Raisa dan Hamaz memandang wanita itu dengan terperangah.
"Itu apa cuman Ibu yang dengar dan lihat?"
"Enggak, Mbak Raisa. Ada orang-orang tertentu yang juga lihat. Biar pun enggak semuanya bisa lihat."
"Kalau Ibu sendiri, apa yang biasanya didenger sama dilihat?"
"Kadang tuh ya. Kalau saya lagi lihat TV, orang rumah yang lain pada tidur. Saya tuh suka intip dari jendela. Maksud hati intip pintu pagar saya, apa udah ketutup. Ehhh ... yang kelihatan malah rumah seberang. Pintu rumahnya sama jendela itu kebuka lebar. Seperti ada orang di dalamnya. Trus, saya juga pernah lihat ada orang duduk di kursi teras depan. Sambil badannya itu, ayun-ayun terus."
"Macam duduk di kursi goyang, Bu?"
"Nah! Betul, Mbak Raisa. Kayak itu, tapi misal kita lagi noleh atau kedip. Kita lihat lagi udah enggak ada."
"Bukannya dulu pas saya ke sini itu. Ada pelayan Bu Sapto? Yang wanita sudah tua kalau enggak salah namanya Bu Aminah."
"Nah, orang-orang sin
"Mas Hamaz, kamu lihat seperti ada seorang wanita di dalam enggak? Di belakang jendela yang tadi kainnya tersingkap.""I-iya, Mbak. Aku juga enggak tau, siapa wanita itu. Tapi, dia kelihatan masih muda Mbak. Mungkin seumuran Mbak Raisa."Keduanya saling berpandangan dengan mata yang berserobok."Jangan bilang, Mas! Jangan ... bilang, kalau itu salah satu dari mereka!""Aku juga enggak tahu Mbak Raisa. Hanya sepintas saja. Cuman sosok itu berbeda, dari yang mengintip di samping rumah.""Berbeda? Mas Hamaz yakin?""Sangat yakin."Saat mereka masih sibuk memperhatikan rumah Bu Sapto. Ponsel Hamaz berbunyi."Dari Mas Delon, Mbak. Bentar ya."Segera Hamaz menjawab telepon Delon."Ya, Mas Delon. Ada apa?""Barusan Mbok Yumna kasih kabar lewat sms, Mas. Katanya dia mau berangkat bareng kita, untuk ke rumah Bu Sapto. Jadi aku jemput dia dulu. Ini aku sama Pak Karjo udah berangkat langsung dari kantor ke rumahny
Raisa teringat saat ke rumah Bu Sapto waktu itu. Memang benar, saat itu dia melihat Bu Aminah sedang menyapu halaman samping rumah sebelah kanan."Kok aneh ya, Pak?" gumam Raisa penuh tanya."Iya, Mbak. Memang Mbak ini orang mana?""Saya dari desa sebelah, Pak.""Jangan lama-lama duduk di sini, Mbak. Banyak hal aneh di luar akal yang berasal dari rumah itu.""Iya, Pak. Makasih."Setelah Raisa menghabiskan dua porsi bakso. Tinggallah dia sendiri duduk di pinggiran selokan seberang rumah Bu Sapto. Suasana siang ini tak terlalu terik. Terlihat mendung mulai bergelayut."Sepertinya mau hujan nih. Apa aku susul saja ya Mas Hamaz?"Raisa pun mulai beranjak dari tempat dia duduk. Saat dia mulai berjalan hendak menyusul Hamaz. Sekilas pandangan matanya melihat sosok Bu Aminah yang sudah berada di samping rumah."Bu Aminah? Dia udah ada di tempat itu?"Buru-buru Raisa menelepon Hamaz."Assalamualaikum, Mas."
Saat Hamaz hendak mengajak Raisa kembali untuk mengambil motor. Keduanya mendengar suara derap langkah seseorang berjalan di dalam rumah. Seperti sandal kayu yang diseret, beradu dengan lantai."Mas Hamaz dengar suara itu?""Iya, Mbak. Sepertinya dari dalam rumah. Apa Bu Aminah ya?""Mungkin kita harus masuk ke dalam Mas?""Sebaiknya tunggu Mas Delon dulu Mbak Raisa.""Baiklah kalau gitu. Tapi, kayak ada yang lihatin kita dari tadi Mas. Enggak tau siapa?""Abaikan Mbak Raisa! Jangan mudah terpancing. Kayaknya ada yang sengaja membuat kita ada di sini. Dengan cara memperlihatkan sosok Bu Aminah sama Mbak Raisa tadi."Raisa mulai mengusap tengkuknya berulang-ulang."Terus kita tetep nunggu Mas Delon sama Mbak Yumna, Mas?""Iya, Mbak! Kita sudah di sini jadi jangan gegabah."Bersamaan dengan itu, terdengar dering ponsel Hamaz."Hallo, iya Mas.""Motornya udah jadi, Mas.""Oke, Mas. Aku ambi
"Bu Aminah! Bu Aminah di mana?" teriak Raisa.Lalu dia tertarik melihat pecahan gelas di lantai."Pasti dapurnya enggak jauh dari sini."Dia terus berjalan menyusuri rumah besar dan luas itu. Hingga langkahnya terhenti saat berada di ruang paling belakang. Saat melihat ke sekitar ruangan itu. Dia tertuju pada sebuah ruangan, yang hanya diberi penyekat terali besi."Ini kayaknya dapur. Tapi, di mana Bu Aminah?"Saat pandangan matanya berpendar. Raisa memutuskan untuk memasuki ruangan dapur yang cukup luas. Tak ada tanda-tanda bahwa ada orang datang ke sini. Jemari tangan Raisa mengusap lembut meja dapur tempat perabotan yang penuh debu."Hemmm, banyak sarang laba-laba juga di sini. Aneh juga. Kalau benar Bu Aminah tinggal di sini dan mau buatkan aku teh hangat. Setidaknya tempat ini bersih. Mana? Tabung LPG pun kosong."Raisa masih tertegun di tempat itu. Dia terus mengamati satu persatu bagian. Membuak semua laci yang dipenuhi k
Dalam waktu yang bersamaan. Hamaz terus memanggil Raisa berulang-ulang. Sedari tadi dia tak melihat jejak Raisa sama sekali. Bahkan pintu yang menurut penglihatan Raisa tadi terbuka lebar. Menurut penglihatan Hamaz tak sama. Pintu tak pernah terbuka sama sekali. Bahkan segelas teh yang dibilang Bu Aminah berada di teras. Pun tak dilihat Hamaz."Gawat! kenapa aku merasa Mbak Raisa masuk ke rumah ini?"Tok tok tok!Di bawah guyuran hujan deras. Hamaz terus mencoba berbagai cara agar bisa membuka pintu itu."Apa benar Raisa di dalam sini ya?" bisik Hamaz gelisah. "Ini cewek kalau dibilangin bebal juga ternyata."Sangat terlihat jelas bila Hamaz kecewa dengan apa yang dilakukan Raisa saat ini. Sedangkan di dalam rumah. Raisa pun berusaha membuka pintu agar segera terbuka. Dia menarik handle dengan sangat kuat. Namun, usahanya sia-sia.Raisa tau dirinya dalam keadaan bahaya. Berada di dalam rumah, yang ada makhluk kasat mata. Dengan dendam
"Iya, Mas. Kayak Mbak Raisa itu ngomong-ngomong sendiri. Habis itu hujan tambah lebat, dia duduk di teras depan rumah. Setelah itu saya masuk. Pintu saya tutup. Lalu. Saya ngintip lagi. Tapi, Mbak Raisa udah enggak ada.""Hemmm ... aneh. Kenapa saya mikirnya Bu Aminah ini aneh ya Bu?""Saya juga gitu kok Mas. Kadang dia tampak terlihat. Kadang juga enggak. Soalnya orang sini enggak ada yang berani tanya sama wanita itu. Pada takut. Kita di sini udah enggak mau urusan lagi dengan rumah itu, Mas!"Hamaz terdiam sembari pandangan mata tak lepas dari rumah itu."Apalagi sudah dua minggu ini. Banyak yang sering dengar suara-suara yang menjerit Mas.""Dari dalam rumah itu, Bu?""Iya, Mas. Banyak yang suka dengar. Dan yang aneh lagi. Beberapa tetangga di sini itu. Ada yang rumahnya diketuk pintu atau jendelanya. Terus tau enggak Mas, siapa yang muncul?"Hamaz menggeleng."Banyak yang lihat dua gadis paling seumuran anak SM
"Ini bekas kamar Mbok Yumna?" bisik Hamaz. Seraya pandangannya terus berpendar. Ada juga nama Mariyati dan Mariana di dinding itu. Perlahan Hamaz membuka pintu lemari. Terdengar derit yang tak lirih. Membuat lelaki itu, bergerak pelan-pelan. Dia tak ingin ada yang mendengar. Walaupun rumah ini tampaknya sepi tak berpenghuni. Hamaz tahu ada makhluk yang mengendalikan rumah ini. Sosok jahat yang menjadi sumber kesalahan. Yang mengikat keluarga Mariman."Apa ini?"Hamaz mengeluarkan sesuatu yang ada di dalam lemari. Seperti sebuah bungkusan kecil yang dibungkus tas kantong plastik hitam. Buru-buru Hamaz membukanya. Sebuah kalung emas bertuliskan Mariyati. Lalu ada kertas yang diberi tulisan.*Mungkin suatu saat Mbak Yumna datang ke kamar ini lagi. Ini ada kenang-kenangan dari aku. Yang dulu ingin aku sampaikan, tapi belum sempat.Selama hidupku. Aku berharap Mbak Yumna masih hidup dan kita bisa bertemu. Ternyata aku salah. Sampai detik aku me
Hamaz melepaskan Dekapan pada tubuh Raisa. Dan menarik lengan gadis itu, agar bersembunyi di belakang dirinya."Siapa dia, Raisa? Apa Bu Aminah?""Sepertinya bukan Mas. Aku juga enggak tau.""Apa kamu yang menyalakan semua lampu?"Raisa mengangguk."Memangnya kenapa Mas?""Kalau bukan nyala itu, mungkin aku gamang kalau Mbak Raisa ada di dalam rumah ini."Saat mereka saling berbisik. Ranjang yang ada di hadapan mereka berderit pelan. Membuat Raisa terbelalak. Begitu juga dengan Hamaz. Dia pun mulai merasa aura yang kini berbeda. Tak seperti pertama tadi dia berada di dalam kamar ini."Suasananya sudah mulai aneh, Mbak. Jangan lupa berdoa!""I-iya, Mas. Ta-tapi aku lagi dapet. Gimana Mas?""Terus baca sholawat jangan henti. Serta berdizikir."Raisa pun mengikuti apa yang dikatakan Hamaz. walau sebenarnya pikiran Raisa sudah mulai kalut. Serasa penuh. Hingga dia selalu terbalik-balik saat hendak membaca doa a