"Tuan, ini sudah larut malam, besok saya masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan...." Ucap Aurora berbicara sedikit ragu, selain alasan tersebut, ia tidak bisa untuk mencari alasan lain lagi yang tepat untuknya saat ini.
"Apa kau sedang mengeluh Aurora.?" Ujar Xavier dengan nada suaranya yang masih berat, dan hembusan napasnya yang masih sedikit tidak beraturan.
"Tidak tuan, bukan itu maksud saya...." Ia menjawab seraya memalingkan dan menundukan wajahnya kearah lain.
"Kau besok tidak perlu melakukan pekerjaan apapun, cukup istirahat saja dengan benar.!" Tegas Xavier kepadanya, seraya ia mengarahkan wajah wanita itu kepadanya, dengan seringai tipis diujung bibirnya.
"Tidak per--" Ucapan Aurora seketika tertahan diujung lidahnya, matanya sontak terbelalak kaget, ketika sesuatu telah menempel dibibir indahnya.
Sebuah aroma alkohol jelas terasa sangat pekat, menghembus keluar dari bibir pria tersebut, ia tidak percaya denga
"Kamu...?"Sontak mata pria itu terbelalak kaget, ia menatap wajah wanita yang tengah meringis kesakitan itu, akibat ulah jarinya sendiri yang sudah merambah kebagian sensitifnya.Wanita itu hanya terdiam seraya memalingkan wajahnya kearah lain, tanpa menjawab perkataan dari pria tersebut."Apakah ini pertama kalinya untukmu.?"Ujar pria itu sontak bertanya, selama ini ia selalu mengira, kalau wanita yang saat ini berada dikediamannya hanya berpura-pura polos saja, namun saat ini ia tidak menyangka, bahwa wanita ini benar-benar masih perawan, ia sedikit merasa bersalah kepadanya, paktanya masih ada seorang nona muda yang berasal dari keluarga kaya, meski sekarang keluarganya telah diambang kehancuran, ia masih mampu menjaga kesuciannya, walau selama ini ia telah menjalin hubungan asmara dengan kekasihnya cukup lama."Ya, ini akan menjadi pengalaman pertama saya, tolong lebih lembut sedikit...!" Sahutnya yang masih sedikit meringis
Melihat kelakuannya Aurora yang tengah dilanda rasa malu, Xavier hanya tersenyum tipis dan menyeringai, lalu ia meninggalkan kamarnya tersebut, pergi kedapur untuk mengambilkan Aurora minum.Ia sengaja membuatkannya sebuah susu hangat, agar wanita itu sedikit kembali memiliki tenaga, dan supaya tidak masuk angin, bagaimanapun juga, wanita itu telah mandi keringat dengan waktu yang cukup lama, akibat kebuasannya."Tuan, apa ada yang bisa saya bantu.?"Ujar seseorang bertanya dari arah belakang, ketika ia melihat atasannya tengah sibuk menyeduh susu panas, dengan setengah tubuh atasnya yang tanpa berpakaian, dia adalah tidak lain asisten pribadinya sendiri."Tidak perlu, biar aku saja."Sahutnya menjawab dengan lantang, dan ekspresi wajahnya yang terlihat tengah bahagia, asistennya sesaat hanya mengerutkan dahinya bingung, dengan sedikit perubahan sikap dari atasaanya, yang selama ini selalu terlihat suram setiap saat.
"Tidurlah! Ini sudah sangat larut," ujar Xavier seraya mengambil gelas susu yang telah kosong. "Saya akan kembali kekamar saya." Sahutnya mencoba bangkit dari tempat tidur tersebut dengan sedikit kesusahan. "Memangnya kau masih bisa berjalan?" Sindiran keras Xavier tepat menusuk kedalam jantungnya, dengan ekspresi puas dan bangga yang terlihat dari wajah tampannya. Untuk seorang wanita yang baru pertama kali melakukan hal tersebut, pastinya ia tahu dengan sangat jelas, wanita pada umumnya akan merasakan sakit dan juga perih dibagian intinya, apalagi ia sadar, miliknya cukup lumayan kuat dan juga sangat kokoh, sedangkan inti wanita itu begitu sempit dan sangat seret, bagaimana mungkin ia tidak begitu merasa sakit yang luar biasa. Aurora hanya bisa terdiam dan mengurungkan niatnya, ia memang sangat lemas dan kesulitan untuk berjalan, seluruh tubuhnya terasa seperti terasa habis dicabik-cabik binatang buas. Ia kembali meringkuk diatas kasu, seraya men
Xavier segera bergegas kembali kepanthos miliknya, jelas ia merasakan kekhawatiran, bagaimana tidak, wanita itu masih meringis kesakitan walau dalam keadaan tidurnya, seandainya ia tidak ada rapat penting pada pagi itu, mungkin ia bisa menemaninya, dan sedikit meluangkan waktu untuk menjaga wanita tersebut. Tanggung jawab besar kepada perusahaannya, tidak bisa ia abaikan begitu saja, hanya karena sebuah rasa kasihannya terhadap seorang wanita yang telah ia tiduri. Ia pergi dari ruangan rapatnya dengan tergesa-gesa, meninggalkan Lucas dan sekretarisnya, untuk menyelesaikan kekacauan yang ada diruangan rapat. Melaju sangat kencang dengan mengendarai mobil miliknya, membelah luasnya jalan, yang saat itu tidak terlalu ramai dengan laju kendaraan lain. Diperjalanan, ia segera menghubungi seorang dokter pribadinya, yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, supaya dokter itu bisa secepatnya tiba kepenthos miliknya untuk memeriksa keadaan wanita itu. .....................
