'Ya Allah, maafkan aku sudah mengajari anak orang ke jalan yang sesat.'Aku mengelus dada sambil mengucap istighfar. Niat hati untuk membalaskan rasa kesal. Namun, hati kecil berkata. Tidak boleh menyesatkan manusia."Kamu kira aku bodoh. Jangan ajari burung terbang dan ikan berenang. Tidak mungkin lebih pandai daripada kamu."Aku mengedarkan pandangan ke arah jendela. Satu sisi aku merasa senang, kalau Ririn masih sadar kalau aku mengajarinya ke jalan yang salah."Baguslah kalau kamu masih sadar dan masih ingat Tuhan.""Nesya, Nesya! Ternyata kamu masih dangkal pikirannya. Aku ini sudah menelaah apa yang kamu katakan tidak benar untuk kulakukan."Ririn kembali menghampiri Bu Aisyah. Dia menatap nanar wajah Bu Aisyah yang semakin pucat."Ibu ... Aku mohon tanda tangani surat surat itu, sebelum ibu pergi menghadap sang Maha Kuasa."Ririn mengusap bulir bening yang mengalir dari sudut netra Bu Aisyah. Tidak sedikitpun bu Aisyah merespon apa yang dikatakan Ririn. Air matanya semakin dera
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 49: Tidak TahanPagi telah menyapa bumi. Ririn menyibak tirai jendela. Udara pagi ini sangat dingin menusuk sampai tulang. Dia menggeliat dan menguap. Ternyata di luar sana gerimis manja. Pantas saja dirinya enggan bangun.Ririn mengedarkan pandangan ke arah ranjang. Rusli masih seonggok bangkai hanya dengkuran nafasnya sangat jelas terdengar."Sayang, bangun dong! Sudah siang," bisik Ririn ke daun telinga Rusly.Rusly menggeliat dan tidak mau bangun. Malah dia menarik selimut untuk tidur kembali."Sayang bangun dong!" ucapnya kembali."Argh ...!" amuk Rusly langsung duduk.Ririn terkejut melihat tingkah suaminya yang arogan pada saat itu."Kamu itu ya ... nggak ada sama sekali mengerti perasaanku. Aku sedang enak-enak tidur. Malah kamu datang mengganggu.""Ini sudah siang, Bang!" jawab Ririn sambil memejamkan mata sebentar."Kalau sudah siang kenapa?!" jawab Rusly dengan sorot mata menyalang.Ririn diam sambil meneguk salivanya. Wajahnya kelihat
"Kamu itu istriku!" jawab Rusly menyeringai."Aku lagi datang bulan!" pekik Ririn."Aku tidak peduli. Kamu harus nurut dan tidak boleh membantah. Jadi, terima saja apa yang akan kulakukan."Rusly terus memaksa Ririn agar mengikuti ritme yang ada. Sementara Ririn merasa dizolimi oleh suami sendiri.Tidak berapa lama, akhirnya selesai juga."Terima kasih telah menafkahiku," ucap Rusly sambil memeluk tubuh Ririn dibatas ranjang.Ririn meratapi nasibnya. Semua impiannya menikah dengan Rusly sangat bertolak belakang. Padahal dia penuh harap untuk mencicipi sakinah, mawaddah warahmah. Ternyata itu semua hanya impian yang tidak hadir dalam bahtera rumah tangganya.Sesekali Rusly mencium kening istrinya sambil mengusap pucuk kepalanya. Ririn terus terisak tiada henti."Maafkan aku sayang. Aku sudah tidak mengontrol semuanya."Ririn diam seribu bahasa. Dia terus menatap dinding kamar sambil memilin ujung selimut."Semoga apa yang kita lakukan tadi menjadi dedek bayi. Aku sudah rindu mendengar
Pilihan yang sangat berat bagiku. Aku sudah tidak mau rujuk lagi dengan Rusly. Aku juga punya harga diri. Kenapa mesti harus kembali lagi ke dalam pelukannya? "Mohon maaf ibu. Tanpa mengurangi rasa hormat. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Masih banyak jalan lain untuk mengabdi dan berbakti kepadamu, ibu. Lagi pula, tidak itu saja kok untuk jadi ladang ibadah.""Hentikan! Aku tidak mau mendengar perkataanmu lagi! Pergi dari sini!" racau Bu Aisyah sambil melempar gelas kaca berisi air putih yang ada di atas nakas. Aku tersentak kaget mendengar larva emosi yang keluar begitu saja. Tidak pernah mertuaku merah padam seperti ini."Dokter sudah memvonis usiaku. Aku harap tolong kabulkan permintaanku. Aku tidak mau meninggal seperti bersalah dalam hal mendidik anak! Aku tahu kamu pasti bisa membuat Rusly kembali ke jalan yang lebih diridhoi sang penguasa alam ketimbang Lala dan Ririn.""Kenapa harus aku yang jadi tumbalnya Bu?! Lagi pula aku sudah cukup sabar dan terlalu diam selama
Part 50: Minta Rujuk Kembali'Kalau ini jalan takdir yang harus aku tempuh. Kenapa ada hati dan jiwa yang tersakiti?' tanyaku dalam hati.Aku merenung sejenak. Untung saja dokter dan tenaga medis cepat tanggap menolong ibu mertuaku."Bagaimana kabar ibu, sayang?" tanya seseorang.Aku mendongak. Sesekali kuusap mataku untuk memperjelas tatapnku. Aku takut salah lihat. Setelah pandanganku jelas. Aku langsung menunduk kembali. Soalnya dia dan diriku sudah tidak mahram lagi.Aku diam seribu bahasa sambil memilin ujung jilbab yang kupakai. Ada rasa dag dig dug ser di dalam dada. Aku juga tidak tahu kenapa diri ini seperti itu. Aku tidak mau kalau ada benih cinta tumbuh kembali."Kenapa kamu diam? Maaf kalau aku sudah lancang menyapa kamu dengan ucapan sayang," ucapnya lagi sambil duduk tepat di sampingku.Aku semakin salah tingkah. Mencoba bergeser agar tidak terlalu dekat. Aku juga tidak mau menimbulkan fitnah."Tolong jangan terlalu dekat duduknya! Jangan membuatku merasa risih atas keha
Aku tidak peduli atas teriakannya. Sudah cukup selama ini diriku disakiti. Kupacu langkah kaki dengan cepat agar tidak bisa dikejarnya."Kamu mau ke mana? Aku belum selesai bicara kepadamu. Kenapa kamu malah angkat kaki! Mana dirimu yang aku kenal selama ini?!" cecarnya sambil menghalangi langkah kakiku.Aku menepis tangannya. Rasa jijik kini lahir dalam diriku. Tidak tahu kenapa aku sudah muak dan tidak mau memandang wajahnya. Walaupun dia pernah memberi warna dalam hidupku selama dua belas tahun."Aku bersumpah dan berjanji akan berubah dan tidak pernah meneteskan air matamu lagi. Aku mohon dengan sangat, tolong beri aku kesempatan kedua," ucapnya lirih sambil bersembah sujud di hadapanku.Aku memutar tubuhku seolah tidak mau menjadi dewa di dalam hidupnya.Suara derit pintu terdengar jelas mengalihkan perhatianku. Seorang dokter keluar dari dalam ruang ICU dengan seragam yang biasa dipakai ketika dinas."Bagaimana keadaan mertuaku, Dok?" tanyaku sambil berlari menghampirinya.Aku t
"Bu Aisyah belum sadar. Kemungkinan beliau tidak bisa diselamatkan. Itu makanya beliau menitip pesan kepada kamu, Bu!" ucap dokter."Kenapa dokter tidak memberikan pelayanan yang terbaik buat pasien? Di mana letak sumpah janji seorang dokter?! Aku akan menuntut kalian atas kelalaian dalam mengemban tugas yang mulia," jawabku sambil memukul kedua bahu dokter. Dokter itu hanya diam seribu bahasa dan pasrah dengan keadaan yang ada.Aku terus terisak sambil memukul dada bidangnya. Tidak ada sama sekali kata yang terucap dari bibirnya."Sekuat apapun ibu menangis, tidak akan merubah nasib. Aku dan tim medis sudah melakukan yang terbaik. Namun, penguasa alam berkata lain. Lantas, apakah ibu masih menuntut kami tim medis dan tidak percaya akan takdir yang maha kuasa?"Dokter mencoba menenangkanku. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan sebelah kanan. Menangis pun aku sampai air mata kering tidak akan merubah keadaan. Aku hanya bisa berdoa kepada Sang Maha Pencipta.'Ya Allah! Aku mohon b
Part 51: Terkulai Layu[Bagaimana hasilnya kemarin, sayang?]Aku menajamkan pendengaran.Di pojok sana aku melihat seorang pria. Kata hatiku, laki-laki itu Rusly. Namun, aku ingin mengetahui dengan siapa dirinya berbicara.[Semua aman. Aku sudah memaksa ibu agar menanda tangani surat itu,] jawab Rusly dengan lantang. Dia mengukir senyum tipis sambil sesekali mengusap wajah kasarnya.Aku masih saja memantau gerak-gerik yang dilakukan Rusly bersama wanita lawan bicara.Di ujung belahan bumi lain, Ririn sudah membayangkan rencananya akan berhasil. Sebentar lagi dirinya bakalan kaya bergelimang harta.[Pokoknya jangan sempat gagal. Aku tidak mau menjadi hidup susah seperti dulu!][Kamu tenang saja. Begitu surat itu sudah ditandatangani oleh orang tua yang sudah kuanggap bangkai. Kita akan pergi terbang ke luar negeri.][Kenapa kamu tidak membunuh Bu Aisyah sekalian?]Rusly bergeming lalu memutar bola matanya berpikir.[Hallo ...,]Ririn sudah mulai panik. Dia melihat layar ponsel miliknya