“Mas, Mas.”
Napasku terengah. Kudorong pelan dada bidangnya yang menghimpit, lalu sedikit menggeser tubuh.Mas Eli tidak memerdulikan penolakan halusku. Lelaki itu semakin membenamkan dada besarnya, menahan tubuhku agar tidak bisa mengelak dan mengunci kedua kakiku ke pinggangnya yang masih utuh oleh bungkusan pakaian.Wajahku tidak bisa lepas dari penjara kedua telapak tangannya. Ujung hidung mancungnya menggesek-gesek kening dan sekitar wajahku, deru napasnya terdengar, aku bergidik karena hawa panas yang keluar dari mulut dan hidungnya. “Tak usah mengkhawatirkan Fadli …,” bibirnya berbisik.“Kamu tahu sendiri, gempa sekalipun anakku itu susah bangun.” Aku menutup mata pasrah, bibirnya kembali menyumpal mulutku. Membagi rasa hangat yang membuatku merasa bersalah.Mas Eli memberi jeda saat bibirnya terlepas, aku langsung membangkitkan tubuh dan mendorong satu bahunya ke belakang.“Jangan di sini, Mas …,” aku memelas. Entah kenapa lelaki di hadapanku ini tidak risih bermesraan di sofa yang ada di ruang tengah.Mas Eli diam. Akhirnya lelaki itu menarik diri dan duduk dengan kepalan tangan yang tergeletak di atas kedua paha.Peluh membasahi wajah dan dahinya, entah apa yang dia pikirkan sampai-sampai berkeringat dingin seperti itu.Mas Eli seperti menungguku kembali bicara; memberi intruksi padanya untuk melanjutkan di lain tempat atau tidak.Lelaki itu duduk dengan gelisah, menggerakkan tangan besarnya yang berurat, sembari sesekali melirikku yang ikut duduk dan menggeser tubuh menjauhinya setelah merapikan rambutku yang sempat berantakan karena ulahnya.Kecupan kilat melayang ke pipiku dari Mas Eli yang mengodeku karena terus diam. Desisanku terdengar sambil menghalau wajahnya untuk menjauh, lelaki itu terlihat kecewa dan agak tersinggung.Tiba-tiba Mas Eli berdiri. Kukira dia akan marah dan pergi, ternyata hanya menutup rapat pintu kamar Fadli dengan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan suara. Aku memerhatikan tingkah aneh dan gerak-geriknya, yang setelah itu pergi ke dapur dan menghidupkan kompor. Entah apa yang dia otak-atik di sana selama beberapa menit.Lelaki itu meninggalkan dapur dan kembali ke ruang tengah sambil membawa nampan yang menopang dua gelas teh hangat.“Untuk apa teh hangat, Mas?” Aku bertanya bingung, saat lelaki itu kembali duduk di sebelahku.“Agar tubuhmu lebih rileks dan nyaman,” Mas Eli mengusap bahuku sambil tersenyum.Saat aku menyeruput teh buatannya, Mas Eli mendekatkan kepalanya ke bahuku. Bibirnya memberikan beberapa kecupan yang membuatku gemetar, belum lagi kinerja hidungnya yang seperti mengendus sesuatu dan menikmati semua aroma yang dia dapatkan di sana. Aku sadar ini kode darinya, yang kini memasukkan kepalanya ke ceruk leherku, sengaja menganggu aktivitasku.Tangannya mengusap lengan dan perutku, meraba-raba, lalu menatap wajahku, menungguku bicara dan merespon.Kucium sejenak ujung hidungnya, lalu berkata. “Kuhabiskan dulu teh buatanmu, Mas.”Senyumnya langsung terbit. Aku hanya tersenyum tipis, membiarkan sebelah tanganku yang bebas digenggam erat olehnya yang seperti tidak sabar. Lelaki yang duduk sambil mengampit pinggangku tersebut, terlihat begitu mengagumi tangan mungilku. Diusapnya perlahan, lalu menciuminya sampai gelasku kosong.“Tehmu, Mas.” Kutunjuk gelas miliknya yang belum disentuh, padahal dirinya sendiri yang membuatkannya.“Oh ya.” Mas Eli seperti tersadar. Lelaki itu langsung mengambil gelas tehnya, karena sudah agak dingin, dalam sekali tegukan langsung ditandaskannya oleh Mas Eli.Aku mengusap bibirnya yang basah menggunakan jempolku. Mas Eli membeku karena kaget, lalu tengkukku ditarik perlahan olehnya. Beberapa kecupan dilabuhkannya ke wajah dan bibirku, lelaki itu membawa tubuh mungilku untuk memanjat tubuh besarnya dan menindihnya yang menyatu dengan empuknya sofa.Saat mataku masih terpejam karena tidak nyaman, Mas Eli mengalungkan tanganku ke lehernya dan membawaku berdiri. Aku membuka mata gelisah, saat kami sudah berpindah tempat. Aku yang tadinya bergelayutan di tubuhnya, kini kembali dibaringkan ke tempat yang berbeda. Ranjang di kamarku, sebelum melanjutkan Mas Eli menutup pintu kamar terlebih dahulu.Aku menelan ludah merasa bersalah. Mas Eli yang melindungiku dari cahaya redup lampu kamar menggunakan tubuh besarnya, menciumi wajahku dengan bibir basahnya.Aku mengalungkan sebelah tanganku ke bahunya, menariknya lebih dekat, membuatku semakin terhimpit.Pipinya yang penuh peluh menempel di sebelah pipi kananku. Mas Eli seakan ingin menghangatkan wajahku yang dingin bak es karena gugup.“Maafkan aku, Aini … maafkan Mas, sayang ….”Bibirnya terdengar merintih. Buliran air matanya jatuh dan membasahi pipiku yang ikut menghangat karena suhu tubuhnya.***“Ma! Ma!”Sebuah teriakan dan gedoran di pintu yang terkunci membuatku terbangun. Langsung kubangkitkan tubuh dan terkejut, saat mendapati pakaian yang kukenakan semalam terlepas dan menghamburi lantai.“Ma, bangun! Nanti Mama telat.”Dari luar Fadli mengomel.“Bentar,” aku hampir lupa kalau di kamar ini aku tidak sendiri. Hampir kupungut pakaianku yang entah dilepas siapa, tapi pinggangku ditarik seseorang lalu didekap erat menggunakan kedua lengan besarnya.Hampir menjerit, aku teringat yang semalam dan hanya menghela napas saat mendapati Mas Eli mengungkung tubuhku dari samping. Lelaki itu mengusap perutku, lalu melingkarkan kedua tangannya lebih erat. Lelaki itu bangkit dan menyamai tinggiku sambil menempelkan dadanya ke punggungku dari belakang, deru napasnya menerpa kulit bahuku membuatku bergidik.Saat Fadli masih heboh memanggilku dari luar, lelaki ini dengan santainya menyapa. “Pagi, sayang.”Aku menelan ludah, lalu mengurai kedua tangannya, memintanya menjauh.Saat tubuhku terlepas darinya, bibirku menjadi incarannya. Sambil tersenyum, lelaki itu mengecupi bibirku yang pucat.“Mau kemana?” Mas Eli bertanya saat aku turun dari ranjang dan memungut pakaianku.“Pelankan suaramu, Mas. Fadli di luar.”Mas Eli menurut. Lelaki itu mengatupkan bibirnya rapat.Saat Fadli memanggilku sekali lagi, langsung kusahut dengan lantang. “Iya, iya, sayang. Bentar!”Aku langsung memakai pakaianku dan melirik Mas Eli yang kembali menyelimuti diri di atas ranjang.“Mas di sini bentar, ya. Jangan keluar dan jangan berisik, sampai Fadli berangkat ke sekolah.”Kuperingati dengan suara pelan. Mas Eli hanya menganggukkan kepalanya, lalu memeluk guling dan mengecupinya sebagai ganti diriku.Aku hanya menghembuskan napas dan memutar kunci pintu. Sebelum keluar, kuintip dari dalam untuk mencari-cari keberadaan Fadli. Setelah memastikannya kembali ke kamar, langsung kututup pintu dan menguncinya dari luar, agar keberadaan Mas Eli tidak diketahui oleh anakku itu.Untungnya Mas Eli di dalam kamar mau bekerjasama. Lelaki itu diam saat kusuruh dan tidak protes saat kukurung dari luar.Karena semalam dia terlihat masih kelelahan.Bagaimana jika seorang pria keras, dingin, fanatik dan benci wanita, ditempatkan pembantu wanita di rumahnya? Ini yang dialami oleh Mira Habibah. Gadis miskin yang harus mengadu nasib sebagai pelayan untuk memberi makan ibu dan adik-adiknya setelah ayah mereka meninggal. Tuan Ahbek yang risih dengan wanita manapun tiba-tiba menjadi terobsesi dengan wanita itu. Ahbek menikahinya paksa, memerkosanya, mengundulinya, memasangkan hijab pada kepala gundulnya, lalu menikahi wanita lain untuk dijadikan istri sah yang diakui keluarga lelaki itu, membuat Mira terluka.Mira ingin melarikan diri tapi tidak tahu harus lari kemana agar bisa lepas dari jeratan lelaki itu. Hingga kehamilannya memperburuk semuanya.>>
Setelah banyak meratap, aku berusaha menghentikan tangis. Kukeluarkan ponselku dan berusaha menghubungi Papa berkali-kali. Berharap meski tengah bersama wanita itu, kali ini Papa akan mengangkatnya. Seperti sebelum-sebelumnya selama setahun ini, Papa tidak mengangkatnya samasekali, semua pesanku bahkan tidak dibaca dan dibalasnya meski kukirim secara bertubi-tubi. Papa benar-benar berubah hanya karena rasa lain yang sesaat, dulu tiga detik aku menelpon atau mengirim pesan, Papa langsung mengangkat dan membalasnya. Beberapa jam sekali meski tidak penting, Papa selalu menelponku atau sekedar mengirim pesan, bertanya aku sedang apa? Dimana? Sudah pulang sekolah, belum? Dan selalu meminta ixin tiapkali akan lembur dan pulang telat. Pesan dari Jo yang menagih motornya kuabaikan, termasuk pesan Mama yang bertanya aku sekarang dimana. Aku hanya tidak tega mengabaikan pesan Tandi, adik bungsuku yang berusia lima tahun yang baru belajar mengirim pesan melalui ponsel. Aku tersenyum tiapkali di
“Ya, aku Malya.” Wanita berhijab yang ternyata lumayan cantik saat kupandangi dari dekat itu, akhirnya mengangguk dan mengiakan pertanyaanku.“Kamu Naina?” Wanita itu bertanya membuat mataku panas dan berair. Jika dia mengenaliku dan tahu siapa aku, seharusnya dia juga tahu Papa sudah memiliki Mama dan kami! “Kutanya, kamu siapanya papaku? Dan apa kamu tengah hamil anak papaku sekarang?” Tanyaku bertubi-tubi. Wanita itu malah terdiam, sambil mengusap perutnya yang buncit. Segelintir guru yang ada di sana berhenti menegurku untuk pergi, mereka malah menonton debat sepihak di antara kami karena yang kubahas mungkin menarik di telinga mereka. Berarti aku menyusup bukan tanpa alasan.“Kutanya kamu siapanya Famdian Ibraed!?” Aku mulai menjerit. Air mata yang tadi kutahan mati-matian mulai berjatuhan.“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung itu pada Mas Famdi?” Mendengar pertanyaan lembutnya, hatiku semakin terbakar! Jika dia mengelak untuk menjawab, dugaanku pasti benar! Apalagi malam dan si
“Apa bagusnya wanita itu, Jo?” Di dalam kendaraan roda empat milik Jo, aku yang duduk di bangku sebelahnya, meratap dan bertanya-tanya, “Dibandingkan dengan mamaku, wanita perusak itu tidak ada apa-apanya.” Jonathan hanya fokus menyetir dan mendiamiku, meski tidak disahuti, aku tetap melanjutkan sumpah-serapah dan caci-makiku. “Mama cantik, meski sudah kepala tiga dia masih awet muda, tubuh Mama bagus, gelar Mama dokter—Mama lebih segala-galanya dari wanita itu, yang biasa saja, tua, melar dan hanya seorang guru.” “Kenapa Papa tega mengkhianati kami hanya demi wanita seperti dia? Papa bahkan ingin bercerai dari Mama karenanya, Papa tidak menyayangi kami lagi hanya karena janin di perutnya—” Teringat Jordan, seketika aku terdiam. Secara bersamaan Jonathan juga menghentikan laju mobilnya. Aku tidak sadar, dibawa ke tempat sepi olehnya. Meski gang penuh sampah ini cocok untukku bersembunyi, jika Papa kini tengah mencari-cari siapa yang sudah menghajar si Malya. Meski jika Nendo tega bu
“Mas, Mas.”Napasku terengah. Kudorong pelan dada bidangnya yang menghimpit, lalu sedikit menggeser tubuh.Mas Eli tidak memerdulikan penolakan halusku. Lelaki itu semakin membenamkan dada besarnya, menahan tubuhku agar tidak bisa mengelak dan mengunci kedua kakiku ke pinggangnya yang masih utuh oleh bungkusan pakaian.Wajahku tidak bisa lepas dari penjara kedua telapak tangannya. Ujung hidung mancungnya menggesek-gesek kening dan sekitar wajahku, deru napasnya terdengar, aku bergidik karena hawa panas yang keluar dari mulut dan hidungnya. “Tak usah mengkhawatirkan Fadli …,” bibirnya berbisik.“Kamu tahu sendiri, gempa sekalipun anakku itu susah bangun.” Aku menutup mata pasrah, bibirnya kembali menyumpal mulutku. Membagi rasa hangat yang membuatku merasa bersalah.Mas Eli memberi jeda saat bibirnya terlepas, aku langsung membangkitkan tubuh dan mendorong satu bahunya ke belakang.“Jangan di sini, Mas …,” aku memelas. Entah kenapa lelaki di hadapanku ini tidak risih bermesraan di sofa
