POV. Aksa"Sekarang Mama mau tanya. Kamu jawab yang jujur. Sudah sejauh mana, hubungan perselingkuhan kamu dengan perempuan sialan itu. Kalian pernah berhubungan badan?"Tidak kusangka, Mama memberikan pertanyaan hingga sejauh dan sedetail itu. Aku tersudut dalam dilema.Jika kujawab iya, bisa jadi spatula panas yang sedang ada di tangan mamaku itu, akan beralih, mendarat di wajahku.Mungkin sebaiknya aku bilang 'tidak' saja, agar keadaan tidak bertambah runyam. Yang penting, dalam hatiku aku sudah berniat untuk bertobat. Bertobat yang sebenarnya-benarnya. Tidak akan lagi mengulangi dosa yang begitu besar itu."Tidak, Ma, aku belum pernah berbuat seperti itu. Aku bersama Bunga, hanya sering menghabiskan waktu untuk sekedar makan atau jalan-jalan, atau belanja. Kalau enggak, ya ke salon kecantikan. Hanya itu saja," jawabku.Aku sama sekali tidak berani menatap wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkan aku ke dunia itu.Aku pura-pura menunduk. Pura-pura menggaruk kakiku yang tad
POV. Aksa "Luna, Mama sudah masak. Kalian makanlah ...."Mama yang sedari tadi hanya terdiam menyimak obrolan, kini telah bersuara."Terimakasih, Ma. Saya minta maaf, sudah merepotkan," jawab Luna."Tidak ada yang merasa direpotkan. Mama sayang, sama kalian. Justru Mama yang seharusnya meminta maaf, karena Mama sudah gagal mendidik Aksa."Kini Mama berbicara tanpa melihat kami. Dia pura-pura sibuk memindahkan sayur itu ke mangkuk. Padahal aku tahu, ada genangan bening di pelupuk matanya.Mungkinkah Mama menangis, karena mendengar perkataan menantu kesayangannya itu?*****Tiga hari ini, aku sudah mulai berjalan menggunakan kruk. Aku tidak lagi menggunakan kursi roda.Luna bisa ke butik dengan lebih tenang, karena keadaanku yang sudah jauh lebih baik.Berkali-kali Bunga berusaha menelponku, namun hanya aku abaikan begitu saja. Tidak pernah aku angkat. Bahkan akhir-akhir ini aku sengaja sering mengunggah status tentang betapa besarnya cintaku kepada Luna. Aku berharap, Bunga akan menge
"Pak Aksa, sudah mulai bekerja?"Tiba-tiba saja, aku dikagetkan dengan adanya suara perempuan. Suara itu, sepertinya aku pernah mendengarnya. Ya, itu adalah suara Bunga, mantan pacar suamiku.Dia berjalan mendekati suamiku. Dua karyawan yang lainnya, terlihat saling berbisik, saat melihat kami. Entah apa yang mereka bicarakan. Bisa jadi, mereka sedang membicarakan tentang perselingkuhan suamiku. Siapa tahu saja, saat di kantor, mereka sering lepas kendali.Suamiku memasang wajah cuek dan datar. Dia tidak menanggapi pertanyaan dari perempuan yang memakai pakaian kurang bahan itu.Dengan begitu percaya diri, Bunga berjalan di belakang, mengikuti langkah kami. Mas Aksa justru semakin mengeratkan pelukannya, kepadaku. Padahal tadi saat di luar, dia tidak memelukku seerat ini. Bahkan saat di rumah, dia sudah bisa berjalan sendiri, meskipun harus sebentar sebentar berhenti. Kenapa sekarang mendadak seperti orang lebai? Apakah dia sedang ingin memanasi perempuan itu? Ataukah dia sedang ingin
"Katakan, apa salahku?" Bunga masih mendesak Mas Aksa."Bukan hanya kamu yang salah. Aku pun salah karena telah termakan bujuk rayumu. Makanya, mulai sekarang, aku sedang ingin memperbaiki diri. Aku sudah memutuskan untuk mempertahankan rumah tanggaku. Anggap saja, kita tidak pernah saling bertemu," jawab suamiku."Tapi aku mencintaimu." Perempuan itu berbicara dengan begitu menghiba.Kulihat di sekelilingku. Masih sepi. Namun pastilah ada banyak cctv yang terpasang. Aku tidak boleh emosi. Namun jujur, perempuan itu memang berhasil menaikkan tensi darahku, sepagi ini. Siapa yang tidak emosi, melihat suami dirayu perempuan lain, di depan mata sendiri.Apalagi melihat penampilannya. Rok di atas lutut, blus yang ketat, yang menampakkan pepayanya yang memb*sung."Hai, kamu. Nggak malu, kamu? Pakai pakaian seperti itu? Kasihan tuh, pepaya kamu. Kalau bisa ngomong, dia pasti bakalan demo. Dia bakalan menjerit, karena baju kamu terlalu sempit. Kamu nggak sesak nafas, pakai baju seperti itu?
[Maaf, jika aku mengganggu. Aku cuma mau bilang cinta.]Hanya itu saja pesan yang dia kirimkan. Setelah itu, terlihat dia sudah tidak online lagi. Terbersit sedikit penyesalan dalam hatiku. Namun biarlah. Kekecewaannya karena telponnya yang kuabaikan, tidaklah seberapa, jika dibandingkan dengan luka hati yang kurasakan.Sorenya, saat jam pulang kantor, aku pun menjemput Mas Aksa ke kantornya.Sebelumnya, aku terlebih dahulu melapor kepada resepsionis yang ada. Karena saat ini aku datang sendirian. Tidak bersama suamiku."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Resepsionis itu menyapa dengan begitu ramah."Mohon maaf, Mbak. Saya istrinya Pak Aksa. Berhubung Pak Aksa baru saja mengalami kecelakaan, dan belum bisa berjalan sendiri, maka beliau meminta saya, untuk menjemputnya hingga ke ruang kerjanya," jawabku sopan."Bisa menunjukkan kartu identitas, Bu?" tanya dia. Masih dengan raut wajah yang sangat ramah.Aku pun mengeluarkan kartu pipih berwarna biru. Resepsionis itu melihatnya, dan merekam
POV. AksaAku sengaja memilih jalur kanan, agar tidak melewati ruang kerjanya Bunga. Sebisa mungkin, aku akan menghindarinya. Tidak ingin mencari penyakit. Aku tidak ingin lagi dekat-dekat dengannya.Namun sayang. Meskipun sudah berusaha menghindar, perempuan itu tetap saja bisa menemukanku. Mungkin dia memang sengaja mencariku. Apalagi dengan kondisi kakiku yang belum pulih sempurna. Jalanku pun lambat. Aku tidak bisa menghindar, saat Bunga berbicara tentang banyak hal."Tapi bagaimana jika aku hamil? Waktu itu kamu tidak memakai pengaman. Bahkan waktu itu kamu sempat meminta tambah. Kamu bilang enak. Kita main sampai beberapa ronde. Padahal waktu itu, aku juga sedang ada di masa subur ...."Aku terkejut. Aku ternganga mendengar kalimat yang keluar dari perempuan yang telah bergelar sebagai mantan pacarku itu.Bagaimana mungkin, dia bicara dengan mengada-ada seperti itu? Jika tentang tidak memakai pengaman, memang iya. Karena sebelumnya aku memang tidak pernah punya niat untuk melak
POV. AksaPapa memegang lengan Luna, membantu Luna berdiri. Diajaknya menantunya itu.keluar dari gedung perkantoran ini.Aku berusaha menyeimbangkan langkah kakiku, agar tidak tertinggal jauh dari mereka. Papa sepertinya sengaja berjalan lebih cepat, agar aku tertinggal.Papa memasukkan Luna ke dalam mobilku. Didudukkan tubuh Luna di jok belakang. Aku ikut masuk ke dalam mobil, meskipun Papa tidak mengajakku. Aku duduk di samping istriku.Kulihat Bunga menatapku dari kejauhan. Aku pun segera menutup pintu mobil ini, agar mantan pacarku itu, tidak lebih lama dalam melihatku.Seperti yang sudah kuduga, Papa mengalah, duduk di belakang kemudi. Kemudian menjalankan roda empat ini, membelah jalanan.Di sepanjang jalan, Papa sama sekali tidak berbicara. Luna pun juga. Dia hanya diam, memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela. Dengan tatapan kosong. Hanya saja, sekarang air matanya sudah mengering.Aku berusaha meraih tangan istriku, untuk kugenggam. Dia tidak menolak. Namun juga tidak m
POV. AksaBisa jadi, mungkin tadi Luna sempat memergoki mereka yang entah sedang melakukan apa. Atau bisa jadi, Luna mendengar obrolan rahasia mereka. Sehingga membuat Luna menjadi begitu terluka seperti ini.""Aku juga heran dengan Aksa. Luna itu terlihat seperti apa. Bekas pacarnya itu terlihat seperti apa. Bisa-bisanya dia berselingkuh dengan perempuan itu. Di mana-mana yang namanya selingkuh itu seharusnya mencari yang lebih baik dari yang ada di rumah. Bukan malah mencari yang di bawahnya. Heran saja. Dulu juga disekolahkan, katanya pintar. Selalu mendapat juara. Mendapat gelar cumlaude, dengan ip tertinggi. Tapi kenapa begitu menghadapi hidup yang sesungguhnya, dia itu sangatlah b*doh!"Berkali-kali, Papa mengataiku dengan kata-kata b*doh. Kata-kata yang dulu hampir tidak pernah beliau ucapkan. Aku tidak menyangkal. Meskipun sebenarnya aku sangat tidak suka mendengar kata-kata itu. Aku cukup tahu diri. Aku memang b*doh. Seperti yang mereka katakan."Dia tidak pernah berfikir ten