Bagaimana jika seorang pria keras, dingin, fanatik dan benci wanita, ditempatkan pembantu wanita di rumahnya?
Ini yang dialami oleh Mira Habibah. Gadis miskin yang harus mengadu nasib sebagai pelayan untuk memberi makan ibu dan adik-adiknya setelah ayah mereka meninggal. Tuan Ahbek yang risih dengan wanita manapun tiba-tiba menjadi terobsesi dengan wanita itu.Ahbek menikahinya paksa, memerkosanya, mengundulinya, memasangkan hijab pada kepala gundulnya, lalu menikahi wanita lain untuk dijadikan istri sah yang diakui keluarga lelaki itu, membuat Mira terluka.Mira ingin melarikan diri tapi tidak tahu harus lari kemana agar bisa lepas dari jeratan lelaki itu. Hingga kehamilannya memperburuk semuanya.>><<Anthallah's Mansion"AMPUN, TUAN!"Jeritan seorang wanita terdengar pilu.Ahbek menarik kasar rambut indah Mira yang tidak terbalut hijab. Digunakannya untuk menyeret paksa wanita itu ke ruang atas dimana kamar sempit Mira berada."Saya mohon lepaskan!" isak Mira semakin menjadi-jadi. Ahbek samasekali tidak terlihat perduli, tetapnya ditariknya Mira lalu menghempaskan tubuh ringkih pelayan malang itu ke lantai kamarnya.Mira masih menangis setelah Ahbek melepaskan jambakan tidak berperasaannya. Kini, lelaki itu sibuk membongkar laci, tas dan lemari Mira. Seperti mencari sesuatu, yang membuat Mira semakin menatap ngeri tuannya itu.Ahbek berhasil menemukan gunting, lalu berjongkok mendekati Mira yang merengsak ketakutan ke dinding dan akhirnya terhimpit di sana.Ahbek meraih helai rambut halus Mira, dihirupnya aroma rambut wanita itu dalam-dalam lalu mendaratkan beberapa kecupan ringan.Mira jelas semakin ketakutan, apalagi saat Ahbek menggunakan benda di tangannya untuk menggunting rambut indah Mira yang tadi lelaki itu puja-puja.Dengan sama kejamnya, lelaki itu membotaki Mira. Membuang mahkota indah yang selama ini menghiasi kepala wanita itu yang tidak memakai hijab.Setelah itu Mira menangis di lantai sambil memeluk kedua lutut. Tangan besar Ahbek mengusap kepala gundulnya, lalu mengecupi kulit kepala wanita itu.Tangan Ahbek membersihkan sisa rambut di kepala Mira. Lalu setelah itu keluar sebentar dan naik ke kamar atas.Ahbek kembali dengan tumpukan hijab mendiang ibunya dalam dekapan dan dihamburkannya ke tubuh Mira yang tidak beranjak dari lantai sedari tadi karena memang tidak memiliki tenaga untuk itu."Ambil semua ini."Mira mendongak takut, tidak spontan mengambil helaian hijab untuk menutupi kepalanya. Ahbek sedikit bersabar kali ini. Diambilnya satu helaian hijab dan menatanya di kepala Mira.Tiba-tiba lelaki mengerikan itu tersenyum, Mira terlihat begitu cantik di matanya."Mulai hari ini, pakai ini. Jangan perlihatkan apa yang tidak berhak kamu perlihatkan, seperti yang tadi kamu lakukan!"Semenjak hari itu, Mira tidak pernah berani membuka tutup kepalanya lagi. Karena Tuan Ahbek akan menggundulinya lagi, hanya karena rasa cemburu yang tidak terima miliknya dilihat oleh lelaki lain.Selamat datang di Ghazalah Family!Ini ceritanya rate 21+ yaKekerasan, pelecehan, ngini, ngono, nganu, semuanya ada di sini:DNggak kuat? Skip!Setelah banyak meratap, aku berusaha menghentikan tangis. Kukeluarkan ponselku dan berusaha menghubungi Papa berkali-kali. Berharap meski tengah bersama wanita itu, kali ini Papa akan mengangkatnya. Seperti sebelum-sebelumnya selama setahun ini, Papa tidak mengangkatnya samasekali, semua pesanku bahkan tidak dibaca dan dibalasnya meski kukirim secara bertubi-tubi. Papa benar-benar berubah hanya karena rasa lain yang sesaat, dulu tiga detik aku menelpon atau mengirim pesan, Papa langsung mengangkat dan membalasnya. Beberapa jam sekali meski tidak penting, Papa selalu menelponku atau sekedar mengirim pesan, bertanya aku sedang apa? Dimana? Sudah pulang sekolah, belum? Dan selalu meminta ixin tiapkali akan lembur dan pulang telat. Pesan dari Jo yang menagih motornya kuabaikan, termasuk pesan Mama yang bertanya aku sekarang dimana. Aku hanya tidak tega mengabaikan pesan Tandi, adik bungsuku yang berusia lima tahun yang baru belajar mengirim pesan melalui ponsel. Aku tersenyum tiapkali di
