"Kamu nggak papa, Mbak?" tanya Yusuf sesaat setelah Azmi pergi mengendarai mobilnya dengan kasar.Yusuf memang selalu memanggilnya dengan panggilan 'mbak' untuk menghormati dirinya walaupun Yusuf tahu Mia lebih muda darinya. Dan sejauh ini, Mia tak merasa perlu meralat panggilan itu. Sementara Mia sendiri tetap memanggil Yusuf dengan panggilan 'mas' karena memang lelaki itu lebih tua darinya."Nggak papa, Mas. Makasih ya udah ditolongin," sahut Mia sembari meraba bekas cekalan tangan Azmi yang masih terasa sakit dan berbekas kemerahan.Azmi hanya mengangguk kecil sembari menatapnya prihatin. Tak disangkanya, mantan suami wanita di depannya ini ternyata pria kasar dan arogan. Syukurlah, mereka sudah berpisah, pikir Azmi dalam hati."Ngeri juga ya sikap mantan suami kamu, Mia? Kamu nggak papa? Masuk dulu yuk, kamu tenangkan diri dulu, baru pulang," ujar Bu Indah sembari merengkuh bahunya. Bu Indah memang menyukai wanita di depannya ini. Sikapnya yang sopan dan tidak enakan membuat Bu I
Mia baru saja membuka pintu rumah karena hendak menyapu teras yang merupakan rutinitasnya setiap pagi, bergantian dengan Sindy, saat sebuah taksi online tiba tiba berhenti tepat di depan halaman rumahnya.Pintu terbuka, memunculkan sesosok tubuh wanita yang tak disangka-sangka kedatangannya dan sedang berjalan pelan ke arahnya. Bu Rina!Kedua bola mata Mia serasa hendak keluar dari tempatnya saat melihat kedatangan wanita itu. Sungguh dirinya tak mengira jika mantan mertuanya itu ternyata masih benar benar ingin memperpanjang urusan dengannya.Ia pikir setelah diusir pergi dari rumah mertuanya, maka urusan dengan keluarga Bu Rina pun selesai juga. Perempuan itu bahagia karena keinginannya untuk menikahkan anaknya dengan perempuan lain tak akan sulit lagi. Dan perempuan itu tak lagi mengingat keberadaannya, yang katanya hanya menantu miskin itu. Tapi ternyata tidak. Satu keluarga mereka bahkan saat ini sepakat menginginkan agar ia kembali lagi dalam hidup seorang Azmi. Benar-benar tida
Ditanya begitu, Bu Rina tersenyum simpul."Begini, rumah ini kan rumah Mia. Mia istri anakku, jadi rumah ini otomatis juga menjadi hak Azmi. Anakku berhak mengatur siapa-siapa saja yang boleh tinggal di sini. Jadi, kalau sekiranya terlalu banyak, harus ada yang mengalah karena rencananya saya dan anak-anak juga mau tinggal di sini," sahut Bu Rina dengan enteng lalu berdiri dari tempat duduknya dan mengitari ruangan dengan gaya jumawa.Saat mata wanita itu tertumbuk pada pigura foto dinding, ia kembali membuka mulut."Mi, nanti foto adik sama ibu bapakmu yang digantung di situ, kalau ibu pindah ke sini, ganti aja sama foto ibu dan adik-adik ya, malulah kalau ketahuan orang, kamu pajang foto dengan latar belakang perkampungan gitu. Bisa-bisa tetangga kanan kiri tahu kalau kamu aslinya dari kampung, dan ....""Bu, cukup! Jangan kurang ajar di rumah ini! Maksud ibu ngatur-ngatur apa? Yang bilang rumah ini rumah Azmi siapa? Yang bilang aku mau rujuk sama anak ibu siapa? Yang mau nyuruh ibu
"Dasar mantu sialan! Berani-beraninya dia nolak anakku! Sial!" gerutu Bu Rina sembari hilir mudik di dalam ruangan tamu rumah kontrakannya dengan hati dongkol bukan main.Mila dan Sinta yang sedang asyik bermain ponsel sampai kehilangan konsentrasi dan berkali-kali menoleh bingung pada ibunya."Kenapa sih, Bu? Dari tadi kesel aja?" tanya Sinta sambil mengalihkan pandangan dari layar ponsel."Itu ... si Mia! Barusan ibu dari rumahnya. Nawarin rujuk lagi sama kakak kalian, tapi bukannya senang hati dan menerima, malah mencaci-maki ibu seenaknya. Lihat saja nanti, apa yang akan ibu lakukan untuk balas dendam. Dikira ibu bodoh? Dia bilang sedang mengajukan gugatan cerai. Kalau benar begitu, lihat saja nanti, akan ibu tuntut soal pembagian gono-gini, biar tahu rasa!” ujar Bu Rina sambil mendengkus kasar.Entah, kesal dengan siapa. Tapi yang pasti Mila dan Sinta harus kenyang mendengar omelannya pagi menjelang siang ini."Betul, Bu. Apalagi aku lihat penampilan Mbak Mia sekarang mirip orang
