Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap.
Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan.
“Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya.
Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan membuatku tersadar kembali.
"Hayu asup Cu! (Yuk masuk Cu!) "
“Oh iya Nek, ” kataku sambil kembali berjalan mendekati gubuk tua tempat nenek tinggal.
Nenek tersebut kembali tersenyum, tidak ada aura yang mencoba menekanku dan membuatku ketakutan seperti para makhluk yang menampakan dirinya kepadaku beberapa saat yang lalu.
“Hapunten nya Cu, sa aya-aya we ieu mah tempat na, kumaha atuh da, Nini mah euweuh anu mantuan cicing didieu teh, (Maaf ya Cu, seadanya aja ini tempatnya, bagaimana atuh da, nenek tidak ada yang bisa dimintain tolong di sini,)” Kata nenek tersebut sambil membuka tirai yang menjadi sebuah pintu. Tirai yang lusuh dan kotor, yang menjadi penghalang satu-satunya bagi angin dingin yang menembus kulit setiap malamnya.
“Iya gak apa-apa Nek, malah aku ngerepotin Nenek kalau ikut menginap hingga pagi tiba, ” Kataku sambil ikut masuk ke dalam gubuk kecil itu.
Gubuk itu terlihat sangat sederhana, hanya terdiri dari beberapa ruangan kecil yang menyatu menjadi satu. Ada satu ruangan besar ketika aku masuk, dengan banyaknya tumpukan dari tumbuhan hutan yang nenek simpan di ujung ruangan, juga sebuah tikar yang tampak usang dan berlubang di banyak sisi.
Dan dibelakangnya ada ruangan kecil yang disebut goah, yaitu sebuah gudang kecil sekaligus dapur tempat nenek tersebut mengolah semua makanan hutan untuk dia makan setiap harinya.
Di sebelah kirinya, ada suatu ruangan kecil dengan kasur kapuk yang tampaknya sudah berbau dan kotor, tempat nenek tersebut beristirahat setiap harinya.
Tidak ada barang-barang yang sering kita temui di kota, tidak ada lemari pakaian, tidak ada jam dinding, bahkan tidak ada jendela di gubuk tersebut. Namun, nenek tersebut dengan cekatan membuat barang-barangnya sendiri dari kayu untuk keperluannya, dan dari wadah-wadah bekas sesaji yang tersebar di setiap penjuru hutan.
Gelas kaca bekas kopi pahit, nampan kuningan bekas menaruh semua sesaji buah-buahan dan kembang tujuh rupa. Juga batok kelapa yang sengaja nenek buat menjadi sebuah gayung atau gelas untuk diminum.
Sepertinya, nenek itu sengaja berkeliling ke semua tempat ritual, mengambil semua benda-benda yang menurutnya berguna untuk hidupnya di hutan ini, dan tampaknya hal itu sudah dia lakukan selama bertahun-tahun.
Terbukti dengan bangunan gubuk itu yang terlihat seperti sudah lama ditinggali, meskipun kondisinya jauh dari kata layak menurutku sendiri.
“Istirahat heula didieu nya Cu, moal aya anu wani asup kadieu, jadi Incu ulah hariwang. (Istirahat dulu di sini ya Cu, tidak ada yang berani masuk ke sini, jadi Cucu jangan khawatir. )”
“Nenek mah karunya Cu, da jelema sa umur Incu mah moal mungkin nyieun perjanjian jeung makhluk anu aya di gunung ieu, pasti Incu mah sasab di gunung ieu, terus teu bisa balik, (Nenek mah kasian Cu, soalnya manusia seumur Cucu mah gak mungkin membuat perjanjian dengan makhluk yang ada di gunung, pasti Cucu itu nyasar di gunung ini, dan tidak bisa pulang,)” Kata nenek itu yang kini terlihat duduk di depanku.
Obor yang tadi dia pegang kini apinya dipindahkan kepada lampu minyak yang terbuat dari botol bekas dengan minyak tanah sebagai bahan bakar dan kain bekas sebagai sumbunya.