“Ya, aku Malya.” Wanita berhijab yang ternyata lumayan cantik saat kupandangi dari dekat itu, akhirnya mengangguk dan mengiakan pertanyaanku.“Kamu Naina?” Wanita itu bertanya membuat mataku panas dan berair. Jika dia mengenaliku dan tahu siapa aku, seharusnya dia juga tahu Papa sudah memiliki Mama dan kami! “Kutanya, kamu siapanya papaku? Dan apa kamu tengah hamil anak papaku sekarang?” Tanyaku bertubi-tubi. Wanita itu malah terdiam, sambil mengusap perutnya yang buncit. Segelintir guru yang ada di sana berhenti menegurku untuk pergi, mereka malah menonton debat sepihak di antara kami karena yang kubahas mungkin menarik di telinga mereka. Berarti aku menyusup bukan tanpa alasan.“Kutanya kamu siapanya Famdian Ibraed!?” Aku mulai menjerit. Air mata yang tadi kutahan mati-matian mulai berjatuhan.“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung itu pada Mas Famdi?” Mendengar pertanyaan lembutnya, hatiku semakin terbakar! Jika dia mengelak untuk menjawab, dugaanku pasti benar! Apalagi malam dan si
“Apa bagusnya wanita itu, Jo?” Di dalam kendaraan roda empat milik Jo, aku yang duduk di bangku sebelahnya, meratap dan bertanya-tanya, “Dibandingkan dengan mamaku, wanita perusak itu tidak ada apa-apanya.” Jonathan hanya fokus menyetir dan mendiamiku, meski tidak disahuti, aku tetap melanjutkan sumpah-serapah dan caci-makiku. “Mama cantik, meski sudah kepala tiga dia masih awet muda, tubuh Mama bagus, gelar Mama dokter—Mama lebih segala-galanya dari wanita itu, yang biasa saja, tua, melar dan hanya seorang guru.” “Kenapa Papa tega mengkhianati kami hanya demi wanita seperti dia? Papa bahkan ingin bercerai dari Mama karenanya, Papa tidak menyayangi kami lagi hanya karena janin di perutnya—” Teringat Jordan, seketika aku terdiam. Secara bersamaan Jonathan juga menghentikan laju mobilnya. Aku tidak sadar, dibawa ke tempat sepi olehnya. Meski gang penuh sampah ini cocok untukku bersembunyi, jika Papa kini tengah mencari-cari siapa yang sudah menghajar si Malya. Meski jika Nendo tega bu
“Mas, Mas.”Napasku terengah. Kudorong pelan dada bidangnya yang menghimpit, lalu sedikit menggeser tubuh.Mas Eli tidak memerdulikan penolakan halusku. Lelaki itu semakin membenamkan dada besarnya, menahan tubuhku agar tidak bisa mengelak dan mengunci kedua kakiku ke pinggangnya yang masih utuh oleh bungkusan pakaian.Wajahku tidak bisa lepas dari penjara kedua telapak tangannya. Ujung hidung mancungnya menggesek-gesek kening dan sekitar wajahku, deru napasnya terdengar, aku bergidik karena hawa panas yang keluar dari mulut dan hidungnya. “Tak usah mengkhawatirkan Fadli …,” bibirnya berbisik.“Kamu tahu sendiri, gempa sekalipun anakku itu susah bangun.” Aku menutup mata pasrah, bibirnya kembali menyumpal mulutku. Membagi rasa hangat yang membuatku merasa bersalah.Mas Eli memberi jeda saat bibirnya terlepas, aku langsung membangkitkan tubuh dan mendorong satu bahunya ke belakang.“Jangan di sini, Mas …,” aku memelas. Entah kenapa lelaki di hadapanku ini tidak risih bermesraan di sofa