Di mobil dalam perjalanan pulang kembali lagi ke kota, Bu Rina masih saja tak habis pikir. Berkali-kali ia menelan ludah dan menghembuskan nafas kuat-kuat. Benak wanita itu merasa gundah, memikirkan keberadaan Mia yang belum diketahui saat ini.Selama ini ia mengira, usai pergi dari rumah, Mia pasti pulang ke kampung dan hidup sulit bersama kedua orang tuanya yang miskin.Ya, itu sudah suratan nasibnya. Makanya ia ingin mengajak kembali wanita itu ke rumahnya, meski tinggal di kontrakan, tapi masih lebih layak daripada gubuk orang tuanya di desa.Sayang, saat tiba di sini, ia justru mendapatkan kenyataan yang berbanding terbalik dengan pikirannya selama ini. Mia rupanya bukan kembali ke kampung halamannya melainkan masih menetap di kota dan kemungkinan mengontrak di sana. Tapi darimana Mia mendapatkan uang untuk membayar kontrakan, itu yang terus dipertanyakan dalam benak Bu Rina."Az, kamu sama sekali nggak tahu kabar Mia? Gimana sih, dia kan masih istri kamu? Kalian kan belum resmi
Lelaki itu memang punya praduga kuat jika Rika pasti mengetahui keberadaan sahabatnya itu. Selama ini kalau ada apa-apa, Mia pasti menghubungi Rika. Jadi, gadis itu pasti tahu di mana rumah Mia saat ini."Mia? Kok nanya sama aku? Bukannya dia istri kamu? Kok nanya kabar dia sama aku? Nggak salah?" Rika pura-pura tidak tahu soal keberadaan Mia. Ia tak mau Azmi macam-macam dan melakukan hal buruk pada Mia. Pria tak punya akhlak seperti Azmi memang bisa saja berlaku sesukanya karena sudah hobinya suka mempermainkan wanita dan membuat perempuan menjadi tersiksa karenanya."Nggak usah pura-pura, Rik. Aku tahu kamu pasti tahu di mana Mia saat ini. Kami sudah berpisah selama empat bulan. Tapi ternyata ia tak pernah pulang ke kampungnya melainkan masih ada di kota ini. Jadi, siapa lagi coba yang akan membantunya dan memberinya tempat tinggal kalau bukan kamu?" tanya Azmi lagi tanpa tedeng aling-aling.Mendengar ucapan Azmi, sontak Rika merasa kaget. Sungguh ia tak tahu jika Azmi mengetahui bi
Mia baru saja selesai sarapan pagi bareng ibu, bapak dan Sindy, saat ponselnya bergetar.Ingin tahu, Mia pun segera mengecek akun media sosialnya dan menemukan notifikasi pada pesan whatsapp yang bergulir di layar. Seperti biasanya, aktivitas teman-temannya sesama penulis di WAG kepenulisan menjadi aktivitas hiburan setiap pagi dikala pikiran sedang kalut akibat ide cerita yang kadangkala mampet.Untungnya, Mia jarang mengalami writer's block, istilah lain sebagai kebuntuan dalam menulis yang menjadi momok menakutkan bagi pejuang literasi ini.Mia tersenyum cerah saat teman-teman sesama penulis mengabarkan kehebohan pagi ini, apalagi kalau bukan pembayaran bagi hasil royalti yang sudah ditransfer ke rekening masing-masing.Mia pun segera mengecek dan tersenyum gembira saat mendapati rekening tabungannya sudah terisi kembali setelah hampir kosong akibat membayar lunas rumah yang dibeli kemarin.Wanita itu sedang sibuk berbalas komentar sembari mendengar ibu dan bapak bercengkrama di r
Usai mengambil tabungan dalam rekeningnya, dengan ditemani Sindy yang selama ini memang aktivitasnya hanya bantu-bantu orang tuanya di rumah saja sembari sesekali menerima jahitan baju tetangga, mereka berdua pun menuju toko perhiasan untuk membeli logam mulia tersebut.Setelah menyepakati besarnya dan melakukan transaksi, akhirnya Mia dan Sindy pun kembali pulang ke rumah. Logam mulia yang telah ia beli ini akan ia titipkan pada ibunya untuk disimpan. Selain dipergunakan untuk mempersiapkan masa depan bayi dalam kandungannya, juga akan digunakan untuk investasi masa depan ia dan keluarganya.Mia pernah berjanji akan berusaha membahagiakan keluarganya semampunya. Setelah gagal mewujudkannya kemarin, maka mulai hari ini ia akan giat berusaha untuk mewujudkan hal itu.💗💗💗💗💗Siang ini, Mia pergi ke sebuah toko handphone yang menjual aneka telepon seluler dari berbagai merek dan tipe yang diinginkan pembeli karena hendak mengganti android yang selama ini ia pergunakan untuk menunjan
""Bu, tebak tadi aku ketemu siapa? Mbak Mia, Bu! Aku ketemu di toko handphone, lagi beli hp baru kayaknya!"Saat tiba di rumah, Mila buru-buru mencari ibunya dan menceritakan semua yang baru saja terjadi yakni mengenai pertemuannya dengan Mia barusan.Mendengar ceritanya, Bu Rina tampak kaget sekaligus antusias. Tak disangka, wanita yang mereka cari-cari beberapa hari ini ternyata masih ada di kota ini dan barusan bertemu dengan putri bungsunya itu."Masa? Beli handphone baru? Berarti beneran sudah berubah kakak iparmu itu sekarang ya? Terus kamu tanya nggak dia sekarang tinggal di mana?" tanya Bu Rina dengan penuh semangat pada anak gadisnya."Iya, Bu. Sudah berubah banget Mbak Mia sekarang. Udah cantik dan nggak kayak dulu lagi. Baju, tas sama sepatunya bagus dan bermerek. Heran ... kerja di mana Mbak Mia sekarang ya, Bu? Kok bisa berubah secepat ini?" Mila tercenung sesaat, memikir-mikir hingga lamunannya terputus saat ibunya kembali mengajukan pertanyaan."Heh, kamu tanya nggak di
Mia menatap wajah Bu Indah yang memandanginya penuh keharuan. Sudah hampir satu bulan ia pindah dari kosan Rika dan tinggal di rumah sendiri, selama itu ia tak lagi bertemu wanita paruh baya keibuan tersebut hingga sore ini akhirnya ia menyempatkan diri untuk singgah sekaligus memberikan laporan penjualan produk pakaian dan buku-buku agama yang ia pasarkan di akun media sosialnya.Dari pekerjaan ini, ia juga sudah mendapatkan hasil yang lumayan banyak hingga Bu Indah dan Yusuf pun seringkali memuji keuletannya yang telah berhasil memasarkan produk dengan sangat baik."Jadi, sekarang orang tua kamu sudah di sini? Syukurlah. Jadi kalau nanti melahirkan, ada yang bantu dan jagain kamu ya, Mi. Oh ya kapan perkiraan melahirkan ini? Kabari kalau sudah lahir ya dedeknya, biar ibu dan Yusuf bisa jenguk. Ibrahim jadi punya kawan main nanti," ucap Bu Indah sembari tertawa ramah seperti biasanya."Iya, Bu. Alhamdulillah orang tua saya sudah pindah ke sini. Berkat pekerjaan yang ibu dan Mas Yusuf
"Kamu nggak salah bicara, Mas? Sejak kapan kamu peduli pada anak dalam kandunganku? Perasaan ... jangankan peduli, ingat kalau aku sedang hamil saja tidak," ucap Mia sambil tersenyum miris pada Azmi yang terlihat berjalan mendekat.Begitu tiba di depannya, laki-laki itu membuka tangannya, hendak memeluk tubuh Mia, tapi dengan cekatan, Mia menepis. "Nggak usah peluk-peluk, Mas. Kita bukan mahram!" tolaknya dengan tegas."Bukan mahram? Sembarangan kamu bicara. Kamu itu masih istriku, sejak kapan tak lagi jadi mahramku?" sahut Azmi lagi dengan nada tidak diterima.Ia memang tak pernah merasa jika sudah menceraikan Mia. Walaupun wanita itu pergi dari rumahnya karena kehendaknya dan juga kehendak ibunya, tapi selagi surat cerai belum jatuh di tangan, status Mia masihlah tetap istri sahnya. Kapan pun ia mengajak rujuk, Mia tak berhak menolak."Kamu dan ibumu terang-terangan mengusirku pergi dari rumahmu. Bukan itu saja, kalian bahkan sudah merencanakan akan menjadikan Mizka sebagai penggant
"Azmi! Jangan kasar sama perempuan! Lepaskan tangan Mia sekarang juga atau aku akan teriak supaya kamu diusir dari sini!" ancam Rika akhirnya ikut buka suara sembari membantu Mia melepaskan cengkeraman tangan Azmi, tetapi karena tenaga Azmi sebagai laki-laki jauh lebih besar, ia pun juga tidak berdaya membantu Mia."Ada apa ini ribut-ribut? Mbak Mia? Mbak Rika? Ada apa?" Tengah Mia berontak berusaha melepaskan diri dari paksaan Azmi dibantu Rika, Yusuf tiba-tiba datang diikuti sosok Bu Indah yang melintasi halaman dengan cepat, mendekati mereka.Yusuf tampak bingung melihat keributan di depannya sementara Bu Indah refleks memeluk Mia dan histeris."Lepaskan! Jangan kasar sama perempuan, walaupun kamu suaminya, tetap tidak berhak main kekerasan, apalagi Mia sedang hamil begini!" Seru Bu Indah sembari dengan rasa panik dan kasihan berusaha membantu Mia melepaskan diri, tapi lagi-lagi gagal."Ini Mas Yusuf, tolongin Mia, dia dipaksa balikan sama suaminya padahal sudah disuruh pergi dari
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d