"Mbak Raisa! Perhatikan Mbok Yumna untuk jangan melamun. Kalau sekiranya enggak memungkinkan. kIta harus bawa Mbok Yumna segera keluar dari tempat ini."
"Jangan!" Tiba-tiba Mbok Yumna berteriak kencang. "Aku masih ingin di sini!"
Sesaat Mbok Yumna mulai memperhatikan kamar ini, yang jauh lebih luas dan besar. Dari kamar semula dulu. Pencahayaan kamar yang sangat terang, tetap terlihat redup di matanya. Lalu dia menunjuk ke arah lampu bohlam, yang terus berkedip-kedip. Membuat penglihatannya semakin kurang jelas.
Lalu pandangan matanya bergerak memperhatikan dua buah lemari yang sangat besar. Di sisi kanan ranjang berjajar. Bau apek dan lembab mulai tercium Yumna. Hingga dia mendengar suara yang aneh. Pandangan matanya mulai berpendar. Mencari asal suara.
"Kursi goyang itu? Kenapa ada di sini?" Suaranya berbisik.
Raisa, Delon, dan Hamaz hanya diam melihat Mbok Yumna yang mulai terlihat aneh. Sambil memandang ke arah mereka. Dia mencoba u
"D-dia ... bukan Mariyati, yang satu juga bukan Mariana." Suaranya terdengar lemah. Namun membuat mereka bertiga bingung atas apa yang baru saja diucapkan Yumna."Dia siapa ini, Mbok?" tanya Raisa."Mariyati ... Mariyati!"Wanita tua itu terus memanggil namanya. Sampai akhirnya kedua mata yang tadi terpejam mulai terbuka lebar."A-aku di mana sekarang?""Mbok Yumna di kamar Mariana atau Bu Sapto."Sontak wanita itu langsung menangis tergugu. Raisa yang keheranan langsung memeluknya."Aku bersalah pada mereka. Aku salah meninggalkan mereka.""Mariyati dan Mariana?" lanjut Raisa pelan."Iya. Baru saja Mariyati menceritakan semuanya. Aku seperti melihat semua kejadian ini. Yang tak pernah aku ketahui.""Bisakah Mbok Yumna ceritakan pada kami? Sekilas saja." Raisa membujuk wanita itu agar mau bercerita."Sewaktu aku di kamar ini. Melihat banyak sosok yang berkelebatan. Aku bener-bener takut. Sampai bayangan wan
"Apa kamu lupa Mariyati? Aku sakit. Aku harus mencari obat untuk bisa melepaskan jerat tumbal Bulek kamu Naning. Apa kamu lupa?""Kamu yang lupa pada diriku! Kamu langsung pergi tanpa berpamit sama aku, Yumna. Bukannya kamu telah berjanji pada Ibu? Kamu yang membuat aku seperti ini?""Maafkan aku, Mariyati. Maafkan aku!"Lalu Yumna melepaskan kalung yang dipakainya."Lihatlah ini!"Sosok yang dipanggil Mariyati hanya diam. Dengan wajah lurus ke depan. Dia tak mengindahkan kalung itu."Kenapa kamu tak bisa menebak siapa aku dan siapa Mariana, Yumna? Kenapa? Kenapaaaa ...?""A-apa maksud kamu Mar? Aku sangat enggak paham maksud pembicaraan kamu ini. Lagian, sepertinya kamu memang sengaja membawa aku ke kamar ini 'kan?"Lalu sosok yang dipanggil Mariyati menyingkap rambutnya ke atas."Iya. Aku sengaja menarik kamu ke sini. Ke kamar ini. Biar kamu mengingat lagi janji kamu pada Ibu!"Y
"Bagaimana kalau kita tukar tempat? Biarpun di rumah Bulek sama saja. Tapi enggak akan kamu ketemu Bapak.""Lalu, kamu bagaimana di rumah itu?""Aku masih ada teman 'kan? Mbak Yumna."Tampaknya Mariyati menyetujui ajakan Mariana. Sejak itu Mariana kembali ke rumah Mariman sebagai Mariyati. Yumna langsung teringat. Saat dia mulai merasakan perbedaan sikap pada Mariyati. Dia cenderung berubah menjadi pendiam. Serta surat yang pernah dia baca.Apa yang baru saja dijelaskan oleh Yumna, membuat mereka bertiga benar-benar terperanjat."Ja-jadi, yang kembali waktu itu bukanlah Mariyati? Tapi, Mariana Mbok?" tanya Raisa dengan mata yang melotot tajam. Mengarah padanya."Benar, Nak. Makanya di waktu itu, aku sangat heran. Aku ngerasa aneh sikap Mariyati yang enggak biasanya. Dia lebih pendiam.""Waktu Mbok Yumna, bertemu Mariana? Apa yang Mbok Yumna rasakan?""Aku merasa dekat. Sangat dekat. Bahkan merasa kalau itu Mariyati."
Cukup lama Raisa meyakinkan wanita yang duduk di hadapannya."Aku merindukan kamar ini. Cuman aku juga enggak bisa melepaskan kepahitan masa lalu.""Kalau begitu Mbok Yumna, saya minta tolong. Ayo kita keluar dari sini. Kami bertiga akan cari Mariana sampai ketemu. Gimana?"Dia masih saja menggeleng. Yang awalnya begitu sulit saat diajak ke rumah menyeramkan ini. Kini, sangat sulit juga untuk mengajak Mbok Yumna untuk pulang."Bagaimana ini, Mas?" tanya Raisa mendongak ke arah mereka berdua. "Kita akan kepikiran terus kalau dia di sini terus. Bisa enggak fokus pencarian kita nanti.""Mbok Yumna, besok pagi kita akan ke sini lagi. Kita harus pulang sekarang! Sebelum malam datang," bisik Hamaz mencoba membujuk Mbok Yumna.Setelah saling membujuk rayu. Mbok Yumna bisa menerima alasan mereka. Dia pun mengangguk setuju untuk meninggalkan rumah ini."Sekarang yang perlu kita pikirkan lewat mana?""Usahakan lewat depan aja Mas Delon."
Saat melewati ruang tengah yang ada lukisan wanita. Mbok Yumna kembai berhenti tepat di depan lukisan. Pandangannya tak mengerjap sama sekali. Walau hanya sedetik."Ada apa Mbok?""Lukisan itu ... kayak hidup!"Mendengar suara Mbok Yumna yang berbisik. Membuat Raisa yang mendengarnya seketika dadanya berdebar-debar."Hi-hidup bagaimana sih Mbok?"Mbok Yumna seperti terpaku dan tak menjawab pertanyaan Raisa. Yang terus menggoyang sikunya."Apa Mbok Yumna kenal?"Dia hanya menggeleng. Sampai suara Delon mengejutkan mereka."Sa! Ayo jalan, mumpung belum masuk maghrib ini.""Ehhh ... iya, Mas." Raisa pun menarik lengan Mbok Yumna. Yang pandangannya masih belum terlepas ke arah foto itu. "Mbok Yumna, ayo!"Hingga akhirnya mereka sampai di ruang tamu."Bagaimana ini Mas Hamaz? Pintunya terkunci.""Bismillahirrohmannirrohiim ... semoga pintunya bisa terbuka," bisik Hamaz."Ka-kalau enggak
Suara Bu Aminah seperti mendesis lirih. Akan tetapi Raisa dan yang lain bisa mendengarnya. Sembari Bu Aminah menunjuk arah belakang Raisa. Dan ....Gelagat Bu Aminah membuat mereka bertiga menoleh ke belakang. Sontak ketiganya terperanjat. Saat melihat Mbok Yumna sudah tak berada di tempatnya lagi."Haaahhh! Di mana Mbok Yumna?!" teriak Raisa hampir menjerit."Sepertinya kita telah dikecoh sosok Bu Aminah itu!" lanjut Hamaz. "Coba kalian sosoknya telah menghilang.""Sialan bener! Terus kita harus bagaimana ini, Mas Hamaz?""Terpaksa rencana kita gagal. Kita harus cari Mbok Yumna. Dan langsung mencari batangan emas yang menjadi mahar mereka.""Ta-tapi, Mas Hamaz?""Kenapa Mbak Raisa?""Kita akan cari Mbok Yumna di mana?"Hamaz terdiam sejenak. "Sepertinya kita harus memasuki semua ruangan yang ada di rumah ini. Tanpa terkecuali!" tegas Hamaz. "Tapi usahakan jangan sampai berpencar.""Ba-baik, Mas."
Saat pandangan matanya berpendar. Raisa seperti melihat bayangan, yang melesat keluar. Lalu, berhenti did epan pintu kamar. Bayangan yang tak telihat jelas itu, seperti sedang mondar mandir. Membuat Raisa harus menarik napas panjang. Hamaz yang sedari tadi memperhatikan Raisa, mengernyitkan dahinya. Dia sudah menduga kalau Raisa melihat penampakan."Mbak Raisa! Mbak ... Raisa!"Raisa bagai tersentak, dan menoleh pada Hamaz. "Jangan melamun dan pikiran kosong, Mbak. Apalagi di tempat seperti ini!""I-iya, Mas. Aku tau, tapi--"Raisa menunjuk ke arah depan pintu kamar."Coba Mas Hamaz lihat sendiri! Apa aku salah lihat?"Saat Hamaz menoleh. Dia melihat sosok wanita, yang berwajah sama persis dengan yang ada dalam lukisan. "Lukisan itu, Mas Hamaz.""Iya, Mbak Raisa. Aku juga melihatnya.""Sekarang kita bagaimana, Mas? Terus Mas Hamaz ini mau sholat di mana?""Di ruang tengah. Itu ruangan sangat luas
"Allahu Akbar!" Pyaaaarrr!!! "Haaahhh!" Raisa tersentak. Dia sangat terkejut dengan apa yang dilihat dan didengar. Gadis itu benar-benar meringkuk. Raisa tak berani lagi untuk melihat suasana sekitarnya saat ini.Tak lama menunggu. Hamaz sudah mengakhiri sholatnya. Delon dan Hamaz langsung berputar ke arah Raisa yang masih tertunduk, tegang. "Mbak Raisa! Ada apa?" "Apa Mas Hamaz enggak bisa dengar?" Hamaz dan Delon saling berpandagan. "Suara apa Raisa?" "Banyak suara yang aku dengar. Aku bener-bener takut ini." Delon menghampiri Raisa. "Cobalah tenang dulu, Sa." Tanpa menoleh pada Delon. Raisa menunjuk pada lukisan itu lagi. Yang kini berceceran di lantai. "Aku lihat banyak darah di sana," bisik Raisa. Hamaz pun ikut memperhatikan pecahan kaca dan pigura yang tergeletak di lantai. 'Ternyata benar yang dikatakan Mbak Raisa. Cuman aku juga emang enggak denger apa-apa,' bat