Sebuah lampu minyak yang menyala terang dengan cahayanya yang kemerah-merahan membuat suasana di dalam gubuk itu terasa seperti rumah-rumah di Kampung Sepuh pada umumnya.
Kini, aku terlihat sedang lahap memasukan potongan-potongan daging ke dalam mulutku. Dengan lahap aku terus-menerus memakan makanan yang disajikan oleh nenek tersebut, seorang nenek yang baik yang mengajakku untuk beristirahat dari gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.
Suara barang-barang yang saling beradu terdengar olehku dari ruangan belakang, sepertinya nenek tersebut sedang menyiapkan sesuatu lagi untukku. Dan di dalam hatiku, aku pasti akan kembali ketempat ini ketika sudah bisa pulang ke rumahku, dan membawa bahan makanan serta selimut hangat untuk nenek itu sebagai tanda terima kasih karena sudah menampungku pada malam ini.
Makanan yang nenek itu sajikan terlihat sangatlah lezat, dengan kepulan asap kecil yang terlihat oleh lampu minyak yang ada di tengah-tengah ruangan tersebut. Membuatku sangat lahap menyantap makanan itu.
“Cuuuu!”
“Bade sareng buah-buahana sakantenan? (Mau buah-buahannya juga? )” Kata nenek tersebut dari ruangan belakang.
Aku yang masih melahap makanan di depanku langsung menolak dengan halus, dia sangat baik hingga mengeluarkan semua yang disimpan di ruangan belakang. Dan membiarkan ku memakan semua makanan tersebut.
Aku hanya takut, ini adalah bahan makanan yang nenek itu punya untuk bertahan hidup di hutan ini, dan aku memakan semuanya pada malam ini.
Sehingga ketika aku pulang, dia harus mengumpulkan kembali bahan makanan yang telah aku makan dengan berkeliling hutan untuk kebutuhan hidupnya sendiri.
“Gak apa-apa Nek, gak usah repot-repot. Ini aja sudah cukup,” Kataku dengan sedikit malu-malu menjawab perkataan nenek tersebut.
“Ah teu nanaon Cu, iraha deui Nini aya batur didieu, keun bae ieu mah buah sakalian we jang Incu, engke Nini mah ngala deui di leuweung. (Ah tidak apa-apa Cu, kapan lagi nenek ada teman di sini, tidak apa-apa ini buah sekalian aja buat Cucu, nanti nenek tinggal metik lagi di hutan. )”
Nenek tersebut berbicara sambil berjalan secara perlahan ke arahku, tubuhnya yang bungkuk dan renta membuatnya kesusahan untuk berjalan. Dengan sebuah gelas kecil berisi air dan sebuah mangkuk kecil berisi buah-buahan yang dia bawa dan di sajikan kepadaku pada malam tersebut.
“Tuang cing seueur Cu, meh engke tibra kulemna, (Makan yang banyak Cu, supaya nanti pulas tidurnya,)” Kata nenek tersebut sambil menyodorkan satu gelas air yang berwarna agak bening dengan buah-buahan yang tersimpan di atas mangkuk kecil bergambar ayam jago.
Buah-buahan seperti pisang, apel, bahkan buah pir ada di sana. Aku pun bingung dengan buah-buahan yang mahal ini, karena sepertinya tidak mungkin ada pohon apel warna merah yang tumbuh di hutan ini.
Nenek yang duduk tak jauh dariku terlihat mengamati gerak geriku ketika aku heran dengan buah-buahan yang dia bawakan kepadaku pada saat itu.
“Kunaon Cu? ” Katanya bertanya kepadaku.
“Mmm, anu, sepertinya buah apel dan pir ini mah gak tumbuh di hutan ini deh Nek, ” Kataku sambil sedikit bertanya.
Aku bukannya tidak menghargai nenek tersebut, namun semuanya terasa janggal. Tidak mungkin ada buah-buahan yang mahal, yang hanya dijual di kota muncul di hutan ini.
Keh keh keh
Nenek tersebut tiba-tiba kembali terkekeh kecil. Jujur, aku sedikit merasa ketakutan ketika nenek tersebut terkekeh-kekeh, meskipun dia sangat baik kepadaku, namun wajahnya yang keriput dengan rambut putih dengan cahaya lampu minyak yang menyinarinya. Membuatku sedikit bergidik dan merinding ketika mendengar tertawanya.
“Punten Cu, buah-buahan eta mah memang euweuh tangkalna didieu. Nini karek mawa kamari, ti jelema anu datang ka gunung ieu terus ngalakukeun ritual di diditu, (Maaf Cu, buah-buahan itu memang tidak ada pohonnya di sini. Nenek baru bawa kemarin, dari manusia yang datang ke gunung terus melakukan ritual di sana,)” Katanya sambil menunjuk ke arah kiri.
Aku yang tadi bertanya kini sangat malu di depan nenek itu, bagaimana tidak. Nenek tersebut sepertinya harus bersusah payah untuk mendapatkan buah-buahan ini, karena dia harus berjalan mengelilingi hutan dengan tubuhnya yang renta agar bisa mendapatkannya.
Namun, ketika dia sengaja memberikannya kepadaku, aku yang kini sebagai tamu di gubuknya, merasa curiga dengan apa yang dia berikan.
“Nini mah lebar Cu, da biasana makhluk-makhluk anu cicing didieu mah ngan mawa sari-sari buahna. Terus buahna di antep nepi ka buruk. (Nenek cuman sayang Cu, soalnya makhluk-makhluk yang diam di sini hanya membawa sari-sari buahnya saja. Terus buahnya di biarkan saja hingga busuk. )”
“Daripada di antep, nya enggeus Nini bawa Cu. (Daripada di diemin, ya sudah Nenek bawa Cu. )”
Nenek tersebut kembali tersenyum kepadaku, sifatnya yang baik dan senyumnya yang ramah membuatku kini malu. Meskipun aku sendiri melihat banyak keanehan ketika berada dekat nenek tersebut, namun nenek tersebut bisa menjawab semua pertanyaanku dengan logis dan masuk akal.
“Sok dituang na eta buah-buahanna. Nini sakedap bade ka luar heula nya Cu. Nini hilap tadi basa kaluar teh jang ngala suluh, ari pas papendak sareng Incu, suluh na tinggaleun teu kacandak ku Nini. (Sok dimakan ya itu buah-buahannya. Nenek sebentar mau keluar dulu ya Cu, Nenek lupa tadi waktu keluar itu untuk mencari kayu bakar, tapi pas ketemu dengan Cucu, kayu bakarnya ketinggalan Cu, lupa belum dibawa oleh Nenek. )”
“Incu mah didieu we nya, aman da. Moal aya makhluk anu asup ka tempat ieu Cu. (Cucu mah di sini saja ya, aman kok. Tidak ada makhluk yang akan masuk ke tempat ini Cu. )”
Nenek tersebut kemudian kembali berdiri, beberapa kali dia memegang dinding dari gubuk itu agar tubuhnya bisa terangkat dan bisa berdiri dengan sempurna.
Nenek itu pun kemudian berjalan kembali ke ruangan belakang, dan ketika dia baru beberapa langkah berjalan. Dia mendadak berhenti dan berkata.
“Oh enya, bisi tunduh mah langsung istirahat we tong nungguan Nini nya. Simpen we urut tuangeun na mah di juru, engke ku Nini dicandak. (Oh iya, kalau ngantuk langsung istirahat saja jangan nungguin Nenek ya, simpan saja bekas makanannya di sudut, nanti Nenek ambil. )”
Aku pun kembali mengangguk sambil memasukan sisa potongan daging yang ada di dekatku pada saat itu. Sambil mengunyah daging tersebut, aku melihat nenek itu menyalakan obornya kembali, dan berjalan secara perlahan melalui ruangan belakang yang bisa tembus keluar.
Tak henti-hentinya aku berpikir tentang kebaikan nenek tersebut. Dia rela berjalan bersamaku di tengah hutan yang gelap dan penuh dengan makhluk yang menakutkan, juga memberikanku makanan yang layak dan membiarkan ku untuk berisitrahat di gubuknya yang sederhana ini.
Perutku kini merasa kenyang, setelah beberapa potongan daging babi hutan masuk melewati tenggorokanku dan masuk ke dalam perutku pada saat itu. Meskipun, aku harus menyimpan rahasia ini di depan Bapak atau Ibu, karena kalau mereka tahu, aku pasti akan dimarahi habis-habisan oleh mereka berdua.
Glup glup, glup,
Aku akhirnya meminum minuman yang dibawa oleh nenek tersebut, sebuah minuman manis dari gula aren yang masuk ke dalam tenggorokanku. Jujur, perutku sudah penuh, namun masih ada buah-buahan yang ada di sebuah mangkuk usang yang pinggirannya sudah retak.
“Lebih baik aku habiskan saja makanan yang disajikan padaku untuk menghormatinya. ”
“Karena kalau tidak aku habiskan, aku takut Nenek tersebut akan sedih dan aku dianggap tidak menghargai apa yang dia berikan, ” Pikirku.
Aku pun akhirnya mengambil sebuah apel merah. Apel yang hanya bisa di dapat di kota-kota besar dengan harga yang mahal, satu apel merah ini saja bisa sama harganya dengan satu kilo apel hijau lokal yang dijual di pasar di kampung sebelah. Dan untuk pertama kalinya aku akan memakan apel merah tersebut.
Krauk, krauk,
Aku membuka mulutku secara lebar-lebar, dan memakan apel merah tersebut dengan lahap. Beberapa kali aku mengunyah apel tersebut. Meskipun rasanya agak hambar, namun aku ingat bahwa ini adalah apel bekas sesaji, jadi ya wajar saja kalau sari-sarinya sebagian sudah dihisap oleh para makhluk yang tinggal di sini.
Tapi,
Rasanya ada yang aneh. Aku seperti merasakan ada sesuatu yang menggeliat-geliat di dalam mulutku, ada sesuatu yang bergerak secara perlahan di antara gigi-gigiku pada saat itu.
Aku yang penasaran langsung membuka mulutku kembali, dan memuntahkan apel yang sudah aku makan tersebut ke arah tanganku.
Aku mendekatkan tanganku ke arah lampu minyak yang masih menyala di tengah-tengah ruangan, dan ketika cahaya dari lampu minyak tersebut menyinari muntahan apel yang aku pegang.
Aku sungguh benar-benar terkejut atas apa yang aku lihat. Rupanya, apel tersebut adalah apel busuk yang sudah berwarna pucat, juga dengan belatung-belatung yang menggeliat-geliat di dalamnya.
Aku yang melihat hal itu langsung mendadak mual dan memuntahkan kembali segala sesuatu yang sudah masuk ke dalam mulutku.
Hoek, hoek, Hoeeeekk,
Apel yang sudah dikunyah dan ditelan tiba-tiba keluar semua dan berceceran di atas tikar, bahkan kini, muntahan apel tersebut berwarna merah dengan gumpalan-gumpalan kecil dan mengotori tikar usang tempat aku duduk.
Aku yang penasaran. Akhirnya mendekatkan lampu minyak itu ke dekat buah-buahan tersebut. Dan betapa terkejutnya aku, ketika cahaya dari lampu minyak menyinari dengan jelas makanan yang aku makan.
“Astaga makanan apa ini? ” Kataku sambil memegang kepalaku karena tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya