Apabila kita sedang tersesat di dalam hutan ketika malam hari, kita biasanya melihat beberapa titik-titik cahaya. Sebuah titik-titik cahaya suatu kampung dari kejauhan, yang bisa menjadi petunjuk arah ketika kita sedang tersesat.
Namun berbeda dengan hutan Gunung Sepuh, satu-satunya kampung yang paling dekat dengan hutan tersebut adalah Kampung Sepuh. Yang di mana, kampung tersebut sangatlah gelap pada malam hari.
Tidak ada satu pun manusia yang sengaja menyalakan lampu minyaknya di depan rumah, juga menyalakan obor-obor di pinggir jalan untuk menerangi jalanan.
Mereka hanya menyalakan lampu minyak dan petromak di dalam rumah, dan tidak sekalipun berani untuk menyalakan cahaya-cahaya itu di luar rumahnya.
Apalagi cahaya-cahaya yang muncul di Gunung Sepuh selain cahaya bulan yang muncul secara tiba-tiba di tengah gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.
Hanya ada dua kemungkinan, yang pertama adalah cahaya tersebut muncul dari senter-senter manusia yang sengaja datang ke Gunung Sepuh ketika malam tiba. Mereka sengaja tidak memakai cahaya petromax karena mereka tidak ingin diketahui oleh warga sekitar ketika sedang melakukan ritual di dalam sana.
Atau memang, itu adalah sebuah cahaya yang menyala di tengah-tengah hutan seperti api, yang bisa jadi adalah sesuatu yang harus di waspadai. Karena banyak sekali cerita-cerita tentang makhluk gunung yang sering kali menjebak manusia dengan cahaya api yang mereka keluarkan dari tubuhnya.
***
Aku yang sedang menyender tepat di sebuah batu besar di tengah hutan, kini melihat titik cahaya tersebut terbang dan melayang di antar pepohonan hutan dari kejauhan.
Krosak
Krosak
Terdengar lagi suara seseorang yang sedang berjalan, di iringi dengan titik cahaya yang terlihat sedang melayang ke sana kemari di antara pepohonan hutan yang lebat tersebut.
“Apakah itu Bapak yang membawa obor untuk menjemputku? ” Pikirku sambil melihat titik cahaya itu yang semakin lama semakin dekat secara perlahan.
Namun,
Pikiranku secara tiba-tiba tidak membenarkan hal itu, apalagi dengan tulisan yang dia tulis sendiri dan diberikan kepadaku ketika aku memejamkan mata. Bapak tidak akan mungkin menjemputku apalagi dengan membawa lampu minyak yang sering dia pakai di warungnya.
Karena ketika bapak berjalan dalam gelap, jarang sekali membawa lampu minyak. Bapak sudah terbiasa berjalan di dalam kegelapan. Kalaupun harus memakai cahaya untuk membantunya berjalan, biasanya dia suka membawa senter kecil yang dia beli dari kota, dan aku sangat hafal dengan cahaya dari senter kecil itu.
“Tidak, tidak, tidak mungkin Bapak menjemput membawa lampu minyak. ”
Aku kini menggelengkan kepala, pikiranku sangatlah kacau pada saat itu. Rasa lelah dan ketakutan yang terus-menerus menghantui pikiranku membuat aku tidak bisa berpikir jernih.
“Jadi, siapa yang membawa cahaya itu? ”
Aku berpikir kembali sambil menyenderkan badanku yang kelelahan ini. Karena rasanya tidak mungkin ada manusia yang datang menghampiriku dengan cahaya api yang seperti melayang di tengah-tengah kegelapan hutan.
Kalaupun ada, pasti mereka adalah orang-orang kota yang akan melakukan ritual di dalam gunung. Tapi, mereka pasti memakai senter di tengah hutan, dan tidak mungkin mereka harus repot-repot membuat obor atau memakai lampu minyak hanya untuk penerangan mereka.
Krosak krosak
Suara-suara itu terdengar kembali, titik cahaya yang tadi terlihat dari kejauhan secara perlahan-lahan mendekat dan mendekat. Aku yang sudah bingung ketika menebak cahaya tersebut, secara spontan berteriak ke arahnya.
“HEY, SAHA ETA, EDEK NAON MANEH KADIEU? (HEY, SIAPA KAMU, MAU APA KAMU KESINI? )”
Aku berteriak dengan sekuat tenaga, Dengan harapan dia menjawab teriakanku dan memastikan bahwa itu adalah manusia.
Namun, tidak ada jawaban yang membalas teriakanku. Sehingga tiba-tiba aku berpikir bahwa cahaya itu bukanlah cahaya dan sebuah langkah kaki dari manusia.
“Itu pasti banaspati, itu pasti makhluk lainnya yang mewujudkan dirinya menjadi banaspati. ”
“Kalau dia mendekat aku pasti tidak akan selamat. ”
Aku langsung berpikir tentang banaspati. Salah satu makhluk dengan cahaya api yang menyala dan terbang mengelilingi hutan yang gelap itu untuk mencari mangsa.
Banaspati salah satu makhluk yang sering kali dihindari oleh manusia ketika bertemu dengannya di dalam hutan.
Karena banaspati bisa membawa penyakit ataupun membawa benda-benda santet yang bisa mencelakakan manusia yang menjadi targetnya.
***
Dengan napas yang terengah-engah dan tenaga yang hampir habis, aku kini berusaha menjauh dari titik cahaya tersebut.
Meskipun suara langkah kakinya terdengar, namun aku yakin bahwa itu adalah manipulasi banaspati agar menyangka bahwa apa yang mendekatiku adalah manusia. Dan ketika banaspati itu mendekat, dia akan langsung mengeluarkan penyakit dan santet kepadaku, sehingga aku terserang penyakit yang mungkin akan susah untuk disembuhkan.
Aku berusaha untuk menjauh. Namun, kaki dan tubuhku tampaknya sudah mencapai batasnya. Aku sudah sangat capek dan sudah tidak mampu lagi untuk berlari.
Arggggghhh
Aku sengaja menyeret kakiku agar aku bisa menjauh dari cahaya yang kini terlihat semakin mendekat kepadaku pada saat itu. Aku berusaha meraba batu besar itu dan berusaha untuk melangkahkan kakiku, meskipun kini langkah kakiku terasa lebih berat.
Aku berusaha untuk bersembunyi dibalik batu besar itu, karena aku sudah tidak sanggup lagi untuk berlari dengan rasa letih dan luka yang ada di sekitar tubuhku. Juga, rasa kantuk yang kini mulai menyerang tubuhku karena malam semakin larut.
Untung saja, di belakang batu tersebut ada sebuah celah kecil yang seukuranku, aku dengan susah payah mencoba untuk masuk ke dalam celah kecil itu meskipun harus merangkak mundur agar masuk kedalamnya. Dan berharap, banaspati itu tidak akan menemukanku.
Di tengah-tengah kepanikan, aku kini melepas bajuku. Meskipun hawa dingin semakin terasa menusuk kulit ketika aku melepas baju, namun aku sengaja melepasnya untuk menutupi celah kecil itu dengan bajuku agar aku tidak ditemukan oleh banaspati itu.
Dengan tubuh yang menggigil akibat hawa hutan yang dingin ketika malam tiba, aku menunggu dan menunggu di dalam celah kecil hingga aku merasa bahwa aku sudah aman.
Mungkin sekitar dua puluh menit aku menunggu di dalam sana. Dan berharap, banaspati itu sudah melewatiku dan terbang entah ke mana.
Aku akhirnya keluar secara perlahan-lahan setelah aku rasa aman, baju yang aku pakai untuk menutup di celah kecil itu, aku pakaian kembali ke tubuhku yang kini mengigil kedinginan akibat angin malam yang semakin menusuk kulit. Dan secara perlahan mengeluarkan kepalaku sambil melihat ke sekeliling di belakang batu tersebut.
“Sepertinya sudah aman. ” Pikirku.
Secara perlahan aku akhirnya merangkak dan keluar dari celah kecil itu. Namun aku masih tetap waspada, karena mungkin saja banaspati itu kembali muncul di suatu tempat di hutan ini.
Dan benar saja,
“Nuju naon Cu? (Lagi apa Cu? )”
Sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang ketika aku sedang berdiri di belakang dan menghadap ke arah batu besar tersebut.
Aku yang tiba-tiba kaget langsung membalikan badan dan melihat salah satu sosok yang membuatku sedikit berteriak.
