Aku heran kenapa Bu Aisyah diam dan seperti ketakutan. Aku menggeleng memberi kode apa yang terjadi. Bu Aisyah seperti ketakutan melihat hantu atau pocong."Ibu ada apa?" tanyaku.Aku menggenggam erat tangan kanannya lalu mengelus keningnya. Suhu badannya biasa saja dan tidak panas."Ada apa, Bu? Ibu ceritalah! Ada aku yang selalu setia menemani dan menjaga ibu di masa tuamu.""Ii-itu ada ...," ucap Bu Aisyah terhenti.Bu Aisyah memejamkan mata sambil menunjuk ke arah belakangku dengan jari telunjuk. Aku berdiri lalu melihat ke arah belakang. Aku terkejut melihat Rusly dan Ririn sudah mematung di belakangku dengan wajah senyum simpul."Kenapa kalian ada di sini?" tanyaku sinis.Aku menatap ke dua manusia iblis itu dengan sangar."Nggak usah kamu nyolot seperti itu. Santai saja keles.""Dasar manusia tidak berhati! Sedikitpun tidak ada rasa malu. Apa belum puas kamu merusak rumah tanggaku bahkan merebut Rusly dari pelukanku? Apa belum puas kamu mengirim buah hatiku menghadap duluan kepa
Aku berpikir sejenak lalu menghela napas. Kuajak pun Ririn bertekak pasti ini maunya. Akhirnya aku memilih diam daripada marah buang-buang energi."Kenapa kamu diam? Apakah kamu mati kamus? Atau menyerah begitu saja?"Ririn melangkah menghampiri brangkar. Dia menunduk lalu berbisik ke daun telinga Bu Aisyah."Apakah kamu sudah menanda tangani surat itu?" Aku terkejut, syarat apa yang diberikan Ririn kepada ibu mertuaku? Aku menarik tubuhnya, Ririn. Dia menatap wajahku lalu menamparnya dengan keras dan membabi buta.Aku mengelus pipiku yang panas akibat tamparan yang diberikan Ririn. Aku diam sebentar untuk mencari celah dan dia seolah merasa menang dan tidak ada sama sekali menghindar. Setelah semua aman, Kubalas tamparannya dengan sekuat kuat tenaga dan tidak ada ampun."Hentikan!" ucapnya lirih.Aku tidak peduli. Kutampar kembali sampai dia benar-benar lumpuh tidak berdaya. Tidak lama kemudian, tubuhnya ambruk ke lantai dengan wajah merah dan dibanjiri darah segar dari tepi bibir d
'Ya Allah, maafkan aku sudah mengajari anak orang ke jalan yang sesat.'Aku mengelus dada sambil mengucap istighfar. Niat hati untuk membalaskan rasa kesal. Namun, hati kecil berkata. Tidak boleh menyesatkan manusia."Kamu kira aku bodoh. Jangan ajari burung terbang dan ikan berenang. Tidak mungkin lebih pandai daripada kamu."Aku mengedarkan pandangan ke arah jendela. Satu sisi aku merasa senang, kalau Ririn masih sadar kalau aku mengajarinya ke jalan yang salah."Baguslah kalau kamu masih sadar dan masih ingat Tuhan.""Nesya, Nesya! Ternyata kamu masih dangkal pikirannya. Aku ini sudah menelaah apa yang kamu katakan tidak benar untuk kulakukan."Ririn kembali menghampiri Bu Aisyah. Dia menatap nanar wajah Bu Aisyah yang semakin pucat."Ibu ... Aku mohon tanda tangani surat surat itu, sebelum ibu pergi menghadap sang Maha Kuasa."Ririn mengusap bulir bening yang mengalir dari sudut netra Bu Aisyah. Tidak sedikitpun bu Aisyah merespon apa yang dikatakan Ririn. Air matanya semakin dera
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 49: Tidak TahanPagi telah menyapa bumi. Ririn menyibak tirai jendela. Udara pagi ini sangat dingin menusuk sampai tulang. Dia menggeliat dan menguap. Ternyata di luar sana gerimis manja. Pantas saja dirinya enggan bangun.Ririn mengedarkan pandangan ke arah ranjang. Rusli masih seonggok bangkai hanya dengkuran nafasnya sangat jelas terdengar."Sayang, bangun dong! Sudah siang," bisik Ririn ke daun telinga Rusly.Rusly menggeliat dan tidak mau bangun. Malah dia menarik selimut untuk tidur kembali."Sayang bangun dong!" ucapnya kembali."Argh ...!" amuk Rusly langsung duduk.Ririn terkejut melihat tingkah suaminya yang arogan pada saat itu."Kamu itu ya ... nggak ada sama sekali mengerti perasaanku. Aku sedang enak-enak tidur. Malah kamu datang mengganggu.""Ini sudah siang, Bang!" jawab Ririn sambil memejamkan mata sebentar."Kalau sudah siang kenapa?!" jawab Rusly dengan sorot mata menyalang.Ririn diam sambil meneguk salivanya. Wajahnya kelihat
