Srak srak srak
Suara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan di sisi dan kanan jalan.
Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.
Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.
Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.
Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang aku temui beberapa waktu yang lalu, makhluk-makhluk yang silih berganti menampakan dirinya dan membuatku ketakutan setengah mati dengan wujudnya yang sangat menyeramkan.
“Nek, Nenek emang tinggal di sini?” Kataku yang kini mencoba memberanikan diri bertanya kepadanya.
Aku sengaja bertanya seperti itu. Karena dalam seumur hidupku, tidak ada manusia yang berani untuk berkeliaran di Gunung Sepuh ini tanpa tujuan tertentu, apalagi di malam hari seperti nenek yang ada di depanku ini. Kecuali bagi para manusia yang sudah kehilangan akal demi mendapatkan suatu perjanjian dengan para makhluk dengan membuat ritual di tempat ini sepanjang malam.
Namun, tidak mungkin bagi nenek tua yang renta seperti yang ada di depanku ini untuk melakukan hal itu. Karena aku tahu, mereka yang biasanya melewati kampung untuk melakukan ritual di Gunung Sepuh, biasanya datang dengan kendaraan yang asalnya dari kota-kota besar di sekitar pulau Jawa.
Bahkan, tidak hanya orang sunda saja yang sengaja datang ke tempat ini, banyak sekali orang yang dari luar daerah datang dengan bahasa yang tidak aku mengerti datang silih berganti untuk mendapatkan apa yang dia inginkan di gunung ini.
Aku tahu, karena setiap kali mereka datang pada siang hari. Mereka pasti berhenti di warung, mengobrol dengan Ibu tentang Gunung Sepuh dan segala isinya. Namun ibu hanya menjawab seperlunya dan menjelaskan bahwa apabila orang tersebut ingin sekali tahu lebih lanjut, maka masuklah ketika malam tiba.
“Nek!”
“Nek! ”
Tampaknya suaraku tidak terdengar oleh nenek tersebut, sehingga ketika aku beberapa kali memanggil nenek tersebut, dia hanya fokus berjalan secara perlahan dengan obor yang tidak lepas dari tangannya sebagai penerang satu-satunya.
“Nek!” Aku memanggil kembali tersebut, namun sedikit berteriak agar aku terdengar olehnya.
Akhirnya dia mendengar teriakanku. Dan tak lama, dia menoleh ke arahku sambil tersenyum kecil.
“Eh aya naon Cu, punten cepil Nini mah tos teu pati jelas ngadangu na, (Eh ada apa Cu, maaf telinga nenek mah sudah tidak terlalu jelas mendengar,)” Kata nenek tersebut sambil tersenyum kepadaku dengan cahaya obor yang menerangi wajahnya pada saat itu.
“Beneran Nenek emang tinggal di sini? ” Kataku mengulangi pertanyaan yang tadi.
Nenek tersebut hanya mengangguk dan tersenyum kepadaku, dengan tangan yang sudah renta, kurus dan keriput. Dia menunjuk ke salah satu ujung jalanan setapak yang aku lalui. Tangannya bergetar ketika dia menunjukkan arah, karena di umur segitu, tubuh mereka akan lemah sehingga perlu tenaga lebih hanya untuk mengangkat tangannya saja.
“Di ujung jalan ieu tempat Nini cicing Cu. (Di ujung jalan ini tempat Nenek tinggal Cu. )”
“Nini teh sabenerna mah orang kota, ngan teuing kumaha, keluarga Nini teh miceun Nini di tempat ieu. (Nenek itu sebenarnya orang kota, cuman tidak tahu bagaimana, keluarga Nenek itu membuang Nenek di tempat ini. )”
“Meureun tadina Nini teh edek di parabkeun ka makhluk anu aya didieu Cu, tapi meureun para makhluk didieu teh karunya ka Nini. (Mungkin tadinya Nenek akan dipersembahkan kepada para makhluk yang ada di sini Cu, tapi mungkin makhluk di sini kasihan kepada Nenek. )”
Keh keh keh
Nenek tersebut sedikit tertawa, seorang nenek tua renta yang tertawa di tengah hutan dengan sinar obor yang menerangi wajahnya yang penuh keriput dan rambut yang sudah memutih. Membuatku sedikit bergidik ketakutan.
Namun, tidak berapa lama, nenek itu kembali tersenyum kepadaku dan membalikan lagi badannya sambil berjalan kembali secara perlahan di jalanan setapak di tengah hutan tersebut.
Aku pun hanya mengangguk dan kembali mengikuti nenek tersebut berjalan, sempat aku berpikir. Sebegitu teganya keluarga si nenek, sehingga mereka rela membuang nenek tersebut di tengah hutan Gunung Sepuh sendirian.
