Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 61: Selaput Cinta yang Terkoyak"Masalah apa yang sudah diketahui, Rusly?" tanya Bu Larasati. Aku heran kenapa beliau bisa ada di rumah ini.Aku ber oh ria dan menggaruk kepala sangking salah tingkahnya. Siapa pun itu, pasti merasakan terkejut ketika seseorang hadir tanpa ada salam dan belum pernah masuk ke dalam rumahnya.Wajah Bu Aisyah pucat pasi melihat kehadiran Bu Larasati. Dia juga salah tingkah akibat kehadiran ibu kandungnya Rusly datang laksana jelangkung."Kenapa pada diam?! Rahasia apa yang kalian sembunyikan dariku atau pun Rusly?!" cecar Bu Larasati sedikit tersulut emosi. Kalau masuk ke dalam rumah seseorang itu, seharusnya mengetuk pintu baru mengucap salam. Bagaimana kalau aku yang punya rumah teriak bilang maling," seruku mencoba mengecoh pembicaraan Bu Larasati. Aku sengaja membuyarkan konsentrasinya agar lupa dengan pertanyaannya."Oh, iya, maaf," jawabnya sambil mengulum senyum simpul. Rasa malu kini terlihat di raut wajahny
"Ibu yang selama ini merawat dan membesarkan kamu ternyata bejat! Dan kamu juga ternyata menikmati apa yang dia suguhkan. Anak dan ibu ternyata sama-sama hina!" berangku tidak terima. Orang yang terdekatku menaruh luka lalu menetesi luka itu dengan perasan air asam belimbing wuluh. Ngilu dan perih itulah yang kurasakan pada saat ini. Andaikan kupunya sayap, aku pasti terbang meninggalkan manusia-manusia bejat seperti mantan suamiku dan ibu mertuaku."Hentikan omong kosongmu!" sentaknya tidak terima. Wajahnya memerah. "Aku melakukan itu bukan karena suatu alasan. So ... jangan langsung menjudge apa yang kamu lihat," imbuhnya dengan nada emosi tingkat dewa. Aku merasa jijik mendengar perkataannya. Sudah tua, masih saja ganjen sama anak sendiri walaupun itu anak angkat. Setidaknya sejak dari kecil dia sudah melihat setiap inci tubuh mantan suamiku."Kalau aku berkata sesuai fakta juga. Bukan menyebar fitnah atau ngadi-ngadi," balasku tidak mau kalah sengit darinya.Manik matanya Rusly h
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 62: Siapa Sumber Dalangnya?Buah bibir sangatlah manis. Mengalahkan manisnya madu. Bu Aisyah masih saja berkelit meski hatinya tak ridho atas ketidakjujurannya."Perlu aku katakan yang sejujurnya tentang kebusukanmu?!" sergah Bu Larasati tidak terima jawaban yang diberikan Bu Aisyah. "Sebelum kubongkar, jangan menyesal," imbuhnya dengan deru napas tidak teratur."Sepertinya perdebatan ini sangatlah alot. Aku tidak tahu mana yang sesungguhnya salah dan siapa yang sebenarnya salah." Aku mencoba buka suara. Diriku ingin sekali ikut dalam perdebatan yang sangat panas. Kutatap manik mata Bu Larasati. Di ekor retinaya tersimpan sejuta kesal dan kecewa."Sudah cukup sampai di sini dramamu! Aku sudah terlalu lama memendam semua ini. Batas kesabaranku sudah habis. Kini tibalah saatnya kamu menerima semuanya.""Drama apa yang kamu maksud wahai wanita jalang?!" seru Bu Aisyah tidak terima. Wajahnya memerah akibat tersulut emosi. "Apa yang kamu lihat selama
Kali ini Bu Aisyah tidak bisa lagi berkelit. Semua yang dikatakan Wati benar. Otaknya masih saja terus mencari celah untuk mematahkan perkataan Wati."Jangan kamu mengira selama ini mentari tetap tersenyum menyapa bumi. Sekali-kali dia akan enggan menampakkan sinarnya." Wati melangkah menghampiri kursi lalu dia duduk dengan elegan. "Oh, ya. Satu lagi perlu kamu ingat, jangan sepele kepada setiap manusia! Jangan mengira air yang tenang tidak berbahaya. Suatu kelak dia akan menerkammu mentah-mentah," imbuhnya sambil mengambil cemilan yang ada di dalam toples.Bu Aisyah diam seribu bahasa. Bibirnya Kelu seolah beku. Di dalam hati dia mengucap istighfar berkali-kali. Hatinya tetap gelisah mendengar perkataan Wati. Selama ini dia merasa di atas terus, itu sebabnya dirinya merasa angkuh dan bisa melakukan apa saja yang dia mau. Menghalalkan cara demi apa yang dia mau."Sekarang ... mengakulah dengan jujur!" perintah Wati. Bu Aisyah heran kenapa Wati bisa nekat dan berani menyuruhnya. Padaha