"Kamu itu istriku!" jawab Rusly menyeringai."Aku lagi datang bulan!" pekik Ririn."Aku tidak peduli. Kamu harus nurut dan tidak boleh membantah. Jadi, terima saja apa yang akan kulakukan."Rusly terus memaksa Ririn agar mengikuti ritme yang ada. Sementara Ririn merasa dizolimi oleh suami sendiri.Tidak berapa lama, akhirnya selesai juga."Terima kasih telah menafkahiku," ucap Rusly sambil memeluk tubuh Ririn dibatas ranjang.Ririn meratapi nasibnya. Semua impiannya menikah dengan Rusly sangat bertolak belakang. Padahal dia penuh harap untuk mencicipi sakinah, mawaddah warahmah. Ternyata itu semua hanya impian yang tidak hadir dalam bahtera rumah tangganya.Sesekali Rusly mencium kening istrinya sambil mengusap pucuk kepalanya. Ririn terus terisak tiada henti."Maafkan aku sayang. Aku sudah tidak mengontrol semuanya."Ririn diam seribu bahasa. Dia terus menatap dinding kamar sambil memilin ujung selimut."Semoga apa yang kita lakukan tadi menjadi dedek bayi. Aku sudah rindu mendengar
Pilihan yang sangat berat bagiku. Aku sudah tidak mau rujuk lagi dengan Rusly. Aku juga punya harga diri. Kenapa mesti harus kembali lagi ke dalam pelukannya? "Mohon maaf ibu. Tanpa mengurangi rasa hormat. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Masih banyak jalan lain untuk mengabdi dan berbakti kepadamu, ibu. Lagi pula, tidak itu saja kok untuk jadi ladang ibadah.""Hentikan! Aku tidak mau mendengar perkataanmu lagi! Pergi dari sini!" racau Bu Aisyah sambil melempar gelas kaca berisi air putih yang ada di atas nakas. Aku tersentak kaget mendengar larva emosi yang keluar begitu saja. Tidak pernah mertuaku merah padam seperti ini."Dokter sudah memvonis usiaku. Aku harap tolong kabulkan permintaanku. Aku tidak mau meninggal seperti bersalah dalam hal mendidik anak! Aku tahu kamu pasti bisa membuat Rusly kembali ke jalan yang lebih diridhoi sang penguasa alam ketimbang Lala dan Ririn.""Kenapa harus aku yang jadi tumbalnya Bu?! Lagi pula aku sudah cukup sabar dan terlalu diam selama
Part 50: Minta Rujuk Kembali'Kalau ini jalan takdir yang harus aku tempuh. Kenapa ada hati dan jiwa yang tersakiti?' tanyaku dalam hati.Aku merenung sejenak. Untung saja dokter dan tenaga medis cepat tanggap menolong ibu mertuaku."Bagaimana kabar ibu, sayang?" tanya seseorang.Aku mendongak. Sesekali kuusap mataku untuk memperjelas tatapnku. Aku takut salah lihat. Setelah pandanganku jelas. Aku langsung menunduk kembali. Soalnya dia dan diriku sudah tidak mahram lagi.Aku diam seribu bahasa sambil memilin ujung jilbab yang kupakai. Ada rasa dag dig dug ser di dalam dada. Aku juga tidak tahu kenapa diri ini seperti itu. Aku tidak mau kalau ada benih cinta tumbuh kembali."Kenapa kamu diam? Maaf kalau aku sudah lancang menyapa kamu dengan ucapan sayang," ucapnya lagi sambil duduk tepat di sampingku.Aku semakin salah tingkah. Mencoba bergeser agar tidak terlalu dekat. Aku juga tidak mau menimbulkan fitnah."Tolong jangan terlalu dekat duduknya! Jangan membuatku merasa risih atas keha
Aku tidak peduli atas teriakannya. Sudah cukup selama ini diriku disakiti. Kupacu langkah kaki dengan cepat agar tidak bisa dikejarnya."Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara kepadamu. Kenapa kamu malah angkat kaki! Mana dirimu yang aku kenal selama ini?!" cecarnya sambil menghalangi langkah kakiku.Aku menepis tangannya. Rasa jijik kini lahir dalam diriku. Tidak tahu kenapa aku sudah muak dan tidak mau memandang wajahnya. Walaupun dia pernah memberi warna dalam hidupku selama dua belas tahun."Aku bersumpah dan berjanji akan berubah dan tidak pernah meneteskan air matamu lagi. Aku mohon dengan sangat, tolong beri aku kesempatan kedua," ucapnya lirih sambil bersembah sujud di hadapanku.Aku memutar tubuhku seolah tidak mau menjadi dewa di dalam hidupnya.Suara derit pintu terdengar jelas mengalihkan perhatianku. Seorang dokter keluar dari dalam ruang ICU dengan seragam yang biasa dipakai ketika dinas."Bagaimana keadaan mertuaku, Dok?" tanyaku sambil berlari menghampirinya.Aku t