“Nek, kalau Nenek emang gak takut tinggal di tengah hutan sendirian? ” Kataku.
Sambil berjalan nenek itu kembali terkekeh secara perlahan, dengan obor yang dia pegang di tangannya, dia kembali berkata kepadaku.
“Saha anu teu sieun cicing di tempat anu di keramatkeun jigah gunung ieu Cu. (Siapa yang tidak takut diam di tempat yang dikeramatkan seperti ini Cu. )”
“Tapi Nini mah mendingan cicing di gunung ieu daripada balik deui ka keluarga Nini anu miceun Nini. (Tapi Nenek sih mendingan diam di gunung ini daripada kembali lagi dengan keluarga yang sudah membuang Nenek. )”
“Didieu mah loba dahareun, moal kalaparan jigah di kota Cu. (Di sini banyak makanan, tidak akan kelaparan seperti di kota Cu. )”
“Hayang anu amis-amis tinggal ngala lahang, hayang daging, loba sato anu bisa di dahar, hayang lalabeun loba tinggal ngala Cu. (Ingin yang manis tinggal ngambil air gula aren, ingin daging, banyak hewan yang bisa dimakan, ingin lalaban, banyak tinggal metik Cu. )”
“Meureun ku keluarga Nini, Nini teh geus di anggap paeh, tapi buktina nepi ayeuna Nini teh masih hirup Cu. (Mungkin di keluarga Nenek, Nenek sudah dianggap meninggal, tapi buktinya sampai sekarang Nenek masih hidup Cu. )”
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar cerita dari nenek tersebut sambil berjalan di antara pepohonan yang menjulang tinggi di tengah hutan.
Kisah nenek yang ada di depanku ternyata hidupnya sungguh tragis.
Keluarganya tega membuang nenek ini karena kepentingannya. Mereka rela membuang seorang nenek yang renta di tengah hutan, namun nenek masih mencoba bertahan hidup. Meskipun hidupnya dikelilingi oleh para makhluk yang menampakan dirinya setiap malam.
Ketika aku sedang fokus mendengarkan tentang cerita nenek itu, tiba-tiba dia berhenti di tengah jalan. Entah apa yang dia lakukan, namun kini badannya menghadap ke arah semak-semak dan pepohonan di sebelah kiri.
Secara perlahan, tangan nenek tersebut seperti menunjuk ke suatu tempat di tengah pepohonan hutan yang sangat gelap.
“Tinggali Cu! (Lihat Cu! )” Kata nenek tersebut.
Aku yang tidak tahu tentang apa yang nenek tersebut bicarakan tiba-tiba menoleh ke tempat yang nenek tunjukan, dan betapa terkejutnya ketika aku melihat sesuatu hal yang ada ditunjuk oleh nenek tersebut.
Aku melihat banyak sekali mata merah yang menyala muncul di antara pepohonan hutan, mereka seperti memandangiku dengan perasaan yang haus akan darah yang ada di dalam tubuhku.
Aku kaget, bahkan aku mundur beberapa langkah setelah melihat hal itu. Namun, nenek tersebut tiba-tiba berkata.
“Tong sieun, salama Incu di deket Nini, makhluk anu aya didinya moal ngadeketan Cu, (Jangan takut, selama Cucu dekat Nenek, makhluk yang ada di sana tidak akan mendekat Cu, )” Kata nenek tersebut.
“Yu di lanjutkeun, sakeudeung deui nepi ka imah Nini, (Yuk dilanjutkan, sebentar lagi kita sampai di rumah Nenek, )” Kata nenek itu sambal mengajakku berjalan kembali dan menghiraukan penampakan mata merah yang terlihat olehku.
Aku berdiri di belakangnya langsung memalingkan wajahku dan kembali berjalan di belakang nenek tersebut.
Waktu semakin malam, aku sudah tidak tahu jam berapa sekarang. Dan aku pada saat ini masih mengikuti nenek tersebut berjalan menyusuri setiap jalanan setapak yang ada di hutan Gunung Sepuh.
Dan ketika hampir lima belas menit berjalan, aku akhirnya melihat salah satu gubuk kecil yang berada di depan tebing. Sepertinya itu adalah sebuah gubuk yang awalnya dibuat untuk para manusia yang melakukan ritual di Gunung Sepuh ini.
Karena gubuk tersebut terlihat dibuat seadanya, dengan kain terpal biru yang menjadi atap dari gubuk tersebut. Dindingnya terbuat dari potongan kayu yang diambil dari hutan dan di tempelkan menjadi dinding agar bisa menahan hembusan angin malam yang menusuk kulit.
Dan pintunya pun hanya memakai sepotong kain putih panjang yang membentang menjadi sebuah penghalang pintu.
“Eta imah Nini Cu,(Itu rumah nenek Cu, )” Kata nenek tersebut sambil menunjuk ke arah rumah.