“Ulah sieun Cu, ieu mah Nini, tadi Nini ninggali Incu nuju lumpat di leuweung ieu, pas Nini nuju milarian suluh jang masak. (Jangan takut Cu, ini Nenek, tadi Nenek lihat Cucu sedang berlari di hutan in, ketika Nenek sedang mencari kayu bakar untuk masak. )”
“Ulah lumpat, da Nini mah lain makhluk anu nyingsieunan Incu. (Jangan lari, soalnya Nenek itu bukan makhluk yang nakut-nakutin Cucu. )”
Sesosok nenek tua, dengan wajah yang penuh keriput dan rambut yang tampak putih dan berantakan. Dia memakai baju kebaya berwarna putih namun sudah kotor dan berdebu, juga kain jarik berwarna hitam dan tidak memakai alas kaki sama sekali.
Rupanya, sebuah titik cahaya yang aku lihat sedang mendekatiku secara perlahan adalah obor yang dibawa oleh nenek tersebut. Dengan sedikit bungkuk, nenek itu terus-menerus berkata bahwa aku tidak boleh takut dengan dia. Karena dia bukanlah makhluk menyeramkan yang aku temui tadi.
Wajahnya penuh senyum, tidak ada wajah menyeramkan seperti makhluk yang berwujud wanita yang aku temui beberapa waktu yang lalu.
Namun, aku masih bertanya-tanya. Kenapa nenek tersebut berjalan di tengah hutan sendirian, apalagi di Gunung Sepuh yang aura mistisnya sangat kental dengan beberapa tempat yang dikeramatkan di dalamnya.
“Ieu Cu, eueut heula lahang na. Nini yakin, Incu pasti cape. (Ini Cu, minum dulu lahangnya. Nenek yakin pasti capek.)” Katanya sambil menyodorkan sebuah bambu kecil berisi air dengan ijuk yang menjadi penutup dari bambu kecil itu.
“Nuhun Ni. (Terima kasih Nek. )” Kataku sambil menerima bambu kecil itu.
Glup, glup, glup,
Sebuah cairan air gula aren yang langsung diambil dari pohonnya, langsung masuk ke dalam tenggorokan ku. Rasa segar dari minuman itu membuatku yang sedang capek dan letih sedikit terobati.
“Deudeuh teuing Incu Nini, di tengah leuweung sorangan. (Kasian sekali Cucu Nenek, di tengah hutan sendirian. )”
“Ke Ni, ari Nini teh saha? (Bentar Nek, Nenek ini siapa? )” Kataku yang tiba-tiba memotong ucapan nenek tersebut dengan penuh pertanyaan.
Nenek itu hanya mengangguk dan tersenyum, dengan tubuh yang sedikit bungkuk. Nenek tersebut hanya mengambil bambu yang sudah aku minum isinya, sambil berkata.
“Engke we ku Nini di jelaskeun di jalan nya Cu. (Nanti saja nenek jelaskan di jalan ya Cu. )”
“Urang ka tempat anu aman heula, bahaya soalna lamun lila cicing di tempat ieu. (kita ke tempat aman dulu ya, bahaya soalnya kalau lama berdiam diri di tempat ini. )”
Kata nenek tersebut sambil mengangkat tangannya untuk mengajakku ke suatu tempat di hutan ini, aku yang sudah cape dan letih serta ketakutan setengah mati akhirnya menuruti apa yang nenek itu katakan.
Seperti sedang terhiptonis, aku akhirnya mengikuti nenek tersebut dengan cahaya obor sebagai penerangnya, tanpa sekalipun mempertanyakan tentang dirinya yang berjalan sendirian di tengah hutan.
Hingga akhirnya, aku kini kembali berjalan secara perlahan di tengah hutan. Di temani dengan cahaya obor dan sesosok nenek yang tiba-tiba datang entah dari mana.
Srak srak srakSuara-suara langkah kaki kini terdengar dengan cahaya obor yang menjadi satu-satunya penerang jalan di dalam hutan tersebut, dengan yang dipenuhi oleh pepohonan dan semak-semak hutan di sisi dan kanan jalan.Semakin aku berjalan, semakin banyak daun-daun kering yang menutupi jalanan setapak itu. Karena mungkin saja, jalanan tersebut jarang sekali dilewati oleh manusia.Aku berjalan bersama seorang nenek tua yang kini berjalan pelan di depan ku, seorang nenek dengan senyumnya setiap kali dia berkata kepadaku, sehingga membuatku tidak lagi merasa ketakutan ketika dia berada di dekatku.Dengan santainya nenek tersebut berjalan di tengah-tengah hutan, tanpa ada rasa takut dengan para makhluk yang sering menampakan dirinya di hutan Gunung Sepuh ini ketika malam tiba.Aku memang sempat ragu dengannya, aku seperti tidak mempercayai nenek yang ada di depanku itu. Karena aku berpikir, bahwa dia adalah makhluk yang sama dengan apa yang a
Sebuah gubuk kecil di dekat tebing yang menjulang tinggi di tengah hutan, gubuk yang sepertinya sudah lama dibangun dan ditinggalkan oleh penghuninya, yang tak lain adalah para manusia yang melakukan perjanjian di hutan ini dan mengharuskan dirinya untuk menginap. Bekas gubuk tua tersebut akhirnya dipakai oleh nenek yang ada di depanku untuk dijadikan tempat tinggal, dia sendirian di hutan belantara, tanpa sedikitpun berinteraksi dengan para warga kampung yang mungkin saja akan membantunya apabila dia muncul dari hutan dan meminta pertolongan. “Geus ulah dipikiran Cu, keun bae, maranehna mah moal wani ngadeketan Nini, (Sudah jangan dipikirkan Cu, biarkan saja, mereka tidak akan berani mendekati Nenek, )” Kata nenek tersebut sambil naik ke depan gubuk itu dengan obor yang masih menyala di tangannya. Aku yang berhenti sejenak di depan gubuk, karena aku merasa seperti ada banyak sekali yang mengawasiku di tengah hutan, membuat nenek itu tiba-tiba berbicara dan m
Sebuah lampu minyak yang menyala terang dengan cahayanya yang kemerah-merahan membuat suasana di dalam gubuk itu terasa seperti rumah-rumah di Kampung Sepuh pada umumnya.Kini, aku terlihat sedang lahap memasukan potongan-potongan daging ke dalam mulutku. Dengan lahap aku terus-menerus memakan makanan yang disajikan oleh nenek tersebut, seorang nenek yang baik yang mengajakku untuk beristirahat dari gelapnya hutan Gunung Sepuh ketika malam tiba.Suara barang-barang yang saling beradu terdengar olehku dari ruangan belakang, sepertinya nenek tersebut sedang menyiapkan sesuatu lagi untukku. Dan di dalam hatiku, aku pasti akan kembali ketempat ini ketika sudah bisa pulang ke rumahku, dan membawa bahan makanan serta selimut hangat untuk nenek itu sebagai tanda terima kasih karena sudah menampungku pada malam ini.Makanan yang nenek itu sajikan terlihat sangatlah lezat, dengan kepulan asap kecil yang terlihat oleh lampu minyak yang ada di tengah-tengah ruangan tersebu
Hoeek Hoeeek HoeeekAku kini terus-menerus memuntahkan semua makanan yang telah aku makan, meskipun tidak semuanya keluar karena sebagian dari makanan itu tampaknya sudah sampai ke dalam perutku.Tikar yang menjadi alas dari ruangan itu kini penuh dengan muntahan-muntahan makanan yang bercampur dengan darah yang berwarna merah tua yang dikeluarkan kembali dari dalam mulutku.Ketika semua makanan yang kini tersinari oleh cahaya lampu minyak dari dekat, seakan-akan makanan dan minuman itu berubah sepenuhnya.Buah-buahan seperti apel, pir, dan pisang kini terlihat busuk, dengan banyaknya titik hitam di sekitar buah-buahan tersebut. Bahkan sebagian dari buah-buahan itu terlihat berjamur, saking lamanya buah-buahan itu tersimpan dan tidak tersentuh satu kalipun oleh manusia.Juga minuman yang aku minum kini seketika berubah, menjadi cairan darah kental yang dituangkan di dalam gelas, dan aku sudah meminum setengahnya dari gelas tersebut.“J
Keh keh keh Nenek tersebut kembali terkekeh-kekeh di depanku. Aku yang sudah mengetahui bahwa sosok di depanku ini bukanlah manusia, melainkan wujud dari salah satu makhluk yang menyerupai nenek yang sudah meninggal di dalam gubuk. Aku hanya berdiri dan terdiam karena nenek itu menghalangi jalanku, dengan tangan yang kini sedang memegang obor dan ranting-ranting pohon yang dia bawa di tangan kanannya. Dia hanya terus-menerus tertawa dan menyuruhku untuk berdiam diri di dalam gubuk. “Naha cicing Cu, ulah kaluar bahaya, mendingan cicing we didieu maturan Nini,(Kenapa diam Cu, jangan keluar bahaya, mendingan di sini aja nemenin Nenek,)” Kata sosok nenek tersebut sambil berjalan secara perlahan mendekatiku. “Gak, ini gak bener, aku harus mencari jalan lain agar bisa keluar dan menjauh dari gubuk ini, ” Pikirku. Nenek tersebut kini semakin mendekatiku, langkah kakinya berjalan sangat pelan karena mungkin ranting-ranting pohon yang dia bawa untuk di
Aku Ingat.Ada salah satu mitos, tentang salah satu hantu yang seringkali menampakan dirinya di dalam Gunung Sepuh, mitos ini berkembang di masyarakat kampung, terutama bagi orang-orang yang menggantungkan hidupnya di dalam hutan.Sesosok makhluk yang mewujudkan dirinya menjadi manusia yang ditemuinya. Dan makhluk itu seringkali menghasut para manusia yang masuk ke dalam Gunung Sepuh dan menjebak mereka di dalamnya.Jurig Korod, atau dalam bahasa indonesianya adalah Hantu Borok. Sesosok hantu yang penuh dengan benjolan-benjolan bernanah dengan belatung-belatung yang ada di sekujur tubuhnya, wujudnya tampak tidak mengerikan. Namun, sangat menjijikan untuk dilihat.Baunya yang busuk menusuk hidung, juga wajahnya yang seringkali berganti. Membuat banyak sekali manusia yang terhasut dan terjebak olehnya.Terkadang, dirinya juga bisa mewujudkan dirinya menjadi sesosok yang tampan atau cantik jelita. Dan menjerat siapa saja yang terpesona oleh waja
“Kamu diam disini, dan jangan sekalipun kamu membuka mata sebelum aku memerintahkannya. ” Kata Kodir yang kini sedang berdiri di salah satu mulut gua di hutan yang gelap itu.Dia kemudian mengeluarkan sebuah nampan kecil, yang di isi oleh segala jenis buah-buahan dan kopi hitam yang sengaja dia seduh dengan air mineral yang dia bawa. Dia juga mengeluarkan tiga buah dupa sebagai pengganti kemenyan yang dibakar dan ditancapkan di tanah.Temannya yang berada di sampingnya hanya berdiri sambil memejamkan mata dengan tubuhnya yang bergetar karena ketakutan. Dan Kodir pun kini terlihat sedang duduk, dan mengangkat kedua tangannya seperti sedang menyembah sesuatu di depan gua tersebut.Beberapa kali dia mengangkat kedua tangannya sambil menundukan kepala dan bergumam seperti sedang membacakan mantra, dan beberapa kali pula dia mengambil tiga dupa yang telah dia tancapkan dan diputar-putar hingga akhirnya di tancapkan kembali di tanah.Dupa dan sesajen, sebuah be
Sebuah pemandangan yang aku lihat ini, adalah sebuah pemandangan yang semakin membuatku yakin. Bahwa banyak manusia bodoh diluaran sana yang sengaja mengorbankan dirinya sendiri demi kekayaan dan kejayaan di gunung ini. Cerita-cerita tentang banyaknya ritual di tempat ini pun, aku kini melihatnya dengan kepala dan mataku sendiri. Dan memang itu benar adanya, selain dengan mitos-mitos yang berkembang tentang banyaknya penampakan dan para makhluk yang mendiami tempat ini setiap malamnya. Krosak, Krosak, Aku yang melihat kejadian itu secara seketika mundur secara perlahan dan tidak ingin berdiam diri lebih lama dari apa yang aku lihat. Meskipun, Rasa takut yang aku rasakan tidak sebesar tadi, ketika aku pertama kali ditinggalkan oleh bapakku sendiri ditengah hutan. Apalagi makhluk tersebut sepertinya menyadari kehadiranku yang sedang duduk di semak-semak sambil melihat para manusia yang melakukan ritual di dalam sana, sehingga mau tidak mau, aku
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men