“Apa bagusnya wanita itu, Jo?” Di dalam kendaraan roda empat milik Jo, aku yang duduk di bangku sebelahnya, meratap dan bertanya-tanya, “Dibandingkan dengan mamaku, wanita perusak itu tidak ada apa-apanya.” Jonathan hanya fokus menyetir dan mendiamiku, meski tidak disahuti, aku tetap melanjutkan sumpah-serapah dan caci-makiku. “Mama cantik, meski sudah kepala tiga dia masih awet muda, tubuh Mama bagus, gelar Mama dokter—Mama lebih segala-galanya dari wanita itu, yang biasa saja, tua, melar dan hanya seorang guru.” “Kenapa Papa tega mengkhianati kami hanya demi wanita seperti dia? Papa bahkan ingin bercerai dari Mama karenanya, Papa tidak menyayangi kami lagi hanya karena janin di perutnya—” Teringat Jordan, seketika aku terdiam. Secara bersamaan Jonathan juga menghentikan laju mobilnya. Aku tidak sadar, dibawa ke tempat sepi olehnya. Meski gang penuh sampah ini cocok untukku bersembunyi, jika Papa kini tengah mencari-cari siapa yang sudah menghajar si Malya. Meski jika Nendo tega bu
“Ya, aku Malya.” Wanita berhijab yang ternyata lumayan cantik saat kupandangi dari dekat itu, akhirnya mengangguk dan mengiakan pertanyaanku.“Kamu Naina?” Wanita itu bertanya membuat mataku panas dan berair. Jika dia mengenaliku dan tahu siapa aku, seharusnya dia juga tahu Papa sudah memiliki Mama dan kami! “Kutanya, kamu siapanya papaku? Dan apa kamu tengah hamil anak papaku sekarang?” Tanyaku bertubi-tubi. Wanita itu malah terdiam, sambil mengusap perutnya yang buncit. Segelintir guru yang ada di sana berhenti menegurku untuk pergi, mereka malah menonton debat sepihak di antara kami karena yang kubahas mungkin menarik di telinga mereka. Berarti aku menyusup bukan tanpa alasan.“Kutanya kamu siapanya Famdian Ibraed!?” Aku mulai menjerit. Air mata yang tadi kutahan mati-matian mulai berjatuhan.“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung itu pada Mas Famdi?” Mendengar pertanyaan lembutnya, hatiku semakin terbakar! Jika dia mengelak untuk menjawab, dugaanku pasti benar! Apalagi malam dan si
Setelah banyak meratap, aku berusaha menghentikan tangis. Kukeluarkan ponselku dan berusaha menghubungi Papa berkali-kali. Berharap meski tengah bersama wanita itu, kali ini Papa akan mengangkatnya. Seperti sebelum-sebelumnya selama setahun ini, Papa tidak mengangkatnya samasekali, semua pesanku bahkan tidak dibaca dan dibalasnya meski kukirim secara bertubi-tubi. Papa benar-benar berubah hanya karena rasa lain yang sesaat, dulu tiga detik aku menelpon atau mengirim pesan, Papa langsung mengangkat dan membalasnya. Beberapa jam sekali meski tidak penting, Papa selalu menelponku atau sekedar mengirim pesan, bertanya aku sedang apa? Dimana? Sudah pulang sekolah, belum? Dan selalu meminta ixin tiapkali akan lembur dan pulang telat. Pesan dari Jo yang menagih motornya kuabaikan, termasuk pesan Mama yang bertanya aku sekarang dimana. Aku hanya tidak tega mengabaikan pesan Tandi, adik bungsuku yang berusia lima tahun yang baru belajar mengirim pesan melalui ponsel. Aku tersenyum tiapkali di
Bagaimana jika seorang pria keras, dingin, fanatik dan benci wanita, ditempatkan pembantu wanita di rumahnya? Ini yang dialami oleh Mira Habibah. Gadis miskin yang harus mengadu nasib sebagai pelayan untuk memberi makan ibu dan adik-adiknya setelah ayah mereka meninggal. Tuan Ahbek yang risih dengan wanita manapun tiba-tiba menjadi terobsesi dengan wanita itu. Ahbek menikahinya paksa, memerkosanya, mengundulinya, memasangkan hijab pada kepala gundulnya, lalu menikahi wanita lain untuk dijadikan istri sah yang diakui keluarga lelaki itu, membuat Mira terluka.Mira ingin melarikan diri tapi tidak tahu harus lari kemana agar bisa lepas dari jeratan lelaki itu. Hingga kehamilannya memperburuk semuanya.>>