“Hayu ka jero, istirahat heula we di imah ieu, engke we balik mah pas isuk-isuk, (Hayu ke dalam, istirahat dulu di dalam rumah ini, nanti saja pulangnya di pagi hari, )” Kata nenek tersebut dengan senyum khasnya.
Aku pun akhirnya mengangguk, dengan rasa letih, takut, dan lapar yang tadi menghantuiku beberapa waktu yang lalu. Akhirnya aku lega, karena aku menemukan manusia lain yang baik dan membantuku untuk bisa bertahan hingga pagi tiba. Dan aku pun berjanji pada diriku, ketika aku berhasil keluar dari hutan ini, aku akan sering mengunjungi nenek tersebut ketika ada kesempatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku pada malam ini.
Aku pun akhirnya berjalan ke dalam gubuk tua tersebut. Namun, secara tak sadar, mata merah yang tadi aku lihat kini semakin banyak mengelilingi gubuk yang ada di dekat tebing itu.
Bahkan kini, di antara beberapa mata merah tersebut, gigi-gigi taring tajam dengan air liur yang menetes ke tanah kini terlihat karena tersinari oleh sinar bulan.
Mereka seperti siaga, seperti menunggu saat yang tepat untuk melahapku ketika aku masuk ke dalam gubuk itu, namun mereka tidak berani menampakan wujudnya. Karena seperti ada yang membuat mereka takut, sehingga mereka menjaga jaraknya dan tidak berani mendekatiku.
Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap. Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan. “Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya. Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan m
Sebuah lampu minyak yang menyala terang dengan cahayanya yang kemerah-merahan membuat suasana di dalam gubuk itu terasa seperti rumah-rumah di Kampung Sepuh pada umumnya.Kini, aku terlihat sedang lahap memasukan potongan-potongan daging ke dalam mulutku. Dengan lahap aku terus-menerus memakan makanan yang disajikan oleh nenek tersebut, seorang nenek yang baik yang mengajakku untuk beristirahat dari gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Suara barang-barang yang saling beradu terdengar olehku dari ruangan belakang, sepertinya nenek tersebut sedang menyiapkan sesuatu lagi untukku. Dan di dalam hatiku, aku pasti akan kembali ketempat ini ketika sudah bisa pulang ke rumahku, dan membawa bahan makanan serta selimut hangat untuk nenek itu sebagai tanda terima kasih karena sudah menampungku pada malam ini.Makanan yang nenek itu sajikan terlihat sangatlah lezat, dengan kepulan asap kecil yang terlihat oleh lampu minyak yang ada di tengah-tengah ruangan tersebu
Hoeek Hoeeek HoeeekAku kini terus-menerus memuntahkan semua makanan yang telah aku makan, meskipun tidak semuanya keluar karena sebagian dari makanan itu tampaknya sudah sampai ke dalam perutku.Tikar yang menjadi alas dari ruangan itu kini penuh dengan muntahan-muntahan makanan yang bercampur dengan darah yang berwarna merah tua yang dikeluarkan kembali dari dalam mulutku.Ketika semua makanan yang kini tersinari oleh cahaya lampu minyak dari dekat, seakan-akan makanan dan minuman itu berubah sepenuhnya.Buah-buahan seperti apel, pir, dan pisang kini terlihat busuk, dengan banyaknya titik hitam di sekitar buah-buahan tersebut. Bahkan sebagian dari buah-buahan itu terlihat berjamur, saking lamanya buah-buahan itu tersimpan dan tidak tersentuh satu kalipun oleh manusia.Juga minuman yang aku minum kini seketika berubah, menjadi cairan darah kental yang dituangkan di dalam gelas, dan aku sudah meminum setengahnya dari gelas tersebut.“J
Keh keh keh Nenek tersebut kembali terkekeh-kekeh di depanku. Aku yang sudah mengetahui bahwa sosok di depanku ini bukanlah manusia, melainkan wujud dari salah satu makhluk yang menyerupai nenek yang sudah meninggal di dalam gubuk. Aku hanya berdiri dan terdiam karena nenek itu menghalangi jalanku, dengan tangan yang kini sedang memegang obor dan ranting-ranting pohon yang dia bawa di tangan kanannya. Dia hanya terus-menerus tertawa dan menyuruhku untuk berdiam diri di dalam gubuk. “Naha cicing Cu, ulah kaluar bahaya, mendingan cicing we didieu maturan Nini,(Kenapa diam Cu, jangan keluar bahaya, mendingan di sini aja nemenin Nenek,)” Kata sosok nenek tersebut sambil berjalan secara perlahan mendekatiku. “Gak, ini gak bener, aku harus mencari jalan lain agar bisa keluar dan menjauh dari gubuk ini, ” Pikirku. Nenek tersebut kini semakin mendekatiku, langkah kakinya berjalan sangat pelan karena mungkin ranting-ranting pohon yang dia bawa untuk di
Aku Ingat.Ada salah satu mitos, tentang salah satu hantu yang seringkali menampakan dirinya di dalam Gunung Sepuh, mitos ini berkembang di masyarakat kampung, terutama bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya di dalam hutan.Sesosok makhluk yang mewujudkan dirinya menjadi manusia yang ditemuinya. Dan makhluk itu seringkali menghasut para manusia yang masuk ke dalam Gunung Sepuh dan menjebak mereka di dalamnya.Jurig Korod, atau dalam bahasa indonesianya adalah Hantu Borok. Sesosok hantu yang penuh dengan benjolan-benjolan bernanah dengan belatung-belatung yang ada di sekujur tubuhnya, wujudnya tampak tidak mengerikan. Namun, sangat menjijikan untuk dilihat.Baunya yang busuk menusuk hidung, juga wajahnya yang seringkali berganti. Membuat banyak sekali manusia yang terhasut dan terjebak olehnya.Terkadang, dirinya juga bisa mewujudkan dirinya menjadi sesosok yang tampan atau cantik jelita. Dan menjerat siapa saja yang terpesona oleh waja
“Kamu diam disini, dan jangan sekalipun kamu membuka mata sebelum aku memerintahkannya. ” Kata Kodir yang kini sedang berdiri di salah satu mulut gua di hutan yang gelap itu.Dia kemudian mengeluarkan sebuah nampan kecil, yang di isi oleh segala jenis buah-buahan dan kopi hitam yang sengaja dia seduh dengan air mineral yang dia bawa. Dia juga mengeluarkan tiga buah dupa sebagai pengganti kemenyan yang dibakar dan ditancapkan di tanah.Temannya yang berada di sampingnya hanya berdiri sambil memejamkan mata dengan tubuhnya yang bergetar karena ketakutan. Dan Kodir pun kini terlihat sedang duduk, dan mengangkat kedua tangannya seperti sedang menyembah sesuatu di depan gua tersebut.Beberapa kali dia mengangkat kedua tangannya sambil menundukan kepala dan bergumam seperti sedang membacakan mantra, dan beberapa kali pula dia mengambil tiga dupa yang telah dia tancapkan dan diputar-putar hingga akhirnya di tancapkan kembali di tanah.Dupa dan sesajen, sebuah be
Sebuah pemandangan yang aku lihat ini, adalah sebuah pemandangan yang semakin membuatku yakin. Bahwa banyak manusia bodoh diluaran sana yang sengaja mengorbankan dirinya sendiri demi kekayaan dan kejayaan di gunung ini. Cerita-cerita tentang banyaknya ritual di tempat ini pun, aku kini melihatnya dengan kepala dan mataku sendiri. Dan memang itu benar adanya, selain dengan mitos-mitos yang berkembang tentang banyaknya penampakan dan para makhluk yang mendiami tempat ini setiap malamnya. Krosak, Krosak, Aku yang melihat kejadian itu secara seketika mundur secara perlahan dan tidak ingin berdiam diri lebih lama dari apa yang aku lihat. Meskipun, Rasa takut yang aku rasakan tidak sebesar tadi, ketika aku pertama kali ditinggalkan oleh bapakku sendiri ditengah hutan. Apalagi makhluk tersebut sepertinya menyadari kehadiranku yang sedang duduk di semak-semak sambil melihat para manusia yang melakukan ritual di dalam sana, sehingga mau tidak mau, aku
Tidak tahu ada berapa banyak jenis ritual yang ada di Gunung Sepuh ini. Tidak ada yang mengetahui total keseluruhan tempat-tempat ritual yang tersebar di seluruh gunung, mereka hanya datang dan pergi setelah ritualnya selesai. Dan tidak pernah sekalipun mengelilingi gunung hanya untuk mengunjungi tempat-tempat ritual yang ada di dalamnya. Mereka tersebar di beberapa tempat di seluruh gunung, dan semua yang datang ke gunung itu akan diarahkan oleh salah satu makhluk yang sengaja membukakan jalan agar sampai ke tempat ritual tersebut. Tapi, jangan sampai para manusia mencari tempat itu sendirian. Karena, hanya ada sedikit orang yang beruntung untuk bisa menemukan tempat tersebut. Namun, ada banyak orang yang tidak beruntung ketika mereka ingin sekali keluar dari tempat itu ketika mereka sengaja menerobos tempat tersebut. Karena biasanya mereka akan dianggap sebagai penyusup oleh para makhluk karena mereka masuk wilayah kekuasan mereka tanpa izin. Dan hal itu ju
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men