"Aku mau kalau Rusly ingin menjadi suamiku," jawab Bu Aisyah polos. Dia langsung menunduk merasa malu. Walaupun kenyataan ini amatlah pahit untuk ditelan. Sudah lama dirinya menjanda, dirinya butuh kasih sayang dan nafkah batin juga."Apa aku tidak salah dengar, Bu?" cecarku seolah ingin memperjelas apa yang baru saja diucapkan mertuaku. Aku tertawa terbahak karena merasa lucu. Sejenak otakku traveling dan ingat ketika Bu Aisyah datang berkunjung ke rumahku sebelum status janda sah melekat pada diriku. Ada rasa senang tergurat dalam wajahnya. 'Apakah beliau sangat senang atau bahagia ketika gelar janda melekat pada diriku?' tanyaku dalam hati."Kalau aku mengatakan ingin menikah dengan Rusly. Kira-kira apakah dia merasa malu atau mau menjadikan aku sebagai istrinya?" tanya Bu Aisyah tanpa ada sedikit malu."Mana kutahu," jawabku cuek sambil menahan tertawa. Ini korban sinetron. "Seru ini jika dijadikan sebuah judul film atau novel." Aku mengulas senyum tiada henti."Oh, ya, Bu. Pertan
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 61: Selaput Cinta yang Terkoyak"Masalah apa yang sudah diketahui, Rusly?" tanya Bu Larasati. Aku heran kenapa beliau bisa ada di rumah ini.Aku ber oh ria dan menggaruk kepala sangking salah tingkahnya. Siapa pun itu, pasti merasakan terkejut ketika seseorang hadir tanpa ada salam dan belum pernah masuk ke dalam rumahnya.Wajah Bu Aisyah pucat pasi melihat kehadiran Bu Larasati. Dia juga salah tingkah akibat kehadiran ibu kandungnya Rusly datang laksana jelangkung."Kenapa pada diam?! Rahasia apa yang kalian sembunyikan dariku atau pun Rusly?!" cecar Bu Larasati sedikit tersulut emosi. Kalau masuk ke dalam rumah seseorang itu, seharusnya mengetuk pintu baru mengucap salam. Bagaimana kalau aku yang punya rumah teriak bilang maling," seruku mencoba mengecoh pembicaraan Bu Larasati. Aku sengaja membuyarkan konsentrasinya agar lupa dengan pertanyaannya."Oh, iya, maaf," jawabnya sambil mengulum senyum simpul. Rasa malu kini terlihat di raut wajahny
"Ibu yang selama ini merawat dan membesarkan kamu ternyata bejat! Dan kamu juga ternyata menikmati apa yang dia suguhkan. Anak dan ibu ternyata sama-sama hina!" berangku tidak terima. Orang yang terdekatku menaruh luka lalu menetesi luka itu dengan perasan air asam belimbing wuluh. Ngilu dan perih itulah yang kurasakan pada saat ini. Andaikan kupunya sayap, aku pasti terbang meninggalkan manusia-manusia bejat seperti mantan suamiku dan ibu mertuaku."Hentikan omong kosongmu!" sentaknya tidak terima. Wajahnya memerah. "Aku melakukan itu bukan karena suatu alasan. So ... jangan langsung menjudge apa yang kamu lihat," imbuhnya dengan nada emosi tingkat dewa. Aku merasa jijik mendengar perkataannya. Sudah tua, masih saja ganjen sama anak sendiri walaupun itu anak angkat. Setidaknya sejak dari kecil dia sudah melihat setiap inci tubuh mantan suamiku."Kalau aku berkata sesuai fakta juga. Bukan menyebar fitnah atau ngadi-ngadi," balasku tidak mau kalah sengit darinya.Manik matanya Rusly h
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 62: Siapa Sumber Dalangnya?Buah bibir sangatlah manis. Mengalahkan manisnya madu. Bu Aisyah masih saja berkelit meski hatinya tak ridho atas ketidakjujurannya."Perlu aku katakan yang sejujurnya tentang kebusukanmu?!" sergah Bu Larasati tidak terima jawaban yang diberikan Bu Aisyah. "Sebelum kubongkar, jangan menyesal," imbuhnya dengan deru napas tidak teratur."Sepertinya perdebatan ini sangatlah alot. Aku tidak tahu mana yang sesungguhnya salah dan siapa yang sebenarnya salah." Aku mencoba buka suara. Diriku ingin sekali ikut dalam perdebatan yang sangat panas. Kutatap manik mata Bu Larasati. Di ekor retinaya tersimpan sejuta kesal dan kecewa."Sudah cukup sampai di sini dramamu! Aku sudah terlalu lama memendam semua ini. Batas kesabaranku sudah habis. Kini tibalah saatnya kamu menerima semuanya.""Drama apa yang kamu maksud wahai wanita jalang?!" seru Bu Aisyah tidak terima. Wajahnya memerah akibat tersulut emosi. "Apa yang kamu lihat selama
Kali ini Bu Aisyah tidak bisa lagi berkelit. Semua yang dikatakan Wati benar. Otaknya masih saja terus mencari celah untuk mematahkan perkataan Wati."Jangan kamu mengira selama ini mentari tetap tersenyum menyapa bumi. Sekali-kali dia akan enggan menampakkan sinarnya." Wati melangkah menghampiri kursi lalu dia duduk dengan elegan. "Oh, ya. Satu lagi perlu kamu ingat, jangan sepele kepada setiap manusia! Jangan mengira air yang tenang tidak berbahaya. Suatu kelak dia akan menerkammu mentah-mentah," imbuhnya sambil mengambil cemilan yang ada di dalam toples.Bu Aisyah diam seribu bahasa. Bibirnya Kelu seolah beku. Di dalam hati dia mengucap istighfar berkali-kali. Hatinya tetap gelisah mendengar perkataan Wati. Selama ini dia merasa di atas terus, itu sebabnya dirinya merasa angkuh dan bisa melakukan apa saja yang dia mau. Menghalalkan cara demi apa yang dia mau."Sekarang ... mengakulah dengan jujur!" perintah Wati. Bu Aisyah heran kenapa Wati bisa nekat dan berani menyuruhnya. Padaha
"Ya," jawabku sambil mengangguk."Baiklah kalau begitu."Aku melangkah menuju parkiran dan diikuti Bu Larasati dan Bu Wati. Tidak perlu buang-buang waktu kami tiba di parkiran mobil depan rumahku.Kutekan tombol unlock lalu mempersilahkan Bu Larasati dan Bu Wati masuk dari pintu samping. Setelah semua aman, aku menyalakan mesin mobil lalu menekan tuas gas dengan penuh konsentrasi membelah jalan yang sudah mulai padat."Kita mau ke mana?" tanya Bu Wati memecahkan keheningan.Aku melirik wajah beliau dari kaca spion sambil menyalakan musik MP3. Setelah lagu terdengar menyala. Aku mencoba fokus ke jalan raya dan sesekali ikut nimbrung."Nggak tahu," jawab Bu Larasati dengan polos sambil memainkan ponsel miliknya. "Coba tanya saja kepada Nesya!" imbuhnya lalu menatap ke arah Bu Wati."Pokok Bu Wati dan Bu Larasati tenang saja. Aku akan membongkar semua rahasia Bu Aisyah dan Rusly. Biar mereka mau jujur dan berterus terang. Setelah itu, mereka harus bertanggungjawab dengan perbuatan yang
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 63: Satu-Satu mulai terbongkar.[Bu Larasati telah membunuh Ayahnya Rusly. Karena pria yang kami cintai itu tidak bisa berlaku adil kepadanya. Itu sebabnya dia khilaf menghabisi nyawa mantan suaminya sekaligus ayah kandung dari anaknya.] Pesan itu masih saja terus masuk satu persatu. Aku hanya mampu membaca dan mencerna setiap kata demi kata.[Karena aku sudah terlanjur sayang dan sakit hati kepada Larasati, itu sebabnya aku menghalalkan cara demi mendapat sentuhan hangat dari pria yang kucintai. Walaupun itu hanya anaknya. Itu sudah lebih dari cukup bagiku menjalani kehidupanku dan rasa dendam ku terlampiaskan kepada Larasati.][Apa hubungannya kepadaku?!] Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. Manik mataku tidak lepas dari layar ponsel untuk mendapatkan balasan apa yang hendak dia ketik.Titik tiga terus terlihat di layar gawaiku. Itu pertanda dia sedang mengetik. Namun, jiwa kesabaranku tidak ada. Mengetik saja c
"Ini adalah jampi-jampi sejenis pelet!" seru Bu Larasati.Aku terkejut batin. "Selama ini aku tidak pernah melihat ini di dalam box beras, Bu," ucapku datar. Wajahku pias setelah mendengar perkataan Bu Larasati. Bisa saja kedua bola matamu sudah ditutup sama Bu Aisyah agar kamu tidak melihat ini," balasnya mencoba meyakinkanku. Mulai dari kejadian ini aku mulai paham dan kenapa diriku bisa tunduk dan tidak bisa melepaskan Rusly dari genggamanku."Apa ada lagi tanda-tanda aneh alias tidak masuk akal yang pernah dilakukan Rusly selama membina rumah tangga?" cecar Bu Larasati tidak mau tinggal diam mengorek informasi."Maaf ibu, aku mengalihkan pembicaraan, boleh?" serangku melempar pertanyaan balik kepadanya. Aku mau nanya dan mencari informasi tentang pesan Bu Aisyah yang baru saja kuketahui."Silakan! Boleh ... kenapa tidak boleh," jawabnya sambil mengukir senyum.Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Pertanyaan ini sangat sensitif dan bisa menjerumus menuduh tanpa bukti. Akan tetapi
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai