"Kata mereka kita tersesat jauh. Malah mereka bilang ini memang bukan jalan ke arah alamat ini, Mas Delon."
Deg!
Mereka berdua terdiam. Lalu bersamaan menoleh ke arah Raisa, yang terlihat sangat tenang.
"Kenapa ... Mas? Kok pada lihatin aku?"
"Apa kamu yang ngacak maps ini, Sa?" Delon menoleh ke belakang, tepat pada Raisa.
"E-enggak. Bukan aku! Lagian kan aku yang paling akhir masuk mobil. Jahat banget nih kalian, nuduh aku!"
"Maaf Mbak Raisa, bukan menuduh. Maafkan kami sekali lagi. Ayo Mas Delon kita mutar aja."
Hamaz menengahi perdebatan mereka. Dari raut wajah Raisa sangat terlihat dia sedang kesal.
"Maafin aku, Sa."
Namun Raisa membuang muka. Dia masih kesal pada Delon.
"Jahat sekali sih Mas Delon nuduh aku."
"Iya, maaf."
Mobil mereka berputar balik menuju arah jalan raya. Lalu berbelok kanan.
"Benar ini Mas Hamaz jalannya?"
"Kita harus tanya lagi Mas Delon."
"Baik, Mas. Di
"Kami dari Malang, Bu. Saya Delon, Ini Hamaz dan ini Raisa. Ada sesuatu hal yang sangat penting ingin kami bicarakan dengan keluarga Pak Sunandar.""Kalau urusan kalian berhubungan dengan Bu Sapto. Sebaiknya kalian pergi sekarang!"Mendnegar ketusnya wanita itu bicara. Buru-buru Raisa menghampirinya. Dia mencoba untuk menjelaskan kedatangan mereka. Namun yang ada wanita itu malah berteriak histeris mengusir mereka."Kalian pergi semuanya! Kalian bisa membawa sial ke rumah ini!""Sabar, Mbak. Sabar biar kami jelaskan dulu!" ujar Hamaz.Lelaki muda berwajah teduh itu berusaha untuk menenangkan. Dia berusaha ikut menjelaskan apa yang tadi sudah Raisa katakan terlebih dahulu."Ibu sebaiknya dengerkan kami dulu. Barang lima menit saja," lanjut Hamaz.Wanita itu langsung terdiam. Dengan sorot mata yang tajam dan mengarah bergantian pada mereka. Pada akhirnya wanita itu pun menyuruh mereka duduk pada kursi kayu yang berada di teras."
Saat mereka sedang serius berbicara. Tiba-tiba, terdengar suara kaca yang pecah dan sesuatu seperti terbanting ke lantai. Pyaaaaaarrrr! "Suara apa itu?" Serempak mereka bertanya. Nina langsung menoleh ke arah kamar belakang. "Sebentar ya!" Dia berlari kecil. Dan, "Maaaas ...!" Sontak Delon, Raisa di susul Hamaz berlari menuju kamar belakang. Mereka melihat sosok lelaki yang kurus kering itu sudah terjatuh di lantai. Dengan pecahan kaca yang berada dalam genggaman tangannya. "Mas, lepaskan kaca itu!" teriak Nina. Raisa yang berdiri diambang pintu, mengamati semua isi kamar. Termasuk lemari kaca yang hancur oleh tangan Pak Sunandar. Pecahannya berserakan di lantai. Beberapa pecahannya mengenai tangan dan wajah Pak Sunandar. "Mas, kok kamu bisa begini sih?" Delon dan Hamaz segera menyuruh Nina untuk sedikit menjauh. "Biar kita angkat Bapak dulu ke atas kasur, Bu," ujar Delon. "Ohhh, iya Mas. Makasih
Sebelah tangan Sunandar bergerak ke atas. Membuat tubuh Hamaz ikut terangkat perlahan. Melihat hal itu, Raisa berusaha untuk membantunya."Mas Hamaaaz ...!"Tanpa rasa takut. Raisa langsung menendang tubuh lelaki itu. Membuat sang istri berteriak kencang."Siapa kamu? Keluar dari badan lelaki ini!" teriak Raisa.Tetap saja Sunandar tak menghiraukan teriakan Raisa yang begitu kencang. Bahkan tendangan Raisa tak membuahkan hasil. Dia tetap kokoh berdiri tegak di atas kedua kakinya.Hamaz yang merasa tercekik. Berusaha mengucapkan doa dalam hati. Begitu juga dengan Raisa dan Nina istri Sunandar.Melihat keadaan yang semakin genting. Apalagi raut wajah Hamaz yang memerah seperti kesulitan bernapas. Membuat Raisa kembali menendang kedua kaki Sunandar. Beberapa kali. Sontak lelaki itu akhirnya terpancing.Tanpa melepas Hamaz. Dia berjalan terseok mendekati Raisa. Tiba-tiba Sunandar berteriak kencang. Seperti kesakitan di bagian tangan
Mereka bertiga pun terlihat sangat tegang. Dan sedikit membungkuk mendengarkan suara Sunandar yang lemah."Dia ... Ibu aku sendiri, Mas!""Bu ... Bu Sapto?" sahut Raisa terhenyak.Lelaki itu mengangguk pelan."Apa Bapak juga tahu yang dilakukan Bu Sapto?""Tau, Mbak. Pesugihan itu 'kan?""Iya, Pak.""Lalu kalian ke sini ini mau apa?"Hamaz berjalan mendekati Sunandar."Bapak, sebenarnya kami ke sini ingin mencari alamat Bu Yumna. Yang dulu ikut di rumah Kakek Pak Sunandar.""Mbok Yum?" desisnya lirih."Kira-kira apa beliau masih hidup, Pak?" tanya Hamaz."Aku sudah lama enggak dengar kabarnya lagi, Mas. Dulu datang sekali karena ingin kasih peringatan sama aku aja."Mendapatkan jawaban itu Hamaz menoleh pada Raisa."Kalau gitu kami boleh minta alamatnya?" lanjut Hamaz.Dia menunjuk pada arah lemari. "Bu, tolong ambilkan buku di dalam situ. Ada tulisan alamat Mbok Yum."Bel
