“Ya, aku Malya.” Wanita berhijab yang ternyata lumayan cantik saat kupandangi dari dekat itu, akhirnya mengangguk dan mengiakan pertanyaanku.
“Kamu Naina?” Wanita itu bertanya membuat mataku panas dan berair. Jika dia mengenaliku dan tahu siapa aku, seharusnya dia juga tahu Papa sudah memiliki Mama dan kami! “Kutanya, kamu siapanya papaku? Dan apa kamu tengah hamil anak papaku sekarang?” Tanyaku bertubi-tubi. Wanita itu malah terdiam, sambil mengusap perutnya yang buncit. Segelintir guru yang ada di sana berhenti menegurku untuk pergi, mereka malah menonton debat sepihak di antara kami karena yang kubahas mungkin menarik di telinga mereka. Berarti aku menyusup bukan tanpa alasan.“Kutanya kamu siapanya Famdian Ibraed!?” Aku mulai menjerit. Air mata yang tadi kutahan mati-matian mulai berjatuhan.“Kenapa tidak kamu tanyakan langsung itu pada Mas Famdi?” Mendengar pertanyaan lembutnya, hatiku semakin terbakar! Jika dia mengelak untuk menjawab, dugaanku pasti benar! Apalagi malam dan siang tadi kusaksikan mereka berciuman bibir, jika wanita ini adik atau lainnya papa, tentu saja tidak mungkin! Karena wanita ini terlihat lemah untuk balas melawanku, langsung kutarik kerudungnya dan menjambak habis-habisan rambutnya. “Kamu tidak pantas memakai ini!” Dua guru yang tadi menonton langsung panik dan mendekat untuk meleraiku. Aku menghalau mereka dan kudorong Malya sialan ini hingga terpental ke dinding. Aku tidak perduli dia tengah hamil besar, tetap kutampar-tampari wajahnya dan kujambak rambutnya. Wanita yang sudah terduduk di lantai itu seperti tidak sanggup samasekali untuk melawan. “Kenapa kalian ingin menjauhkanku darinya?” Teriakku pada dua guru muda, yang berusaha menarikku menjauh. “Kalian juga perempuan dan seorang anak barangkali juga seorang istri, kalian pasti paham perasaanku jika mendapati papamu sendiri berselingkuh dengan wanita lain di belakang mamaku dan anak-anaknya!” Akhirnya mereka diam dan tidak berusaha menjauhkan kami lagi. Mereka benar-benar hanya menonton, saat aku kembali meneriaki dan memukul-mukul Malya pelacur ini. “Kamu pantas menerima ini!” Jeritku di setiap pukulan yang kulayangkan, “Balasan atas kelakuanmu yang sudah membuat Papa berubah dan berpaling dari kami! Meski semua ini masih tidak sebanding dengan semua tangis Mama, aku dan adik-adikku, karena kamu—” Tiba-tiba sebuah tubuh besar mendorongku menjauh hingga balik terpental ke salahsatu meja. Kudapati seorang lelaki berusia duapuluhtahun berperilaku kekanakan, menatapku marah dan menangis terisak melihat Malya yang entah siapa dia, nampak mengenaskan di lantai. “Kamu apakan bundanya Jordan!?” Rengek lelaki dewasa itu, seakan marah. Meski takut dengan tubuh besarnya, aku merasa aneh dengan cara bicara dan gerak-geriknya yang tidak seperti lelaki dewasa kebanyakan. Kelakuannya seperti anak-anak, sama seperti Tandi dan Dandi. “Bunda? Bunda? Bundanya Jordan tidak apa-apa?” Lelaki itu menanyai Malya dengan mata merah dan berair. Langsung dipungutnya tutup kepala Malya yang tadi kupaksa hingga lepas, Jordan langsung memakaikannya ke kepala wanita itu.Malya berusaha tersenyum dan mengangguk letih, suaranya yang lemah lembut berusaha menenangkan anaknya. “Iya, sayang. B-Bunda ti-tidak apa-apa.” “Kamu siapa?!” Lelaki itu menanyaiku marah. “Kenapa kamu pukul bundanya Jordan?” Aku baru sadar lelaki berkelakuan aneh bernama Jordan itu, meski sudah sebesar ini, masih memakai seragam putih-merah seperti anak-anak sekolah dasar lain di sekolah ini. Aku meringsut ketakutan ketika lelaki itu baru saja hendak memukulku balik, entah kenapa Malya malah mencegatnya. “Jangan, sayang. Jangan. Ingat, nggak boleh nakal. Anak Bunda nggak boleh mukul perempuan.” “Tapi dia jahat, Bunda!” Jordan menunjukku. Malya menasehatinya seperti menasehati anak kecil. “Tetap nggak boleh jahat dan mukul perempuan. Ingat, anak Bunda nggak boleh bandel.” Jordan terlihat marah saat dihalangi seperti itu. Jordan yang penurut pada bundanya ganti memarahi dua wanita muda yang sedari tadi hanya menonton, “Kalian juga kenapa nggak bantu bundanya Jordan?!” Lelaki dewasa itu berteriak dan mengentak-ngentak, mengingatkanku pada tingkah adik-adikku. “Akan Jordan adukan sama Ayah!” Lelaki berbadan besar itu mengeluarkan ponselnya lalu mencari sebuah nomor. Saat dia kesusahan mencari nomor yang dia maksud, aku bertanya-tanya di dalam hati siapa pria berusia duapuluh tahun yang memakai seragam putih-merah ini? Dari sebutannya jelas-jelas dia anak Malya, tapi anak Malya dengan siapa? Apa Ayah yang dia maksud, papaku juga? Jadi dia anak Papa? “Ayah!” Hanya dalam tiga detik, lelaki yang Jordan sebut Ayah langsung mengangkat telepon pria itu. Awalnya aku berusaha meyakinkan, tidak mungkin ayahnya adalah papaku, mungkin saja dia anak Malya dengan mantan suaminya sebelum menikah diam-diam dengan Papa, karena papaku bahkan tidak pernah mengangkat telepon kami. Namun harapanku langsung sirna saat benar-benar mendengar suara Papa dari benda pipih itu. “Iya, Jordan?” Suara tegas itu melembut, membuatku gemetar. Bukan hanya karena takut, tapi juga tidak diterima karena setahun ini Papa tidak begitu samasekali pada kami! Jordan langsung menangis saat mengadu pada Papa, Papa menyahut khawatir sambil berusaha menenangkannya. “Kenapa anak Ayah menangis? Ayo, Jordan, anak lelaki tidak boleh menangis.” “Bunda, Yah … Bunda.” “Kenapa dengan bundamu?” Papa langsung bertanya tajam. “Orang tak dikenal menghajar Bunda. Cepat ke sini, Yah. Bantu Bunda. Bawa Bunda ke rumah sakit. Nanti adiknya Jordan di perut Bunda kenapa-napa.” Di lantai, Jordan mengentak-ngentak. Aku semakin yakin dan tak perlu ditanyakan lagi, Jordan bukan anak yang lahir sempurna. “Cepat ke sini, Yah! Ke sini! Jordan tidak mau Bunda kenapa-napa!” “Kalian dimana sekarang, Ayah akan kirim bawahan Ayah dan Pak Guru Muklis ke sana untuk membawa bundamu ke rumah sakit dan Ayah secepat mungkin akan ke sana!” Jordan dengan kacau langsung menjelaskan posisi kami sekarang. “Tunggu Ayah, Jordan. Ayah juga bakal memberi pelajaran pada orang yang sudah melukai Bunda.” Aku menelan ludah di tempat, saat membayangkan betapa marahnya Papa jika tahu aku yang sudah melakukan ini. Tapi sebesar apapun kemarahannya nanti, wanita itu pantas menerima ini! Papa keterlaluan jika lupa kesalahan mereka berdua dan terus menyalahkanku kelak. Tak lama, Pak Muklis yang Papa maksud yang ternyata kepala sekolah di sini, dan Nendo serta Jo bawahan Papa, benar-benar datang kemari. Pak Muklis dan Nendo langsung membawa Malya ke rumah sakit, dan Jordan mengintili mereka. Sedangkan Jonathan terlihat terkejut dan tidak menyangka saat mendapatiku di sini. Lelaki itu langsung mendekatiku lalu bertanya memastikan, “Kamu yang melakukan ini, Nai?” “Iya! Memangnya kenapa?” Aku menyahut kencang dan bertanya parau setelah itu. “Wanita itu pantas menerimanya! Kamu kelewatan jika membelanya! Andai ibumu yang diselingkuhi Jo, kamu pasti mengerti perasaanku!” Jonathan diam lalu menyeret lenganku. “Lepas!” Pekikku sambil menjauh. “Aku akan membawamu pergi dari sini, sebelum papamu tahu yang berulah ini kamu!” “Aku tidak takut,” tantangku meski sebenarnya ketakutan. “Bohong kalau kamu tidak takut,” Jonathan menuduhku kesal. “Kamu tahu ‘kan semengerikan apa Pak Famdian saat marah. Aku selalu memergokimu diam-diam menangis ketakutan, meski Pak Famdi marahnya bukan ke kamu.” “Semarah-marahnya papaku, dia tidak akan memukuli anak gadisnya sendiri,” balasku yakin. “Kamu yakin?” Jonathan bertanya menantang. “Mungkin jika karena perkara lain, Pak Famdi akan bersabar. Tapi itu tidak berlaku jika berhubungan dengan Nyonya Malya. Entah itu kamu anaknya, atau siapanya dia. Jika dia tahu yang berulah kamu, dia akan memukulmu seperti kamu memukul Nyonya Malya. Makanya kubilang ikut aku pergi, sebelum Pak Famdi tahu itu kamu, Naina! Tuan Muda Jordan saja tetap ditamparnya keras, saat beberapa hari yang lalu Tuan Jordan tidak sengaja membuat Nyonya Malya jatuh. Apalagi kamu yang jelas-jelas sengaja, dan menghajarnya habis-habisan!” “Kenapa kamu seperti membela wanita itu, Jo?” Tanyaku kecewa pada lelaki muda itu. “Kamu bahkan menyebut wanita itu Nyonya?! Dia tidak pantas dihormati!” “Aku hanya ingin menyelamatkanmu, Naina! Agar kamu tidak perlu menerima perlakuan yang lebih buruk lagi dari ayahmu, dari sekedar diabaikan, tidak diperdulikan dan tidak disayanginya lagi selama setahun ini! Pukulan dari Tuan Famdian tidak akan hanya menyakitimu secara fisik, tapi juga hati sebagai seorang anak!”“Apa bagusnya wanita itu, Jo?” Di dalam kendaraan roda empat milik Jo, aku yang duduk di bangku sebelahnya, meratap dan bertanya-tanya, “Dibandingkan dengan mamaku, wanita perusak itu tidak ada apa-apanya.” Jonathan hanya fokus menyetir dan mendiamiku, meski tidak disahuti, aku tetap melanjutkan sumpah-serapah dan caci-makiku. “Mama cantik, meski sudah kepala tiga dia masih awet muda, tubuh Mama bagus, gelar Mama dokter—Mama lebih segala-galanya dari wanita itu, yang biasa saja, tua, melar dan hanya seorang guru.” “Kenapa Papa tega mengkhianati kami hanya demi wanita seperti dia? Papa bahkan ingin bercerai dari Mama karenanya, Papa tidak menyayangi kami lagi hanya karena janin di perutnya—” Teringat Jordan, seketika aku terdiam. Secara bersamaan Jonathan juga menghentikan laju mobilnya. Aku tidak sadar, dibawa ke tempat sepi olehnya. Meski gang penuh sampah ini cocok untukku bersembunyi, jika Papa kini tengah mencari-cari siapa yang sudah menghajar si Malya. Meski jika Nendo tega bu
“Mas, Mas.”Napasku terengah. Kudorong pelan dada bidangnya yang menghimpit, lalu sedikit menggeser tubuh.Mas Eli tidak memerdulikan penolakan halusku. Lelaki itu semakin membenamkan dada besarnya, menahan tubuhku agar tidak bisa mengelak dan mengunci kedua kakiku ke pinggangnya yang masih utuh oleh bungkusan pakaian.Wajahku tidak bisa lepas dari penjara kedua telapak tangannya. Ujung hidung mancungnya menggesek-gesek kening dan sekitar wajahku, deru napasnya terdengar, aku bergidik karena hawa panas yang keluar dari mulut dan hidungnya. “Tak usah mengkhawatirkan Fadli …,” bibirnya berbisik.“Kamu tahu sendiri, gempa sekalipun anakku itu susah bangun.” Aku menutup mata pasrah, bibirnya kembali menyumpal mulutku. Membagi rasa hangat yang membuatku merasa bersalah.Mas Eli memberi jeda saat bibirnya terlepas, aku langsung membangkitkan tubuh dan mendorong satu bahunya ke belakang.“Jangan di sini, Mas …,” aku memelas. Entah kenapa lelaki di hadapanku ini tidak risih bermesraan di sofa
Bagaimana jika seorang pria keras, dingin, fanatik dan benci wanita, ditempatkan pembantu wanita di rumahnya? Ini yang dialami oleh Mira Habibah. Gadis miskin yang harus mengadu nasib sebagai pelayan untuk memberi makan ibu dan adik-adiknya setelah ayah mereka meninggal. Tuan Ahbek yang risih dengan wanita manapun tiba-tiba menjadi terobsesi dengan wanita itu. Ahbek menikahinya paksa, memerkosanya, mengundulinya, memasangkan hijab pada kepala gundulnya, lalu menikahi wanita lain untuk dijadikan istri sah yang diakui keluarga lelaki itu, membuat Mira terluka.Mira ingin melarikan diri tapi tidak tahu harus lari kemana agar bisa lepas dari jeratan lelaki itu. Hingga kehamilannya memperburuk semuanya.>>
Setelah banyak meratap, aku berusaha menghentikan tangis. Kukeluarkan ponselku dan berusaha menghubungi Papa berkali-kali. Berharap meski tengah bersama wanita itu, kali ini Papa akan mengangkatnya. Seperti sebelum-sebelumnya selama setahun ini, Papa tidak mengangkatnya samasekali, semua pesanku bahkan tidak dibaca dan dibalasnya meski kukirim secara bertubi-tubi. Papa benar-benar berubah hanya karena rasa lain yang sesaat, dulu tiga detik aku menelpon atau mengirim pesan, Papa langsung mengangkat dan membalasnya. Beberapa jam sekali meski tidak penting, Papa selalu menelponku atau sekedar mengirim pesan, bertanya aku sedang apa? Dimana? Sudah pulang sekolah, belum? Dan selalu meminta ixin tiapkali akan lembur dan pulang telat. Pesan dari Jo yang menagih motornya kuabaikan, termasuk pesan Mama yang bertanya aku sekarang dimana. Aku hanya tidak tega mengabaikan pesan Tandi, adik bungsuku yang berusia lima tahun yang baru belajar mengirim pesan melalui ponsel. Aku tersenyum tiapkali di