Namun, mendengar ucapan ibunya, Azmi hanya menghela nafas. Itu membuat Bu Rina kembali membuka mulut demi membakar semangat Azmi kembali."Kamu nggak tahu Az, kalau Mia itu ternyata sekarang hidupnya enak banget, penghasilannya banyak dari jualan online dan nulis buku. Rugi kalau kamu lepasin begitu aja. Tapi kalau memang sudah mentok, minimal kamu tetap harus bisa nuntut harta gono-gini karena bagaimanapun juga sebagai mantan suami, kamu masih punya hak atas sebagian dari harta istri. Itu ada dalam undang-undanh. Jadi, jangan mau kalah begitu aja. Dengar?" sambung Bu Rina kembali dengan suara menggebu-gebu.Mendengar ucapan ibunya kali ini Azmi tersenyum. Ya, ibunya benar. Ia memang tak boleh putus asa memperjuangkan haknya sebagai suami. Kalau Mia sudah tak mau lagi diajak rujuk, minimal ia harus bisa meminta harta gono-gini. Bukankah undang-undang memberi hak pada pasangan suami istri atas kepemilikan harta bersama tanpa melihat siapa yang mencari? Walaupun Mia membeli rumah dan m
"Mohon maaf, Yang Mulia. Klien kami menolak untuk dilakukan mediasi. Tidak ada rujuk karena selama dua tahun menjalani pernikahan, tergugat telah diperlakukan dengan sangat tidak baik dan tidak sepantasnya oleh tergugat maupun keluarganya yang mana selama menikah, penggugat dan tergugat sama-sama tinggal di kediaman orang tua tergugat.Tergugat tidak pernah mencukupi kebutuhan lahir penggugat. Penggugat juga diperlakukan layaknya pembantu yang tidak dibayar tapi diharuskan melakukan semua pekerjaan rumah tangga sendirian, di kediaman orang tua terggugat. Tergugat dan orang tua tergugat sering sekali berkata kasar, mencaci, memaki, dan menyebut miskin pada penggugat. Penggugat juga sering sekali diusir dari rumah tergugat oleh sebab tak bisa membantu keuangan ibu tergugat alias mertua penggugat.Bahkan tergugat dan ibunya tega mengusir penggugat dari rumah dalam keadaan penggugat hamil tiga bulan. Penggugat akhirnya ditolong oleh teman penggugat hingga akhirnya bisa kembali hidup norm
Saya mohon, majelis hakim yang terhormat, berilah saya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kesalahan saya. Saya berjanji ke depannya akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik bagi anak-anak saya. Saya mohon Pak Hakim, beri saya kesempatan," ujar Azmi menanggapi ucapan pengacara Mia barusan.Mendengar pembelaan diri Azmi yang begitu mengiba dan memelas itu, tak urung majelis hakim pun merasa sedikit bersimpati.Raut wajah Azmi yang terlihat begitu sedih saat mengutarakan keinginannya, itu membuat hakim merasa kasihan.Melihat hal tersebut buru buru pengacara Mia mengemukakan kembali argumennya.Gambaran wajah Mia yang begitu keras ingin berpisah karena telah trauma dengan perlakuan mertua dan suaminya itu membuat pengacara tersebut bertekad mati matian untuk membela wanita itu."Maaf yang Mulia, memang betul Tuhan maha pemaaf, maha memberi kesempatan pada hamba-Nya yang hendak memperbaiki diri. Ingin bertaubat. Tapi Tuhan tentu saja beda dengan manusia. Tuhan tidak bisa ditipu,
"Gimana, Az, hasil sidangnya? Batal cerainya?" tanya Bu Rina saat Azmi masuk ke dalam rumah usai menghadiri sidang putusan perkara cerai gugat yang diajukan Mia barusan.Tak menjawab, Azmi justru ngeloyor masuk ke dalam kamar lalu menghempaskan tubuhnya di atas spring bed dengan kasar.Lelaki itu memejamkan mata sesaat. Dadanya terasa sesak. Impian sederhananya untuk memiliki seorang istri nyatanya selalu menemui batu sandungan.Setelah mengusir Mia pergi dari rumah, ia pernah berencana menikah lagi dengan Miska, tapi ternyata gagal karena gadis itu menolak syarat yang diajukan ibunya.Dan kini, saat ia minta rujuk lagi dengan Mia, wanita itu juga menolak karena trauma akan perlakuan buruk ibunya yang selalu menghina dan menjadikan wanita itu pembantu saat masih menjadi istrinya dulu.Lalu, kalau begini terus ceritanya, kapan ia bisa menikah lagi dan mendapatkan seorang istri jika ibunya selalu ikut campur dalam rumah tangganya yang akhirnya membuat wanita yang menjadi pendamping hidu
POV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d