"Bu-bukan berbohong kok, aku."Ririn mencoba ngeles dan buang badan. Dia juga masih panik memikirkan jawaban apa yang harus dia katakan kepada Rusly, Rinto, Bu Aisyah dan aku."Kalau kamu bukan berbohong? Terus kenapa dia mengaku kalau pria ini suamimu!""Bisa saja dia sirik atau irih melihat kemesraan kita."Ririn masih terus meyakinkan Rusly. Padahal, tangan Rinto sudah mengepal ingin menampar wajah istrinya."Dasar perempuan murahan! Masih saja kamu bisa bersilat lidah di hadapanku. Padahal, aku ini suamimu dan masih sah lagi. Jangan kamu kira selama ini aku diam, seenak jidatmu melakukan apa yang kamu inginkan! Diam itu bukan karena kalah atau lemah. Aku hanya memastikan momen yang tepat untuk membuat kamu sengsara!""Mungkin selama ini kamu tertawa atas penderitaanku, Ririn. Sekarang gantian, aku yang bakalan pemenang dari semua yang kamu lakukan."Aku menumpahkan saus cabai dan saus tomat yang ada di piring kecil di atas meja tepat ke kepala Ririn."Kamu jahat, Nesya!" teriak Ri
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 39: Teka-Teki Apa Lagi?'Apa iya Ririn pakai pelet? Aku kok mudah sekali percaya dan suka sama dia?' tanya Rusly dalam hati."Kenapa kamu malah bengong dan diam?" celetuk perempuan berbaju batik itu kembali."Ti-tidak ... Aku ... Ntah apa yang mau aku katakan."Rusly berkata tidak rapi. Ucapannya ngaur tidak terarah."Sayang, lebih baik kita pergi dari sini," bisik Ririn.Ririn mencoba membersihkan saus dari wajahnya yang sudah mulai kering. Rasa panas di pipi kini mulai terasa."Mau lari kemana kalian?" celetukku."Nggak usah kamu ikut campur. Belum puas kamu menyiksaku bahkan mempermalukan aku di muka umum?" tanya Ririn dengan napas tidak seperti biasanya. Tangannya terus berusaha membersihkan saus yang menempel di pipinya memakai tissu yang ada di atas meja.Aku memasang wajah sangat sangar menatap wajah Ririn. Aku mau melihat bagaimana responnya.Sementara Rusly masih saja dikunci kuat ibu-ibu yang sangat geram dan kesal kepadanya.Semua wani
Aku tidak tahu siapa pemilik nomor ini. Tidak ada sama sekali nomor ini tersimpan di ponselku.[Kamu ada di mana? Aku sekarang lagi di Indonesia, tepatnya di sebuah cafe. Kalau nggak salah dekat dengan alamatmu, loh!]Aku mencoba mengingat siapa pemilik suara ini. Sudah satu menit aku mencoba menerka, tidak juga ada hasil.'Suaranya nggak asing, tapi siapa ya?' tanyaku dalam hati. Inisial namanya sudah ada di ujung bibirku, tapi tidak bisa aku katakan siapa namanya. Aku mengumpat kesal kenapa bisa lupa dengan suara khas ini.[Halo ... Halo ...! Apakah masih ada orang?]Suara bariton itu masih menghantui pikiranku untuk terus menerkanya."Ya ..., Maaf kalau aku ....]Aku me-landing-kan bibirku ke kursi. Otakku sangat lelah menerka dan mencari tahu siapa lawan bicaraku.[Kamu kenapa bisa seperti orang linglung? Bukannya kamu dulu pernah kagum kepadaku?]Aku semakin bingung. Tidak tahu kenapa bisa seperti ini.[Ka-kamu itu siapa sebenarnya, sih? Terus, kamu mau apa?!][Aku mau melamarmu.
Kuputuskan untuk kembali duduk. Aku tidak mau terlalu ambisi untuk menjawab semua penasaranku. Kuputuskan sambungan telepon sepihak. Pada saat aku mau duduk, punggungku ditampar pelan."Astagfirullah! Siapa kamu?" ucapku kaget.Aku langsung menoleh ke arah belakang. Aku heran melihat seseorang yang masih saja terus menatapku. Aku kewalahan mengenalnya. Dia pakai kaca mata hitam dan masker."Siapa kamu? Kenapa kamu menyentuhku?"Aku memasang wajah sangar, kupasang kuda-kuda agar aku bisa menjaga diri."Hei ... Kamu lupa samaku? Dulu kamu pernah menjadi pengagum rahasiaku. Masa kamu sudah lupa begitu saja."Perlahan pria itu membuka kaca mata hitamnya. Dari sorot matanya dan alisnya aku sudah mulai ingat. Namun, namanya tidak bisa kusebut."Masih belum kenal samaku?" cecarnya sambil membuka maskernya.Aku tidak tahu harus merasa sedih atau senang. Pria yang kudambakan kini telah ada di depan mata kepalaku."Ka-kamu?" tanyaku gugup.Aku tidak berani menatap wajahnya. Aku takut kalau rasa
"Judulnya Bidadari surga 'kan?" tanyaku memperjelas ucapannya.Aku mencoba menerka-nerka. Walaupun aku belum paham betul apa maksud dan tujuannya."Ya, anda benar sekali. Kamu berhak mendapatkan hadiah senilai satu unit mobil dibayar tunai," celetuknya sambil mengulum senyum."Maaf, aku nggak butuh hadiah dari kamu. Aku takut kalau kamu hanya mempermainkan hati dan perasaan seorang wanita."Aku tidak mau berharap lebih lagi kepada seorang pria. Memang benar, pada saat usia remaja aku sangat mencintainya. Aku saja tidak tahu apakah cintaku memang benar-benar tulus atau hanya sekedar cinta monyet atau cinta karet."Kenapa bisa begitu?" potongnya. Dia mengukir wajah heran."Ya. Aku tidak mau jatuh ke dalam lobang yang sama. Aku sudah trauma dengan lika-liku pernikahanku yang penuh dengan drama.""Jangan sama 'kan semua pria seperti yang kamu pikirkan! Aku bukan seperti dia yang telah melukai hati dan perasaanmu."Dia mencoba menghampiri lalu memegang bahuku.Aku terkejut, belum apa-apa,
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 40: Melamarku"Bu, nggak usah terlalu capek-capek!"Aku meletakkan barang belanjaanku di atas meja makan."Pekerjaan seperti ini sudah hal biasa. Lagi pula nggak capek kok."Bu Aisyah menghampiriku lalu mengeluarkan belanjaanku dari dalam plastik kresek.Aku baru saja pulang dari pasar tradisional. Aku sengaja belanja di sana, selain membantu ekonomi penjual. Aku juga bisa berbaur dengan penjualnya."Aku tahu, Bu. Cuma aku tidak mau ibu terlalu lelah bekerja di rumahku. Biarkan saja aku yang mengerjakannya semua, Bu!"Aku merenggangkan tanganku, rasanya sangat pegal dibagian leher dan punggungku. Setelah perasaanku sudah membaik, aku memasukkan beberapa sayuran ke dalam kulkas."Nesya ...! Kamu nggak ada niat mau mulai lembaran baru?"Aku menoleh ke arah Bu Aisyah spontan. Keningku kejedot ke pintu kulkas sangking tidak hati-hatinya aku. Aku memijit bagian keningku yang sakit sambil memasukkan belanjaanku ke dalam kulkas."Pelan-pelan, Nesya!"Bu
"Ka-kamu?" jawabku gugup.Apa sebenarnya yang dia mau? Kenapa dia malah tahu alamat rumahku? Aneh, tapi sangat nyata."Ya.""Kenapa kamu bisa mengetahui alamat rumahku? Padahal aku tidak ada sama sekali mengasih tahu kamu," ucapku sedikit penasaran."Nggak usah dibahas."Aku mengernyitkan kening. Padahal aku sangat penasaran kenapa dia bisa mengetahui alamat rumahku.Sudah dua menit aku dan dia berdiri, tidak ada sama sekali kupersilahkan masuk. Pikiranku masih dihantui penasaran."Nak Arlan! Sudah lama menunggu?" tanya Bu Aisyah. Dia melirik ke arahku yang masih berdiri tegak di samping pintu utama. "Ibu ... Apa kabar?"Arlan menyalam tangan Bu Aisyah lalu menciumnya dengan takjim. Mataku membulat melihat pemandangan yang sangat aneh dan janggal bagiku."Kabar ibu baik, Nak. Ayo masuk!""Tunggu! Siapa yang kasih izin kepada dia masuk ke dalam rumahku tanpa ada izin dariku?"Aku melipat kedua tanganku lalu meletakkannya sejajar dengan dada. Wajahku sengaja kuukir tajam agar dia tidak
"Ma-maksud kamu apa?!" balasku.Aku mendongak lalu kulawan pandangannya."Aku kemari untuk menghalalkanmu. Aku sudah mengetahui semua tentang jati dirimu, Nesya!""Dari mana kamu bisa mengetahui itu semua? Mungkin yang kamu ketahui cuma kulitnya saja 'kan?!"Aku beranjak dari tempat dudukku lalu berjalan sekitar situ sambil melipat kedua tangan dan kuletak sejajar dengan dada."Aku sudah menceritakan semuanya kepada Arlan, Nes," seru Bu Aisyah."Kenapa kamu membeberkan aib rumah tanggaku, Bu?! Aku tidak suka kalau drama rumah tanggaku diketahui semua orang, apalagi dia yang super duper jutek dan selalu mempermainkan perasaan wanita."Dadaku bergemuruh. Amarahku sudah tidak bisa lagi kukontrol. Aku menatap tajam ke arah wajah Bu Aisyah."Bukankah cerita lika-liku yang ibu ceritakan kepada Arlan sebuah aib yang tidak boleh diumbar?! Aku saja tidak ada cerita sama ibu. Semua kututup rapat dan tidak ada sama sekali kusampaikan kepada ibu! Aku tidak mau balada rumah tanggaku jadi beban bag