Kang Jaja, begitu panggilan yang disematkan Mbah Atim padanya, terbangun saat lembayung sudah tumpah di langit pemakaman Mak Lilin. Pria tua yang merupakan kakak kandung dari Mbah Atim itu memijat kepala perlahan, turun dari kasur, lalu berjalan ke luar ruangan saat mendengar suara teriakan yang tiba-tiba.
“Aya naon, Juned?” tanyanya Mbah Jaja.
“Tolong tetap di dalam, Kang. Bisa gawat kalau ada warga desa yang melihat keberadaan Akang,” pinta Mbah Atim sembari melirik sekeliling.
Tanpa menunggu persetujuan, Mbah Atim berlari menuju area pemakaman, menuruni tangga yang sedikit licin karena bekas hujan. Saat memasuki area kuburan, tampak dari kejauhan Romlah tengah menangis histeris, di sampingnya tampak Mak Iyah dan beberapa warga berusaha menenangkan.
“Kang Ujang!” pekik Romlah sembari menarik rambutnya sendiri. “Di mana Akang sekarang? Anak kita sudah lahir, Kang!”
Dengan tergesa-gesa, Mbah
Pak Dede terbangun dari tidurnya dengan dada sesak. Ia terbatuk beberapa kali hingga mata berair. Pandangannya dipaksakan memindai sekeliling. Kepala desa Ciboeh itu baru menyadari bila kamarnya sudah dipenuhi asap.“Aya naon ieu?” tanya Pak Dede dengan tangan yang mengibas-ngibas asap. “Apa mungkin kabakaran?”“Reza!” Pak Dede kembali terbatuk. Ia memukul-mukul dinding yang menjadi batas antara kamarnya dan Reza. “Reza! Bangun!”Pak Dede dengan cepat bergerak ke arah jendela, lantas membukanya lebar-lebar. Dinginnya udara dini pagi segera menyergap kulit keriputnya.“Reza!” Pak Dede berusaha turun dari kasur. Kakinya mulai menginjak dinginnya keramik. Bersamaan dengan asap yang menghilang dari kamar, ia dengan jelas bisa melihat satu nampan sesajan berada di lantai.“Astagfirullah.” Pak Dede terlonjak kaget hingga badannya terjatuh ke lantai. Matanya so
Pak Dede didampingi Eman dan satu aparatur desa lainnya memasuki ruang rapat di kantor desa. Di sana, para tokoh masyarakat sudah duduk melingkar. Tak banyak yang hadir saat ini karena Pak Dede hanya mengundang warga yang benar-benar sudah mengetahui fakta ini sebelumnya. Aep menjadi salah satu dari kumpulan pria yang tengah menanti kabar dengan cemas. Pak Dede dan beberapa tokoh masyarakat nyatanya yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang yang seringkali terlihat di Legok Kiara. Hanya saja, Pak Dede dan tokoh masyarakat tak bisa berbuat banyak, terlebih sesudah mereka mendapat ancaman pembunuhan. Setelah itu, mereka angkat tangan dan berpura-pura tidak pernah melihat sosok-sosok itu atau bahkan membahas orang-orang itu lagi. Tak banyak masyarakat yang tahu soal sosok-sosol berpakaian serba hitam itu. Pak Dede dan yang lain menganggap jika hal itu merupakan salah satu bagian dari rahasia desa yang tidak boleh diketahui warga biasa, terkhusus Rojali ya
Matahari masih merangkak dari ufuk timur saat Ilham keluar dari gubuk. Udara pagi dengan cepat menerpa kulit begitu ia berjalan mendekat ke arah Mbah Atim yang sedang berdiri tak jauh di depannya. Posisi pria tua itu tengah menatap sungai yang berada di bawah, tepatnya mengamati Rojali yang tengah membersihkan diri.Menyadari hal itu, Ilham ikut memandangi Rojali yang sedang membasuh rambut di mana kunci itu masih menempel di lehernya. Pria itu lantas mengamati tangannya yang sudah terbalut kain. Saat mencoba menyentuh kunci itu ketika Rojali pingsan, tiba-tiba saja benda itu mengeluarkan cahaya kemerahan dan melukai tangannya. Lukanya seperti sabetan benda tajam.Ilham menoleh ke arah Mbah Atim yang masih terpaku pada aktivitas Rojali. Begitu ia melihat tangan kanan sang bapak, keningnya seketika berkerut. “Pak,” panggilnya.“Bapak teu nanaon,” sahut Mbah Atim sembari menyentuh tangan kanannya yang sama-sama dibalut kain.
