan ini terjadi. "Aku berusaha dan berjanji tidak akan membiarkan bulir beningmu jatuh membasahi pipi mulusmu." Aku sama sekali tidak menghiraukan apa yang dikatakannya. Semua lelaki sama saja. Hanya manis di awal sebelum semua dia dapatkan.Aku membelakangi Arlan seolah tidak menggubris perkataannya. Otakku masih saja tidak terima atas pernikahan ini."Sayang ... Tolong jangan seperti ini!" ucap Arlan kembali. Dia mencoba melingkarkan tangannya di pinggang. Satu sisi jiwaku meronta-ronta untuk melakukan ibadah. Namun, di sisi lain aku merasa risih.Perlahan kutepiskan lengannya lalu aku beranjak dari atas dipan. Aku melangkah ke arah kamar mandi untuk segera mencuci muka. "Kamu mau ke mana?" seru Arlan terus berusaha untuk meluluhkan hatiku.Aku teru
"Tolonglah belajar menerima kenyataan, Nesya!" ucap Arlan terus memohon kepada istrinya.Aku hanya bergeming. Memutar arah sehingga memunggunginya. Kupejamkan netraku seolah belum bersedia menerima kenyataan yang ada. "Baik kalau itu maumu," ucapnya sembari beranjak dari atas dipan lalu melangkah pergi ke arah pintu. Suara dentuman kakinya sangat terasa terdengar. Aku mencoba berbalik menatap punggungnya.'Maafkan aku ... bukannya aku tidak ikhlas dan ridho atas pernikahan ini. Aku hanya belum siap dan mampu menerima kenyataan yang ada,' batinku sembari menarik selimut untuk rebahan di atas dipan. Tiba-tiba, ke dua bola mataku terpejam berlayar ke pulau seribu.Arlan pergi ke dapur. Perutnya sudah terasa perih akibat menahan lapar. Mau tidak mau, dia terjun langsung memasak buat bekal sarapan pagi. Sebelum menikah pun dirinya, dia sudah terbiasa masak, makan dan cuci baju sendiri. Padahal, dia berharap ketika sudah menikah tugas yang selama ini dia emban tidak akan dilakukannya lagi.
"Aku sudah menduga kalau kamu menikah dengan pria itu, hidupmu pasti tertekan."Aku mengernyitkan kening mendengar perkataannya. Seolah-olah dia maha mengetahui. Aku tidak menggubrisnya sama sekali."Kamu mau ke mana? Jangan hanya diam saja!" seru Rusly tidak terima.Aku membiarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Saat ini aku akan membungkam mulut ke dua pria yang telah menghancurkan masa depanku."Apakah sudah selesai racauanmu?!" tanyaku penuh telisik. Aku sengaja menautkan alis seolah menyimpan sejuta gurat amarah kepada pria yang terlalu egois selama ini.Hening ... tidak ada yang berani buka suara. Aku berdiri tegak di atas kakiku dan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada."Aku tidak tahu, apakah semua pria sama saja," ucapku berpikir sejenak. Ekor mataku memperhatikan ke dua pria itu. "Oh ya ... Aku sangat berterima kasih atas luka dalam yang kalian pahat," ucapku lirih. Aku menahan bulir bening yang terus meronta agar tidak jatuh membasahi pipi. Segenap daya dan u
Part 79: Memaafkan itu IndahSatu Minggu setelah kejadian itu, semua terasa hampa. Seperti di belahan bumi yang lain. Rusly kini resah dan gelisah memikirkan mantan istrinya. Rasa penyesalan kini telah menghardik dirinya. 'Andai kutahu kalau sudah tiada, baru terasa kehilangan. Aku pasti tidak akan menyesal di usia senjaku.'Sekarang Rusly masak sendiri, nyuci baju sendiri, tidur sendiri dan bahkan mencari biaya hidup buat diri sendiri. Dia masih merenung bayang-bayang dan kenangan ketika rumah tangganya masih utuh. "Apakah ini yang dirasakan Nesya pada saat aku tidak pulang ke rumah dengan alasan lembur padahal berbagi kasih dengan Lela dan Ririn?" Pertanyaan itu kini menghantui pikirannya.Kopi hitam khas Sosopan kini menyeruak hidungnya. Dia tersadar akan aroma itu dari lamunannya. Tidak sabar ingin mengecap kopi buatannya. Biasanya, selalu dibuatkan oleh istrinya. Kini sudah telah sirna. Ponsel miliknya berdering membuat dirinya semakin fokus kepada siapa yang menelpon dirinya."Y