Xavier hanya bisa terdiam seraya mengerutkan dahi, ia menatap Aurora dengan tatapan tidak percaya, bagaimana bisa wanita ini memasang ekspresi kesal, dan enggan, ketika ia melihat dirinya, sementara dia rela meninggalkan kesibukannya, hanya karena menghawatirkan wanita ini. "Aurora, istirahatlah dengan baik, jangan terlalu berani!" Tegas Xavier. Seketika Xavier berlalu pergi, meninggalkan kamar tersebut dengan ekspresi kesal yang tergambar jelas di wajahnya. Aurora hanya bisa menunduk pasrah, ia tahu dengan sangat jelas, apa yang dimaksud ucapan Xavier terhadap dirinya. "Nona, sebaiknya anda istirahat dengan baik, saya pamit terlebih dahulu." Dokter itu hanya bisa menghela napas panjang, seraya meninggalkan kamar tersebut. Disebuah ruangan pribadi milik sahabatnya, ia mengetuk pintu secara perlahan, ketika ia mendapati Xavier dengan wajah yang sangat masam, ia sedikit terkekeh tak percaya. "Hei, apakah kau sedang kesal, ayol
Xavier dengan raut wajah yang muram, ia kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Berkali-kali ia memijat dahinya, ia masih tidak habis pikir, apakah dirinya semenakutkan itu, apakah ia begitu jelek, hingga wanita itu tidak pernah menunjukan ekspresi kagum sedikitpun. "Temani aku minum malam ini!" Xavier berbicara di telepon kepada sahabatnya dengan nada dingin dan kesal. "Hei, kenapa lagi dengan nada bicara kamu itu?" sahut Nico sedikit bingung menatap ponsel miliknya. Tanpa menghiraukan pertanyaan sahabatnya, Xavier langsung memutus panggilan teleponnya, Nico hanya bisa berdecik sedikit kesal. "Cih, orang gila itu, selalu saja menghancurkan rencana siang dan malamku yang indah." Nico yang bermaksud untuk pergi berkencan, ia terpaksa harus membatalkan rencananya sendiri, dan menemani sahabatnya, yang saat ini seperti tengah kesal dengan kehidupan pribadinya. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" Xavier menat
Aurora yang merasa sudah merasa baikan akan kondisi dirinya, ia menyadari bahwa waktu sudah sangat larut, bahkan sebentar lagi akan menjelang pagi, namun Xavier belum juga kembali, tidak mungkin terjadi sesuatu bukan."Kemana pria itu, kenapa belum juga kembali?" gumamnya seraya ia memandangi jendela, melihat dan menunggu kedatangan mobil milik Xavier. Seharian beristirahat, membuat matanya terjaga dikala malam hari. Tanpa sadar ia mulai terbiasa, menunggu kepulangan pria itu dan menyambutnya. Aurora berjalan keluar dari kamarnya, ia melangkah menyusuri anak tangga."Nona, kenapa anda belum tidur?" Pak Nan yang juga masih menunggu kepulangan Xavier, ia merasa sedikit cemas, berkali-kali ia mondar-mandir dari lantai atas ke lantai bawah, begitupun sebaliknya. Pak Nan telah menghubungi Lucas, namun Xavier mengatakan bahwa ia ada urusan pribadi, dan tidak ingin dibuntuti siapapun. "Emm... itu. Pak, apakah tuan belum kembali?" tanya Aurora memberanikan diri
Merasa sedikit canggung dan penuh tanya dengan kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Xavier, Nico yang saat ini tengah terbaring di kursi, tepat di sampingnya Xavier. Ia mencoba bangkit seraya memijat dahi dan juga kepalanya. Seolah-olah ia merasakan pusing yang sangat hebat. Pandangannya berpura-pura seperti terlihat kabur. "Uh ... kepalaku sakit sekali." Nico menyandarkan tubuhnya diatas sofa, memijat ujung pundaknya seraya menyipitkan sebelah mata. Memandang kedepan, berpura-pura memastikan siapa yang saat ini berada di ruangan tersebut."Pak Nan, apakah itu kamu?" ujarnya bertanya seperti orang linglung. "Ya, ini saya. Tuan muda Nico ini pereda mabuk, silahkan!" sahut pak Nan menjawab, seraya menyodorkan minuman perdeda mabuk. "Dasar tukang akting." ujar Pak Nan, di dalam hatinya. Tanpa merubah ekspresinya sedikitpun. Nico yang sudah mengenal sikap dan sifat Pak Nan, ia hanya tersenyum licik di ujung bibirnya, seraya menerima minuman yang di berikan lelaki