"Ya," jawabku sambil mengangguk."Baiklah kalau begitu."Aku melangkah menuju parkiran dan diikuti Bu Larasati dan Bu Wati. Tidak perlu buang-buang waktu kami tiba di parkiran mobil depan rumahku.Kutekan tombol unlock lalu mempersilahkan Bu Larasati dan Bu Wati masuk dari pintu samping. Setelah semua aman, aku menyalakan mesin mobil lalu menekan tuas gas dengan penuh konsentrasi membelah jalan yang sudah mulai padat."Kita mau ke mana?" tanya Bu Wati memecahkan keheningan.Aku melirik wajah beliau dari kaca spion sambil menyalakan musik MP3. Setelah lagu terdengar menyala. Aku mencoba fokus ke jalan raya dan sesekali ikut nimbrung."Nggak tahu," jawab Bu Larasati dengan polos sambil memainkan ponsel miliknya. "Coba tanya saja kepada Nesya!" imbuhnya lalu menatap ke arah Bu Wati."Pokok Bu Wati dan Bu Larasati tenang saja. Aku akan membongkar semua rahasia Bu Aisyah dan Rusly. Biar mereka mau jujur dan berterus terang. Setelah itu, mereka harus bertanggungjawab dengan perbuatan yang
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 63: Satu-Satu mulai terbongkar.[Bu Larasati telah membunuh Ayahnya Rusly. Karena pria yang kami cintai itu tidak bisa berlaku adil kepadanya. Itu sebabnya dia khilaf menghabisi nyawa mantan suaminya sekaligus ayah kandung dari anaknya.] Pesan itu masih saja terus masuk satu persatu. Aku hanya mampu membaca dan mencerna setiap kata demi kata.[Karena aku sudah terlanjur sayang dan sakit hati kepada Larasati, itu sebabnya aku menghalalkan cara demi mendapat sentuhan hangat dari pria yang kucintai. Walaupun itu hanya anaknya. Itu sudah lebih dari cukup bagiku menjalani kehidupanku dan rasa dendam ku terlampiaskan kepada Larasati.][Apa hubungannya kepadaku?!] Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. Manik mataku tidak lepas dari layar ponsel untuk mendapatkan balasan apa yang hendak dia ketik.Titik tiga terus terlihat di layar gawaiku. Itu pertanda dia sedang mengetik. Namun, jiwa kesabaranku tidak ada. Mengetik saja c
"Ini adalah jampi-jampi sejenis pelet!" seru Bu Larasati.Aku terkejut batin. "Selama ini aku tidak pernah melihat ini di dalam box beras, Bu," ucapku datar. Wajahku pias setelah mendengar perkataan Bu Larasati. Bisa saja kedua bola matamu sudah ditutup sama Bu Aisyah agar kamu tidak melihat ini," balasnya mencoba meyakinkanku. Mulai dari kejadian ini aku mulai paham dan kenapa diriku bisa tunduk dan tidak bisa melepaskan Rusly dari genggamanku."Apa ada lagi tanda-tanda aneh alias tidak masuk akal yang pernah dilakukan Rusly selama membina rumah tangga?" cecar Bu Larasati tidak mau tinggal diam mengorek informasi."Maaf ibu, aku mengalihkan pembicaraan, boleh?" serangku melempar pertanyaan balik kepadanya. Aku mau nanya dan mencari informasi tentang pesan Bu Aisyah yang baru saja kuketahui."Silakan! Boleh ... kenapa tidak boleh," jawabnya sambil mengukir senyum.Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Pertanyaan ini sangat sensitif dan bisa menjerumus menuduh tanpa bukti. Akan tetapi
"Aku pernah tidur bersama dengan Bu Aisyah. Dia ngingo dan memanggil-manggil nama itu. Sangking paniknya beliau, aku sempat terbangun dari tidur pendekku," ucapku mencoba mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu."Coba kamu ceritakan informasi apa yang kamu terima darinya pada saat itu," desak Bu Wati. "Kalau sudah dapat informasi detail. Bisa kita menarik benang merahnya.""Sebenarnya Sudrajat itu belum meninggal. Dia itu masih hidup dan sehat wal afiat," jelasku terhenti. Aku menatap sorot mata Bu Larasati. Retinanya mendung ketika aku berkata seperti itu."Sungguh?!" tanya Bu Larasati dan Bu Wati serentak dengan mulut menganga. Kelopak matanya tidak berkedip sangking terkejutnya."Ya," jawabku pelan."Terus apakah kamu pernah bersua dengan Sudrajat?" tanya Bu Larasati lirih. Dia masih merindukan kehangatan tubuh suaminya yang direbut paksa oleh Bu Aisyah dari pelukannya. "Ya," jawabku kembali."Apakah kamu mengetahui keberadaannya?" cecar Bu Larasati kembali. Manik matanya mela