'Yes ... bisa kaya kembali aku kalau seperti ini.'****Aku baru saja sampai di plataran parkiran rumah sakit. Walau bagaimanapun aku tidak boleh memutuskan untuk terakhir kalinya. Aku bergegas melangkah mencari ruang administrasi dan ternyata tidak jauh dan tidak perlu buang-buang waktu. Namun, Rusly ada di sana dan mengulas senyum. Aku menaruh curiga dan penuh penasaran. "Kenapa kau malah senyum atas kepergian almarhumah ibumu?!" tanyaku penuh selidik. Rusly gelagapan dan terkejut atas kehadiranku. Dari sorot matanya dia laksana melihat Mak lampir di wajahku."Cepat jawab!" desakku dengan nada tinggi dari biasanya. Karena tidak ada respon, aku langsung ke bagian administrasi untuk mendapatkan informasi yang akurat."Maaf, Sus. Aku mau nanya," ucapku setelah sampai di bagian administrasi. Aku masih penasaran dengan rahasia yang disimpan Rusly. Di saat musibah datang, dia malah senyum bahagia.Ada yang bisa saya bantu," jawabnya ramah dengan mengulas senyum."Aku mau mengeluarkan je
[Bu Nesya, aku mau pesan kue kotak 100 box, bisa tidak?] sebuah pesan masuk di mesengger.Aku merasa senang bisa mendapat pesanan kue kotak untuk pertama kalinya. Aku melihat profil akun sosial media yang memesan samaku. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Namun, aku modal percaya saja.[Mau kapan dan apa saja menunya dalam box?] Aku mencoba membalas pesan customer-ku dengan ramah.[Aku mau menu ala hotel.]Satu sisi aku sangat senang dikasih tantangan seperti ini. Namun, satu sisi aku harus lebih hati-hati takut terjadi order fiktif. Apalagi masih merintis harus memerlukan modal banyak.[Contohnya seperti apa, Bu?] Aku mencoba membalas pesan beliau dengan sopan dan lembut.[Avocado mouse, macarone dan risol segitiga.] Menu pesanannya mewah dan sangat susah buatnya. Secara alatku masih terbatas. 'Aduh ... bagaimana ya cara bilangnya alatku masih belum lengkap?' batinku seraya berpikir mencari jawaban yang tepat.[Bagaimana, Bu?!] desaknya menunggu kepastian dariku.[Untuk menu yang di
Semua bahan sudah selesai kubelanjakan. Aku juga baru saja sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Kini aku mulai mencicil apa yang bisa dikerjakan agar tidak kepepet esok pagi.Mulai melipat kotak, aku melakukannya sendiri. Melipat kotak sambil memanggang kulit pie.Baru Lima puluh kotak terlipat, aku sudah mulai letih dan lelah. Namun, aku harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan pesanan.Tiba-tiba, listrik padam. Aku mulai kalang kabut. Takut kalau listriknya lama padam.Sembari melipat kotak aku terus berdoa agar usaha yang aku rintis dari nol berkah dan bisa berkembang menjadi toko kue seperti di Mall.Ketika hendak mau melipat kotak ke enam puluh. Suara salam membuyarkan lamunanku. Aku heran jam segini siapa yang datang bertamu."Waalaikum salam," jawabku sembari berjalan menuju pintu utama. Ketika daun pintu yang terbuat dari papan kubuka lebar. Aku terkejut melihat pemandangan yang tersaji di depan pintu rumah."Maaf mau apa lagi kamu datang kemari?!" seruku seolah tidak i
Daripada naik sasakku meladeni Lala. Aku menutup daun pintu lalu masuk ke dalam rumah. Pekerjaanku masih banyak yang harus dikerjakan."Dasar manusia tidak ada etika. Tamu masih ada dan belum selesai bicara. Seenak jidat main menutup pintu," desis Lala menyeringai. Dia menggedor-godeor daun pintu dengan bringas. Aku tidak peduli sama sekali.Baru saja sampai di depan, listrik menyala. Aku merapalkan hamdalah.Pelan-pelan aku kerjakan mulai dari melipat kotak, menimbang bahan sampai memasak kulakukan dengan sendiri. Di dalam hati aku terus berdoa agar tidak tumbang dalam mengerjakan semua pesan ini.Matahari sudah lama pamit ke peraduannya. Baru selesai melipat kotak. Kini kulit pie sudah seratus biji selesai di panggang. Aku harus lebih giat dan lebih cepat bekerja agar tidak kewalahan untuk besok.Di sela-sela waktu membuat adonan kulit risol. Suara salam kembali memekakkan telinga di depan rumah. Mau tidak mau, aku bangkit dan segera membuka daun pintu."Assalamualaikum," ucap sese