Lampu minyak itu disimpan tepat di tengah-tengah ruangan, dan obor yang dia bawa sengaja dia matikan dan dia simpan di tempatnya.
Aku yang duduk disana akhirnya bertanya tentang identitas nenek tersebut. Karena, aku merasa mempunyai utang budi kepadanya karena sudah membantuku dari kejaran para makhluk yang muncul di gunung ini.
“Mmmm, kalau Nenek itu siapa namanya Nek? ”
“Karena aku dari tadi ga tau nama nenek siapa?”
“Siapa tahu nanti ketika pagi tiba, aku pasti akan kembali mencari Nenek karena sudah membantuku dan memberikan tempat beristirahat di malam ini Nek,” Kataku sambil malu-malu di hadapan nenek tersebut.
Namun, nenek tersebut hanya menggelengkan kepalanya. Dia seperti tidak ingin mengatakan namanya kepadaku pada malam itu.
“Incu teu kudu apal ngaran Nini saha, soalna bisi incu engke hese panggih deui jeung Nini. (Cucu tidak perlu tahu siapa nama Nenek, soalnya takut Cucu nanti susah ketemu dengan Nenek lagi.)”
“Hah? ” Aku dengan spontan mengucapkan hal itu ketika nenek tersebut berbicara.
“Maksudnya susah ketemu dengan nenek gimana Nek? ” Kataku dengan nada yang heran.
“Enya Cu, leuweung ieu teh lega. Terus incu oge kan teu apal ieu di belah mana, lamun engke Incu bisa balik ka kampung, ulah maksakeun manggihan Nini, hese soalna neangna tempat ieu teh. (iya Cu, hutan ini sangatlah luas. Terus Cucu juga kan tidak tahu sekarang di sebelah mana, kalau nanti Cucu bisa pulang ke kampung , jangan memaksakan diri untuk bertemu Nenek, soalnya susah mencari tempat ini.)”
“Oh,” Kataku yang menjawab ucapan nenek.
Kalau dipikir-pikir memang benar, aku sekarang tidak tahu berada di mana, aku juga tidak tau jalan pulang ke mana, bahkan aku tidak tahu sekarang jam berapa dan kapan pagi akan tiba.
Apalagi setelah mendengar penjelasan dari nenek itu, aku mengerti. Bahwa dia juga menolongku tanpa pamrih.
Krubuk, krubuk, krubuk,
Perutku tiba-tiba berbunyi, sudah beberapa jam aku belum makanan apa-apa, padahal biasanya setelah magrib biasanya aku makan bersama Ibu dan Bapak. Terakhir aku makan ketika pulang dari sekolah, dan sekarang aku merasakan rasa lapar lagi.
Minuman lahang yang diberikan oleh nenek tersebut rupanya tidak bisa menahan perutku yang keroncongan. Dan rupanya, hal itu juga terdengar oleh nenek yang duduk di depanku pada saat ini.
Nenek tersebut sepertinya mengerti tentang apa yang aku butuhkan saat ini, dia hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu secara perlahan berdiri dari duduknya, dengan tubuhnya yang sudah renta dan bungkuk. Dia akhirnya berjalan ke arah ruangan belakang sambil berkata kepadaku yang masih duduk disana.
“Incu cicing heula didieu nya, Nini katukang heula, Incu pasti lapar, urang nyieun heula tuangeun sa aya-aya nya Cu. (Cucu diam dulu di sini ya, Nenek ke belakang dulu, Cucu pasti lapar, kita bikin makanan seadanya ya Cu.) "
Aku merasa malu karena suara perut yang lapar ini terdengar oleh nenek tersebut, bahkan dia dengan sangat baik ingin membuatkan aku makanan. Alhasil, aku hanya bisa mengangguk tanpa sekalipun menatap wajah nenek tersebut karena aku sangat malu akan keadaanku pada saat ini.
Tak lama, terdengar suara-suara seseorang yang sedang memasak. Dengan percikan-percikan api dari tungku yang menyala dan terlihat dari sela-sela dinding ruangan yang bolong karena usia.
Sepuluh menit berlalu, aku yang duduk dan melihat ke sekeliling gubuk tersebut. Akhirnya mencium suatu bau yang enak dari arah belakang, dan tak lama, nenek tersebut datang dengan nampan bekas sesaji dan potongan daging hewan di atasnya.
“Ieu aya keneh urut daging bagong Cu, punten bisi Incu teu resep mah, tapi da kumaha, di leuweung ieu mah anu gampang di jadikeun masakan, nya bagong ieu. (Ini masih ada sisa daging babi hutan Cu, maaf takutnya Cucu tidak suka, tapi ya mau gimana, di hutan ini yang gampang dijadikan masakan, ya cuman babi hutan ini. )” Kata nenek tersebut sambil menyodorkan daging babi hutan itu di hadapan ku.
Jujur, seumur hidupku, aku belum pernah memakan babi hutan, apalagi ada larangan dari tradisiku yang tidak memperbolehkanku menyantap daging-daging hewan buas yang bertaring di dalam hutan.
Namun, daging tersebut terlihat sangat enak. Mungkin gara-gara tubuhku sangat lelah dan kini kondisi tubuhku sangat lapar, sehingga aromanya membuatku ingin sekali menyantap daging itu.
“Naha make bengong, sok dituang Cu, meh aya tanaga, (Kenapa bengong, sok di makan Cu, biar ada tenaga, )” Kata nenek tersebu sambil mengangkat tangannya.
Aku yang sudah lapar akhirnya mengangguk, meskipun aku tahu bahwa itu dilarang di dalam tradisiku, namun ada pengecualian apabila tidak ada makanan lain untuk aku makan.
Akhirnya, daging tersebut aku makan dengan lahapnya. Rasa daging yang terasa sangat enak kini seperti menari-nari di dalam mulutku. Padahal aku lihat, daging tersebut hanya dibakar seadanya tanpa bumbu dan disajikan begitu saja.
Ohok, ohok, ohok,
Aku makan dengan lahap hingga tak terasa aku tersedak.
“Lalaunan Cu tuang na. (Pelan-pelan Cu makannya. )”
“Aduh hilap, eueutna acan nya. (Aduh lupa, minumnya belum ya. )”
Nenek tersebut secara perlahan berdiri kembali dan berjalan lagi ke arah belakang. Terdengar suara-suara benda yang saling beradu, sepertinya nenek tersebut sedang mencari sesuatu untuk aku minum pada malam itu.
“Aduh di mana nya tadi teh neundeun na, (Aduh di mana ya tadi nyimpannya, )” Kata nenek tersebut yang bergumam sendirian di ruangan belakang.
Krotak, krotak, krotak,
“Ah ieu geuning. (Ah ini ternyata. )"
Sebuah panci kecil kini terlihat sedang dipegang oleh nenek tersebut, panci aluminium tanpa warna dengan corak-corak merah di setiap ujung pancinya.
Dengan perlahan panci itu dibuka, dan di dalamnya terlihat cairan kental yang dituangkan ke gelas kaca bekas kopi yang sering dipakai untuk sesaji.
Cairan kental itu secara perlahan memenuhi gelas tersebut, dengan sebuah warna merah gelap seperti darah hewan yang dia akan sajikan sebagai minumanku.
“Urang rubah heula meh jigah lahang rasana, soalna lamun ninggali getih bagong jigah kieu, mah engke pasti sieuneun. (Aku akan rubah dahulu supaya rasanya seperti air gula aren, soalnya kalau dia melihat darah babi hutan seperti ini, pasti akan ketakutan. )”
Kehkehkeh
Nenek tersebut secara tiba-tiba terkekeh-kekeh kecil di ruangan belakang. Dan aku yang ada di ruangan sebelahnya tidak sadar dengan apa yang nenek itu sajikan.
Karena rasa lapar dan rasa lelah membuatku makan dengan lahap di gubuk kecil itu.
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya