Support terus ya vote dan komen kalian sangat berarti untuk saya agar tetap semangat menuliskan cerita ini hingga selesai terima kasih
Waktu sudah mulai menuju pagi, hanya tinggal kurang dari empat jam lagi hingga kokok ayam pertama terdengar di seluruh kampung. Namun, kegaduhan masih terasa, hujan yang turun di Kampung Sepuh tampaknya sengaja diturunkan sepanjang malam untuk meredam kegaduhan ini agar suaranya tidak sampai ke kampung sebelah.Aku masih terkapar tidak berdaya di tengah jalan depan warung, hujan yang mengguyur tubuhku hanya bisa aku terima tanpa bisa berteduh dibawah atap warung yang kini hancur berantakan di ujung sana.Lumpur yang membasahi dan mengotori wajahku, hanya bisa aku biarkan begitu saja. bersamaan dengan suara-suara dentuman keras yang terjadi di rumahku pada saat itu.Mungkin, sebagian dari manusia yang hidup di masa itu, tidak akan percaya akan apa yang terjadi. Mereka akan lebih percaya akan hujan yang membasahi kampung mereka dari sore hingga malam tiba. Dan membuat air di sekitar kampung meluap dengan derasnya.Namun, semua hal yang warga kampung rasakan pada malam ini, hanya bisa me
DUMMMMDUMMMMDUMMMMSuara dentuman itu rupanya terdengar secara samar-samar hingga ke kampung sebelah, kampung yang beberapa waktu kemarin habis menggelar hajatan akbar atas pernikahan salah satu anak Kepala Desa yang berlangsung semalaman suntuk.Euis, seorang teman ku yang kini sudah menjadi pengantin baru karena dinikahi Caca seorang anak Kepala Desa. Tiba-tiba kaget, dan keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk yang menutupi hampir seluruh tubuhnya.Meskipun suara hujan masih terdengar nyaring dari atap rumah mereka. Namun tetap saja, beberapa kali suara dentuman terdengar dari kejauhan dan muncul di antara suara hujan yang mengguyur kampungnya kali ini.Rambutnya yang masih basah terlihat masih meneteskan air sehabis mandi kembang yang dia pakai pada malam ini, kembang yang tercampur dengan air dalam sebuah bak kecil yang sengaja dibiarkan sehari semalam, dan dipakai oleh para pengantin baru untuk mandi di malam hari.Adalah sebuah tradisi masyarakat di tahun tersebut agar
Bapak yang melihat retakan itu seketika langsung menoleh, sesaat sebelum dia kembali menatap makhluk besar yang ada di depannya yang dengan cepat menghantamkan tangannya ke arah Bapak.Apalagi, muncul sebuah tangan yang lebih besar dari ketiga makhluk besar yang kini masih dia lawan, setelah sudah menumbangkan salah satu dari mereka dengan susah payah.Apabila bapak harus menghadapi makhluk lain yang muncul dari retakan itu, sudah dipastikan. Bapak sudah tidak akan sanggup lagi, dia sudah mencapai batasnya sekarang. Setelah dari sore hari dia terus-menerus menginterogasi para makhluk di Gunung Sepuh untuk mencari tempat dimana leluhurnya dulu melakukan perjanjian di dalam sana. Sekarang dia harus melawan para makhluk kiriman yang meneror warga kampung dan keluarganya hingga saat ini.Manusia memang bisa lebih hebat dari para makhluk yang ada di sekitar kita, keilmuan yang mereka pelajari bisa membuat para makhluk tersebut tunduk dengan mudahnya, dan bisa kita perintah dengan sesuka ha
Ruangan yang menjadi tempat Ki Warsa melakukan ritual bersamaan Ki Waluh dan beberapa muridnya kini tidak tampak rapi lagi, semua barang-barang dan ornamen yang ada di sana berserakan kemana-mana. Bunga tujuh rupa yang berserakan juga tiba-tiba layu dan terbakar dengan sendirinya. Terlihat sebuah lubang besar menganga di ruangan itu, sebuah lubang besar yang muncul secara tiba-tiba dari atap yang berlubang karena sesuatu. Seperti ada yang berusaha masuk ke dalam ruangan dan mendobrak langit-langit itu sehingga hancur. Dan puing-puingnya terlihat sangat berserakan di bawah sana, bercampur dengan dupa dan kembang tujuh rupa yang berhamburan kemana-mana. Namun, tampaknya Ki Warsa dan Ki Waluh tidak terlihat kembali di sana, yang terlihat hanyalah tetesan darah yang menetes keluar ruangan, juga beberapa muridnya yang tidak berdaya karena tertimpa reruntuhan atap yang hancur sehingga langit malam pun terlihat dari dalam sana. Ruangan itu adalah salah satu ruangan yang biasa mereka pakai
Waktu mulai berubah secara perlahan, cahaya kebiru-biruan muncul secara perlahan dari belakang Gunung Sepuh yang tinggi itu, menghilangkan kegelapan dan awan hujan yang menutupi Kampung Sepuh semalaman hingga saat ini. Hujan mulai reda, awan hujan yang masih terlihat tebal, kini tersinari oleh cahaya matahari yang berwarna oranye dari cakrawala yang luas. Sehingga tercipta sebuah garis panjang yang lurus yang membelah langit. Sang cahaya pagi mencoba untuk menghilangkan awan hujan yang masih tersisa itu dengan cahayanya yang terang secara perlahan, diiringi oleh suara jangkrik dan kodok, serta kokok ayam pagi yang menyambut pagi itu dengan syahdu dan suaranya terdengar hingga seluruh kampung. Pemandangan yang menyeramkan pada malam hari kemarin, kini kembali berubah. Menjadi pemandangan yang cantik untuk dilihat oleh kedua mata kita semua, karena sang cahaya pagi sudah mengambil alih kembali langit dan membiarkan cahayanya bersinar menerangi Kampung Sepuh hingga nanti sang malam aka
“Astaga, Mat, Pak Darsa, kalian kenapa? ” Kata Mang Yayat sambil berlari menghampiri warung dengan tatapan yang khawatir dan melihatku yang terbaring lemah dan tidak sadarkan diri di tanah. Kedua tangannya hanya bisa menutup mulutnya karena kaget melihat kondisi warung dan rumah yang tampak berantakan dan sudah tidak berbentuk lagi. Rupanya, ketika Mang Yayat, Mas Parto dan Asep bertemu di jalan. Para warga lain sudah berbondong-bondong terlebih dahulu berangkat ke arah warung termasuk Mang Mumu, dan ketika melihat situasi warung dan rumah, serta aku dan bapak yang terkapar di luar dengan tidak sadarkan diri. Mang Mumu pun kembali ke arah kampung untuk memanggil warga lainnya agar bisa membantunya untuk mengevakuasi tubuhku beserta tubuh bapak yang tidak berdaya disana. “Cepat bantu angkat si Amat ke dalam rumah Pak Darsa, juga angkat juga Pak Darsa yang ada di sana, masuk ke rumah! ” Kata Mang Mumu yang tiba-tiba berteriak kepada semua warga yang ada di dekat warung pada pagi itu.
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu rumah yang lumayan besar, terbuat dari kayu-kayu hutan yang dibelah menjadi beberapa bagian, dan ditumpuk menjadi dinding rumah. Atapnya masih beratapkan rumbia berwarna hitam, juga beberapa bagian masih memakai daun-daun besar yang sudah dikeringkan dan dianyam agar bisa menjadi atap rumah besar yang tepat berada di pinggir pohon tersebut. Aku kini berdiri di atas rerumputan, kakiku terasa sedang menginjak rerumputan yang masih basah karena sinar matahari belum menerangi sepenuhnya tempat yang aku pijak sekarang. “Dimana ini?” Pikirku sambil melihat ke sekeliling bukit tersebut. Aku sempat melihat kebawah, dan melihat hutan dengan pepohonan yang tinggi mengelilingi hamparan rerumputan hijau yang menjadi tempat aku berdiri sekarang, hutan yang sangat gelap dengan pepohonannya yang memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontra
Wuuush Angin segar dari arah pegunungan kini berhembus dengan sangat kencang ke arah kampung, angin yang membuat siapapun akan merasa nyaman akan hembusannya itu, angin terus-menerus berhembus ketika matahari terlihat sangat terik tanpa tertutup awan sama sekali di atas kampung. Namun, angin segar itu tampaknya tidak bisa menenangkan hati para warga kampung yang masih gelisah akan keadaan kampungnya. Mereka yang seharusnya pergi ke ladang dan ke sawah di hari itu, kini hanya duduk-duduk dan menunggu kepastian atas keluargaku yang sudah tiga jam lalu pergi meninggalkan kampung untuk diobati di kota besar. Mas Parto dan Asep yang tidak ikut ke dalam mobil, kini hanya duduk dan merokok dengan beberapa batang rokok yang ambil di etalase warung yang sudah tampak hancur dengan kacanya yang pecah. Mereka duduk-duduk di dekat rumah. Bersamaan dengan para warga lainnya yang masih menungguku kembali dan berkumpul kembali bersama dengan para warga lainnya di Kampung Sepuh. “Kenapa para makh