Hamaz tak meladeni setiap ucapannya. Dia terus membaca ayat-ayat suci Alquran dalam hati hingga kini terdengar samar."Aaaarghhh! Sakit ... sakit!""Keluar dari tubuh orang ini!""Tidak mau!""Kenapa? Atau kau berniat menantang?" tanya Hamaz mulai habis kesabarannya."Dia yang menyuruhku untuk menyakiti lelaki ini. Karena dia telah ingkar!""Ingkar soal perjanjian pesugihan itu?!" Raisa merasa geram."Erghmmm!" Lelaki itu mengalihkan pandangannya pada Raisa. Sangat terlihat jelas dia sangat marah pada gadis itu.Namun Hamaz sudah bertindak lebih cepat. Dia kembali menekan tumit Sunandar dengan kencang. Lalu tangan yang sebelah seperti menarik sesuatu dengan tenaga kuat.Sontak membuat kedua mata Sunandar melotot. Sampai urat di lehernya mengejang. Begitu juga urat di wajah. Berulang kali teriakannya terdengar kencang."Sakiiit ... sakiit!" Sunandar berusaha untuk terus berontak.Kedua tangan, kaki dan tubuh
"Jalannya bener-bener dah." "Ihhh, cerewet kali kau Raisa," sahut Delon. "Emang bener loh Mas. Apa kalian berdua enggak lapar?" "Lapar juga, sih. Gimana Mas, apa cari makan dulu?" "Langsung aja Mas Delon. Biar enggak terlalu sore kita balik dari sini." Delon mengacungkan jempol. Tanda dia sepakat dengan pendapat Hamaz. Mobil melaju dengan kecepatan yang sedang. "Mas Hamaz, apa ada kemungkinan makhluk yang lepas tadi akan kembali lagi ke rumah Pak Sunandar?" "Insyaallah sudah enggak, Mbak Raisa. Asalkan satu. Ibadahnya jangan sampai lengah." Raisa terlihat manggut-manggut. Hingga mobil berhenti di mulut sebuah gang yang cukup lebar. Kanan kirinya masih terbantang sawah dan pepohonan. "Itu ada orang, Mas Delon," ujar Hamaz menunjuk ke arah tukang tambal ban. "Biar aku yang tanya Mas!" Belum Delon mengiyakan gadis itu sudah turun dari mobil. baru beberapa langkah. Raisa kembali lagi. "Mas, man
Sontak sorot mata yang tadinya terpancar lembut. Kini terlihat garang. Dia menatap mereka satu persatu."Siapanya Sunandar kalian?""Kami bukan siapa-siapa, Pak Sunandar, Mbok." Raisa menakan nada suaranya."Lalu, untuk apa kalian mencari aku?"Raisa memandang ke arah Delon dan Hamaz."Begini, Mbok Yumna. Kami datang ke sini ada hubungannya dengan Bu Sapto."Perkataan Delon membuat wanita tua itu melotot. Lalu menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Dan memijit kepalanya, seolah apa yang baru saja dikatakan oleh Delon. Membuat beban pikirannya bertambah."Dari mana kalian tahu?""Kami membaca buku catatan dari Bu Marsinah. Yang diberi sama suami Bu Hariyani, Mbok," ujar Delon menjelaskan."Jadi, kalian dari Malang?""Iya, Mbok. Tapi, Raisa ini rumahnya bersebelahan desa sama Bu Sapto. Dan kebetulan lagi Raisa ini pemandi jenazahnya.""Ohhh, jadi kamu tau rumahnya?"Raisa mengangguk."Terus s
"Lalu, apa Bu Marsinah meninggal karena ditusuk belati?" "Aku enggak bisa bilang iya. Juga enggak bisa bhilang enggak," ucapnya lirih. Jawaban wanita itu membuat mereka bertiga saling berpandangan. "Kalimat yang aneh," bisik Raisa. Ternyata apa yang diucapkan gadis itu, terdengar oleh Mbok Yumna. "Memang aneh. Karena kematian Ibu Marsinah menurut aku sampai sekarang, enggak bisa masuk dalam akal." "Maksudnya, Mbok? Kematian yang enggak wajar?" lanjut Raisa. Wanita tua itu hanya mengangguk. "Sangat enggak wajar, Nduk." Lalu pandangannya beralih pada Raisa. "Di buku yang kalian baca sampai mana Bu Marsinah menuliskannya?" "Sampai teriakan Bu Mariyati, Mbok. Yang meluk Bu Marsinah. Lalu dia bilang, Aku akan melindungi Ibu! Sampai berulang-ulang." Tangis Mbok Yumna semakin tak terbendung lagi. Dia terus mengusap air mata, yang membasahi pipi. Kulit wajah yang penuh oleh guratan usia. Yang termakan o
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga