'Aku harus mencari ide agar rencana Rusly gagal.'Akhirnya Lala diam dan pasrah. Namun, otaknya terus berpikir untuk melahirkan ide.Mau tidak mau, Rusly menarik paksa lengan istri ke tiganya. Padahal tadi, dia mau ke rumah sakit membesuk ibunya. Tidak tahu kenapa, semua berubah haluan."Sayang, yakin mau ke rumah pamanku?" tanya Lala.Dirinya kini seperti seekor kerbau yang ditarik paksa oleh tuannya."Ya.""Ke-kenapa harus ke sana? Hari ini 'kan jadwalnya mau ke rumah sakit. Terus nggak ke sana dulu besuk ibu.""Tidak."Tidak berapa lama, Rusly dan Lala sampai di halaman rumah. Rusly membuka pintu mobil lalu masuk ke dalam. Tidak buang-buang waktu, Rusly menyalakan mesin mobil. Setelah semua aman. Dia menyuruh Lala masuk ke dalam lewat pintu samping.Lala mengikuti perintah Rusly. Kali ini dia tidak berani membantah.****Sesampainya di depan rumah repot, Rusly menatap ke arah Lala."Apa benar ini rumahnya?" tanya Rusly parau."Ya."Kali ini Lala enggan membuka mulut. Apa yang ditan
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 47: Lala Pergi SelamanyaPak Eko lari sudah tidak berkutik. Tubuhnya dikunci kuat sama Rusly.Di samping mobil, Lala sudah meringkuk kesakitan. Dia terus minta tolong agar dirinya diselamatkan."To-tolong," ucap Lala lirih.Darah terus mengalir membuat Lala semakin lemah seolah tidak berdaya. "Dasar kamu sudah gila! Kamu lebih mementingkan aku dari pada istrimu! Cepat larikan Lala ke rumah sakit," sindir Pak Eko.Rusly melepaskan Pak Eko lalu berlari menghampiri Lala."Sayang, aku yakin kamu pasti kuat. Ayo kita ke rumah sakit."Rusly menggendong tubuh istrinya dengan sedikit kesulitan. Darah segar masih terus mengalir. Wajah Lala semakin pucat. Tangan kanannya dia lingkarkan ke leher Rusly dan tangan kirinya dia memegang perutnya yang kena tusuk."Maafkan aku, sayang. Aku sudah banyak salah selama ini. Tolong maafkan diriku yang sudah berdusta kepadamu."Kaki Rusly terhenti mendengar perkataan istrinya. Namun, dia tetap menggendong tubuh istrin
Seminggu setelah kepergian Lala, Rusly tidak mau makan, minum, mandi bahkan rambut dan kumisnya sudah tidak pernah dicukur. Kepergian Lala membawa malapetaka baginya."Kamu masih memikirkan Lala?" tanya Ririn.Ririn merasa senang atas kepergian Lala. Dia sekarang memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan harta kekayaan milik suaminya.Rusly masih saja bergeming sambil menatap lekat foto Lala. Ririn terbakar api cemburu melihat tingkah suaminya."Move on, Bang! Lala itu sudah tiada. Dia hanya kenangan pahit di masa lalu!" pekik Ririn.Rusly menoleh ke arah Ririn. Ririn merasa takut melihat sorot mata suaminya. Perlahan, Ririn bringsut dengan wajah takut. Dia tidak berhenti berdoa agar suaminya tidak melakukan hal yang aneh."Ini semua pasti gara-gara kamu, Rin!" bentak Rusly. Dia melempar figura yang dipegangnya ke sembarang tempat.Ririn terkejut dan merasa shock melihat keadaan yang ada."Pergi dari sini! Kamu sudah melenyapkan nyawa istriku!"Rusly mengacak-acak rambutnya s
"Aa-aku sudah tidak nyaman menikmati harta yang kuraih dengan instan. Belakangan ini, hidupku tidak nyaman dan tenang."Tiba-tiba, lampu listrik hidup."Aa-alhamdulillah," ucap Ririn.Rasa haus kini hadir di tenggorokan Ririn. Wajahnya sudah mulai tenang karena ruangan itu sudah terang. Dia hendak melangkah menuju pintu kamar. Niatnya mau keluar mengambil air putih. Namun, lengannya ditarik paksa suaminya."Kamu mau ke mana?!" bentak Rusly.Ririn kembali terkejut mendengar bentakan suaminya. Perlahan dia menatap bola mata suaminya."Aa-aku mau ke dapur. Aa-ada apa rupanya?" tanya Ririn terbata.Rasa haus semakin terasa di tenggorokannya. Kakinya gemetar ditambah cairan bening mengalir deras tempat dia berdiri tegak."Ngapain kamu ke dapur?" tanya Rusly."Ma-mau mengambil air putih. Tenggorokanku terasa kering. Aku sangat haus.""Kenapa air cairan mengalir?" tanya Rusly sambil menunjuk ke arah lantai tempat Ririn berdiri.Ririn menunduk dan melihat ke arah lantai tepat dia berdiri. Dia