Rojali, Ilham dan Mbah Atim tengah beristirahat di dekat sungai. Rojali sendiri baru saja selesai menunaikan salat asar di batu besar berbentuk pipih, sedangkan Ilham dan Mbah Atim kembali berbicara berdua. Suasana sore ini tampak begitu tenang, terlebih saat angin sepoy-sepoy menerjang rimbunnya pepohonan yang mengelilingi sekeliling.Rojali berjalan sepelan mungkin agar kedua orang itu tak sadar kalau dirinya mendekat. Jujur, ia penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Saat dalam perjalanan tadi, ia sempat bertanya, tetapi Ilham menjawab kalau itu hanya obrolan rindu antara bapak dan anak. Jelas Rojali tak langsung percaya. Instingnya berkata jika mereka tengah menyembunyikan sesuatu.Ilham dan Mbah Atim serempak menoleh begitu Rojali tak sengaja menginjak ranting. Keduanya tampak saling memandang, kemudian mengalihkan wajah ke arah lain.Mbah Atim mengelus jenggotnya beberapa kali. “Sebelum malam, kita harus sudah sampai di deket bangunan itu,”
Azan isya sudah mengalun lima belas menit yang lalu. Jemaah salat isya sudah membubarkan diri dari masjid. Setelahnya, Desa Ciboeh kembali dihantam hening. Selepas Rojali memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan potongan tubuh itu, tidak ada lagi kabar mengenai penampakan pocong berkafan hitam di seantero desa. Warga bisa bernapas cukup lega saat ini.Kabar mengenai larangan keluar-masuk bagi warga Ciboeh nyatanya masih dirahasiakan oleh para tokoh masyarakat yang hadir saat rapat. Mereka takut bila warga akan panik dan justru bertindak di luar kendali. Meski begitu, sejak siang tadi, sudah tak terlihat motor atau mobil dari luar yang memasuki desa.Pak Dede duduk di ruangan tengah dengan sesekali tangan memijat kepala. Kancing kemejanya hampir seluruhnya terbuka. Kopi dan pisang goreng yang tersaji di meja entah sejak kapan sudah dikerubungi semut. Ia tak berselera untuk sekadar menyentuh.Pak Dede mengembus napas berat. Pikirannya masih berkutat deng
Badru tiba-tiba terlempar ke tempat persembunyiannya tadi. Napasnya memburu seperti baru saja dikejar hewan buas. Jujur, ia belum pernah merasa setakut itu saat menghadapi seseorang. Namun, ia akui bila sensasinya behasil membuatnya kembali merasakan gelora masa muda.Pemimpin Kalong Hideung itu hendak kembali pesantren, tetapi pukulan di punggungnya membuatnya terjatuh.“Gelo maneh!” sentak Ki Jalu sembari menancapkan kuat-kuat tongkatnya di samping wajah Badru yang sudah berkalang tanah. “Masih untung kita masih bisa selamat!”Badru mengepal tangan kuat-kuat. Ia bangun dan tak langsung berhadapan dengan Ki Jalu. Ia lebih dahulu mengusap wajah dan mengecek sesuatu dari kantong belakang. “Pak,” ujarnya dengan raut cemas.“Segera tinggalkan tempat ini, Badru!” perintah Ki Jalu.Pesantren yang terlelap kembali terbangun. Suara kentungan yang bersahutan terdengar sangat keras. Bangunan itu
Ada keheningan saat tatapan kedua pria tersebut saling bertemu. Baik Rojali maupun pria yang berada di ambang pintu itu sama-sama tak bergerak dari tempatnya. Kemudian, saat petir menyambar dan Rojali bangkit dari posisi berdoanya, tiba-tiba saja pria berambut gondrong itu menjatuhkan tubuhnya.“Jangan bunuh saya! Jangan bunuh saya!” pekik pria itu sembari menutup kedua telinga.Rojali mendekat meski masih belum mengerti maksudnya. Ia ikut berjongkok, tetapi pria di depannya mundur hingga menabrak dinding bilik.“Saya salah! Saya salah! Tapi jangan bunuh saya!” teriak pria berpakaian lusuh itu.“Apa ... kamu yang sudah nolong saya?” tanya Rojali. Saat tangannya akan menepuk bahu pria itu, ia malah didorong menjauh.Pria itu mengangguk dengan cepat. Wajahnya tampak ketakutan dengan bola mata bergerak ke sekeliling seperti orang linglung. Pipinya sudah bersimbah air mata sedang tubuhnya basah oleh air hujan.&
Sudah setengah jam yang lalu azan subuh berkumandang di langit Ciboeh. Tokoh masyarakat yang dipimpin Pak Dede kembali berkumpul di aula desa. Tempat itu dijaga cukup ketat oleh beberapa orang dengan harapan informasi tidak bocor ke para warga biasa.Dari kejauhan, Aep tampak berlari terburu-buru. Ia ketiduran dan harus bergegas menuju tempat rapat. Pria itu justru lupa untuk memberitahu Rojali mengenai pertemuan ini.Aep berhenti di depan gerbang desa untuk mengambil napas sejenak. Ia lantas masuk setelah meminta izin pada Eman yang berjaga di depan. Begitu masuk ke aula, Aep seketika menjadi pusat perhatian, terlebih ia hanya memakai kaus, celana kolor serta sarung yang diselendangkan di bahu kanan.“Mana si Rojali, Ep?” tanya Pak Dede.“Astagfirullah.” Aep menepuk dahi. “Punteun, saya lupa, Pak Dede.”Seketika saja Aep langsung disemprot para warga. Pria itu hanya bisa mengaruk tengkuk yang sama sekal
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,