Sudah setengah jam yang lalu azan subuh berkumandang di langit Ciboeh. Tokoh masyarakat yang dipimpin Pak Dede kembali berkumpul di aula desa. Tempat itu dijaga cukup ketat oleh beberapa orang dengan harapan informasi tidak bocor ke para warga biasa.
Dari kejauhan, Aep tampak berlari terburu-buru. Ia ketiduran dan harus bergegas menuju tempat rapat. Pria itu justru lupa untuk memberitahu Rojali mengenai pertemuan ini.
Aep berhenti di depan gerbang desa untuk mengambil napas sejenak. Ia lantas masuk setelah meminta izin pada Eman yang berjaga di depan. Begitu masuk ke aula, Aep seketika menjadi pusat perhatian, terlebih ia hanya memakai kaus, celana kolor serta sarung yang diselendangkan di bahu kanan.
“Mana si Rojali, Ep?” tanya Pak Dede.
“Astagfirullah.” Aep menepuk dahi. “Punteun, saya lupa, Pak Dede.”
Seketika saja Aep langsung disemprot para warga. Pria itu hanya bisa mengaruk tengkuk yang sama sekal
Dua kabar mengejutkan berhasil memecah pagi. Pak Dede segera mendekat ke arah Aep begitu pria itu melambaikan tangan dengan wajah panik. Begitu sampai di dapur, Kepala Desa Ciboeh itu mendadak histeris saat melihat Reza terkapar di tanah.“Reza!” teriak Pak Dede sembari mendekat. Wajahnya menggurat kepanikan yang sangat kentara. Kekhawatirannya beberapa hari ini nyatanya dibuktikan dengan kondisi putranya yang tak bergerak dari tanah, seolah raganya menempel ke bumi.Melihat hal itu, Aep segera berlari ke luar. “Reza pingsan. Tolong bantu!”Asep yang masih dilanda keterkejutan karena kematian Ki Udin yang tiba-tiba segera berlari ke arah Aep. Ia dengan cepat menelan rasa kaget saat melihat Reza dengan mata memelotot dan mulut setengah terbuka berada di tanah.“Cepet angkat, Sep!” pinta Aep.Aep dan Asep segera mengangkat tubuh Reza keluar dari dapur, sedangkan Pak Dede mengikuti mereka dengan mata berkaca-kaca.
Di lokasi kediaman Pak Dede, Reza langsung dibawa ke kamar. Kondisinya masih sama seperti saat pertama kali ditemukan, mata dan mulut terbuka, sedang bibirnya bergerak seperti ingin bicara sesuatu.Warga yang akan melayat ke rumah Ki Udin dibuat terheran-heran saat mendengar teriakan Pak Dede. Mereka bergegas ke rumah dan menemukan kepala desa itu tengah menangis di dekat Reza.“Saha yang sudah buat kamu seperti ini, Reza?” tanya Pak Dede sembari menyeka sudut matanya. “Sok bilang sama Bapak! Bilang!”Para warga yang memadati kamar dan ruangan rumah Pak Dede hanya bisa menatap sembari sesekali berbisik mengenai keadaan Reza. Tak lama kemudian, Asep tiba dan langsung membelah kerumunan warga. Ia seketika berbisik di telinga Pak Dede, kemudian berjalan menuju dapur.“Aya naon, Sep?” tanya Pak Dede begitu tiba. Wajahnya basah karena tangisan.Asep tak langsung menjawab. Ia lebih dahulu menutup pint
Telunjuk Rojali beralih ke tulisan di bawah tulisan pertama. “Dua puluh Juni, enam tiga.”Jemari dan pandangannya Rojali kembali teralih. Kali ini menunjuk tulisan berisi empat huruf. “Ar-arya.”Setelah berucap demikian, tiba-tiba saja Rojali tercenung. Raganya bak berpindah tempat ke ruangan kosong. Beragam peristiwa mendadak melintas di sekelilingnya. Bentuknya seperti tayangan hitam-putih di telivisi.Kilasan pertama menunjukkan beberapa pria tengah berkumpul, mengobrol sembari tertawa di sebuah saung, lantas berganti dengan ibu-ibu yang tengah memasak. Selanjutnya, tampak anak-anak laki-laki tengah bermain sekaligus mandi di sungai, sedangkan anak perempuan terlihat bermain tali.Kilasan peristiwa dengan cepat berganti. Siang berubah menjadi malam. Tampak kumpulan pria dewasa tengah duduk berkumpul beralas tanah di suatu tempat lapang. Para wanita dan anak-anak ikut duduk di belakang para pria. Di sekeliling mereka, terda
“Tong ngomong sembarangan kamu, Ep!” tegur Pak Yayat dengan suara tertahan saat mendengar tuduhan Aep. “Kita semua tahu bagaimana perilaku Ustaz Rojali selama di desa. Tidak mungkin Ustaz Rojali jadi komplotan mereka.”“Sok aya-aya wae maneh mah (ada-ada saja kamu),” sambung Pak Iwan.Aep segera menunduk saat kumpulan pria tua di dapur itu menatap marah padanya. Sesuai dugaan, mereka tak akan percaya pada ucapannya. Aep ditinggal sendirian di dapur, sedangkan Pak Juju dan yang lain kembali ke tengah rumah. Rupanya pemandian jenazah akan segera dimulai.Aep mengembus napas panjang sembari mengacak rambut sesaat. Ia kemudian memandangi kediaman Rojali yang tampak sepi. Tiba-tiba saja, sebuah ide terlintas di pikirannya. Kakinya segera melangkah keluar dari dapur. Akan tetapi, baru saja ia menyentuh tanah pekarangan, Pak Juju melambaikan tangan padanya.Suasana di sekitar ruangan kian disesaki para warga
“Kamu ... santri palsu suruhan Kalong Hideung, kan?” terka Rojali. Pemuda itu masih berada di sekitaran tanah lapang.Pria berambut gondrong itu terperanjat kaget, tetapi tak lama kemudian kembali memeluk kaki Rojali kuat-kuat.“Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak pria itu kembali. Cengkeramannya kian kencang di kaki Rojali.“Saya tidak akan bunuh kamu,” ucap Rojali sembari berusaha melepas cengkeraman. “Kamu percaya sama saya.”Pria berpenampilan acak-acakan itu mengendurkan pegangan, lantas sedikit menjauh dari Rojali.“Apa benar kamu santri palsu itu?” tanya Rojali lagi. Setelahnya, ia beranjak ke sebuah batu, kemudian duduk di sana. Ia lalu meminta pria itu untuk duduk di sebelahnya dengan cara menepuk-nepuk area samping.Pria itu akhirnya menurut. Wajahnya menunduk, sedangkan mulutnya mulai menggigiti kuku. Beberapa kali ia menoleh ke arah Rojali, mengitari sekeliling, lalu kemba
Tepat tengah hari, Ki Jalu memasuki markas. Begitu melihat kedatangannya, anggota Kalong Hideung yang sejak tadi bersantai segera bersiaga. Puntung rokok serta beberapa botol minuman tampak berserakan di tanah.“Aya kabar naon?” tanya Ki Jalu sembari mengentakkan tongkat ke tanah. Matanya segera memindai sekeliling. Tampak beberapa kali orang-orang di depannya saling bertukar pandangan.“Ke-kemarin saya lihat ada dua orang di sekitar Lancah Darah, Ki,” ucap salah satu anggota, “sepertinya mereka ... Rojali dan anak si Atim yang ... disebutkan Kang Engkos.”“Bagus.” Ki Jalu tersenyum. “Lalu di mana mereka sekarang?”“Kami kehilangan je-jejak mereka,” sahut anggota yang lain, “satu orang jatuh ke curug, dan satunya lagi berhasil kabur.”Ki Jalu memelotot, dan dua lubang tengkorak di matanya bersinar merah. “Nurustunjung maneh!”
Semua orang yang tengah berkumpul di ruang musyawarah mendadak diam saat mendengar ucapan Aep. Untuk beberapa detik berikutnya, keheningan begitu tampak mendominasi ruangan.Aep memandangi satu per satu orang yang tengah duduk melingkar di hadapannya. Bibirnya menggurat senyum penuh kemenangan. Pria itu yakin kalau sebentar lagi ia akan berhasil membongkar kedok Rojali, terlebih dirinya memiliki bukti yang kuat.“Saha yang sudah buat Reza seperti itu, Ep?” Pak Dede mendadak berdiri. Matanya membola seperti hendak keluar. Rahangnya mengetat hingga urat tercetak jelas di sekitar leher. “Saha? Sok ngomong!”Aep menunduk sesaat, lalu mengamati satu per satu wajah penasaran yang menghiasi tokoh masyarakat Desa Ciboeh. Dengan satu tarikan napas, ia menjawab, “Rojali. Pelakunya Rojali.”Ada helaan napas tertahan sesaat setelah Aep berkata demikian. Wajah penasaran penghuni ruangan berubah menjadi keterkejutan
Kabar mengenai Rojali tersebar begitu cepat. Meski begitu, sebagian warga masih tak percaya dengan berita tersebut. Topik ini seketika menjadi bahasan hampir seluruh penduduk desa. Tak hanya di kebun, sawah dan dapur, pekarangan rumah pun tak lepas dari perkara satu ini.“Kamu yakin Ep?” tanya Pak Juju untuk ke sekian kali.Setelah pembuktian yang Aep tunjukkan di rumah Rojali, para tokoh masyarakat walau jumlahnya lebih sedikit kembali berkumpul. Pertemuan ini sempat ditentang oleh Pak Dede dengan alasan bukti sudah cukup kuat. Meski begitu, kepala desa itu tetap hadir dalam perkumpulan.Perkumpulan diadakan di rumah Pak Juju. Mereka tengah duduk melingkar di tengah ruangan. Euis meski tadinya sudah diminta keluar dari rumah, tetapi ia lebih memilih menguping di dapur.“Sejujurnya saya masih tidak percaya,” ucap Pak Yayat, “bisa saja kelompok itu sengaja memfitnah Ustaz Rojali.”“Saya juga pikir begitu,&rd