"Ada apa, sayang?!" teriak Ririn dengan nada kuat.Ririn langsung bangkit dari atas ranjang melangkah ke arah dapur. Langkah kakinya sengaja dia ayunkan dengan sigap agar bisa lebih cepat sampai ke dapur.Rusly mengelus dadanya sambil mengucap istighfar tiada henti. Wajahnya pucat pasi ditambah kakinya gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding lalu memejamkan mata."Apa yang terjadi? Mana malingnya?" tanya Ririn sambil mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan dapur."Ti-tidak ...!" teriak Rusly kencang sambil memeluk istrinya dengan erat.Ririn heran kenapa suaminya bersifat aneh seperti itu. Dia mencoba melepaskan peluka suaminya. Amun, Rusly terus memeluknya dengan kuat. Ririn merasa susah bernapas.****Pagi telah tiba menyapa bumi. Ririn beranjak dari atas ranjang lalu berjalan menuju ruang dapur. Pagi ini, dia memasak sarapan pagi buat suaminya tercinta.Dia membuka pintu kulkas lalu memeriksa sisa bahan makanan yang bisa diolah buat menu sarapan pagi.'Ya ela, hanya
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 48: Amanah Bu Aisyah"Bagaimana keadaan ibu."Aku melangkah gontai menghampirinya. Wajahnya masih pucat pasi. Rasa lelah dan jenuh rebahan setiap hari di atas brangkar membuat dirinya ingin segera pulang. Sudah dua bulan lebih dirawat di rumah sakit."Sudah membaik, Nak. Cuma, dokter bilang belum bisa pulang ke rumah.""Se-serius, Bu?" tanyaku kaget.Aku menatap ke arah wajah ibu mertuaku. Dia buang muka ke arah jendela. Aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan kasar."Ibu makan buah dulu ya! Aku tadi singgah ke tokoh buah buat beli ini."Aku menarik kursi lalu duduk di samping ibu mertuaku. Pisau putih berada di tangan kanan, sementara buah pir ada di tangan kiri. Tanpa buang waktu, aku mengupas buah pir."Sepertinya usiaku sudah tidak lama lagi, Nak."Aku berhenti mengupas buah pir lalu mengarahkan pandanganku ke wajah ibu."Ibu, tidak boleh berkata seperti itu. Seolah-olah ibu mendahului takdir."Aku meletakkan buah pir dan pisau di ata
Aku heran kenapa Bu Aisyah diam dan seperti ketakutan. Aku menggeleng memberi kode apa yang terjadi. Bu Aisyah seperti ketakutan melihat hantu atau pocong."Ibu ada apa?" tanyaku.Aku menggenggam erat tangan kanannya lalu mengelus keningnya. Suhu badannya biasa saja dan tidak panas."Ada apa, Bu? Ibu ceritalah! Ada aku yang selalu setia menemani dan menjaga ibu di masa tuamu.""Ii-itu ada ...," ucap Bu Aisyah terhenti.Bu Aisyah memejamkan mata sambil menunjuk ke arah belakangku dengan jari telunjuk. Aku berdiri lalu melihat ke arah belakang. Aku terkejut melihat Rusly dan Ririn sudah mematung di belakangku dengan wajah senyum simpul."Kenapa kalian ada di sini?" tanyaku sinis.Aku menatap ke dua manusia iblis itu dengan sangar."Nggak usah kamu nyolot seperti itu. Santai saja keles.""Dasar manusia tidak berhati! Sedikitpun tidak ada rasa malu. Apa belum puas kamu merusak rumah tanggaku bahkan merebut Rusly dari pelukanku? Apa belum puas kamu mengirim buah hatiku menghadap duluan kepa
Aku berpikir sejenak lalu menghela napas. Kuajak pun Ririn bertekak pasti ini maunya. Akhirnya aku memilih diam daripada marah buang-buang energi."Kenapa kamu diam? Apakah kamu mati kamus? Atau menyerah begitu saja?"Ririn melangkah menghampiri brangkar. Dia menunduk lalu berbisik ke daun telinga Bu Aisyah."Apakah kamu sudah menanda tangani surat itu?" Aku terkejut, syarat apa yang diberikan Ririn kepada ibu mertuaku? Aku menarik tubuhnya, Ririn. Dia menatap wajahku lalu menamparnya dengan keras dan membabi buta.Aku mengelus pipiku yang panas akibat tamparan yang diberikan Ririn. Aku diam sebentar untuk mencari celah dan dia seolah merasa menang dan tidak ada sama sekali menghindar. Setelah semua aman, Kubalas tamparannya dengan sekuat kuat tenaga dan tidak ada ampun."Hentikan!" ucapnya lirih.Aku tidak peduli. Kutampar kembali sampai dia benar-benar lumpuh tidak berdaya. Tidak lama kemudian, tubuhnya ambruk ke lantai dengan wajah merah dan dibanjiri darah segar dari tepi bibir d
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai