"Apa kamu lupa Mariyati? Aku sakit. Aku harus mencari obat untuk bisa melepaskan jerat tumbal Bulek kamu Naning. Apa kamu lupa?"
"Kamu yang lupa pada diriku! Kamu langsung pergi tanpa berpamit sama aku, Yumna. Bukannya kamu telah berjanji pada Ibu? Kamu yang membuat aku seperti ini?"
"Maafkan aku, Mariyati. Maafkan aku!"
Lalu Yumna melepaskan kalung yang dipakainya.
"Lihatlah ini!"
Sosok yang dipanggil Mariyati hanya diam. Dengan wajah lurus ke depan. Dia tak mengindahkan kalung itu.
"Kenapa kamu tak bisa menebak siapa aku dan siapa Mariana, Yumna? Kenapa? Kenapaaaa ...?"
"A-apa maksud kamu Mar? Aku sangat enggak paham maksud pembicaraan kamu ini. Lagian, sepertinya kamu memang sengaja membawa aku ke kamar ini 'kan?"
Lalu sosok yang dipanggil Mariyati menyingkap rambutnya ke atas.
"Iya. Aku sengaja menarik kamu ke sini. Ke kamar ini. Biar kamu mengingat lagi janji kamu pada Ibu!"
Y
"Bagaimana kalau kita tukar tempat? Biarpun di rumah Bulek sama saja. Tapi enggak akan kamu ketemu Bapak.""Lalu, kamu bagaimana di rumah itu?""Aku masih ada teman 'kan? Mbak Yumna."Tampaknya Mariyati menyetujui ajakan Mariana. Sejak itu Mariana kembali ke rumah Mariman sebagai Mariyati. Yumna langsung teringat. Saat dia mulai merasakan perbedaan sikap pada Mariyati. Dia cenderung berubah menjadi pendiam. Serta surat yang pernah dia baca.Apa yang baru saja dijelaskan oleh Yumna, membuat mereka bertiga benar-benar terperanjat."Ja-jadi, yang kembali waktu itu bukanlah Mariyati? Tapi, Mariana Mbok?" tanya Raisa dengan mata yang melotot tajam. Mengarah padanya."Benar, Nak. Makanya di waktu itu, aku sangat heran. Aku ngerasa aneh sikap Mariyati yang enggak biasanya. Dia lebih pendiam.""Waktu Mbok Yumna, bertemu Mariana? Apa yang Mbok Yumna rasakan?""Aku merasa dekat. Sangat dekat. Bahkan merasa kalau itu Mariyati."
Cukup lama Raisa meyakinkan wanita yang duduk di hadapannya."Aku merindukan kamar ini. Cuman aku juga enggak bisa melepaskan kepahitan masa lalu.""Kalau begitu Mbok Yumna, saya minta tolong. Ayo kita keluar dari sini. Kami bertiga akan cari Mariana sampai ketemu. Gimana?"Dia masih saja menggeleng. Yang awalnya begitu sulit saat diajak ke rumah menyeramkan ini. Kini, sangat sulit juga untuk mengajak Mbok Yumna untuk pulang."Bagaimana ini, Mas?" tanya Raisa mendongak ke arah mereka berdua. "Kita akan kepikiran terus kalau dia di sini terus. Bisa enggak fokus pencarian kita nanti.""Mbok Yumna, besok pagi kita akan ke sini lagi. Kita harus pulang sekarang! Sebelum malam datang," bisik Hamaz mencoba membujuk Mbok Yumna.Setelah saling membujuk rayu. Mbok Yumna bisa menerima alasan mereka. Dia pun mengangguk setuju untuk meninggalkan rumah ini."Sekarang yang perlu kita pikirkan lewat mana?""Usahakan lewat depan aja Mas Delon."
Saat melewati ruang tengah yang ada lukisan wanita. Mbok Yumna kembai berhenti tepat di depan lukisan. Pandangannya tak mengerjap sama sekali. Walau hanya sedetik."Ada apa Mbok?""Lukisan itu ... kayak hidup!"Mendengar suara Mbok Yumna yang berbisik. Membuat Raisa yang mendengarnya seketika dadanya berdebar-debar."Hi-hidup bagaimana sih Mbok?"Mbok Yumna seperti terpaku dan tak menjawab pertanyaan Raisa. Yang terus menggoyang sikunya."Apa Mbok Yumna kenal?"Dia hanya menggeleng. Sampai suara Delon mengejutkan mereka."Sa! Ayo jalan, mumpung belum masuk maghrib ini.""Ehhh ... iya, Mas." Raisa pun menarik lengan Mbok Yumna. Yang pandangannya masih belum terlepas ke arah foto itu. "Mbok Yumna, ayo!"Hingga akhirnya mereka sampai di ruang tamu."Bagaimana ini Mas Hamaz? Pintunya terkunci.""Bismillahirrohmannirrohiim ... semoga pintunya bisa terbuka," bisik Hamaz."Ka-kalau enggak
Suara Bu Aminah seperti mendesis lirih. Akan tetapi Raisa dan yang lain bisa mendengarnya. Sembari Bu Aminah menunjuk arah belakang Raisa. Dan ....Gelagat Bu Aminah membuat mereka bertiga menoleh ke belakang. Sontak ketiganya terperanjat. Saat melihat Mbok Yumna sudah tak berada di tempatnya lagi."Haaahhh! Di mana Mbok Yumna?!" teriak Raisa hampir menjerit."Sepertinya kita telah dikecoh sosok Bu Aminah itu!" lanjut Hamaz. "Coba kalian sosoknya telah menghilang.""Sialan bener! Terus kita harus bagaimana ini, Mas Hamaz?""Terpaksa rencana kita gagal. Kita harus cari Mbok Yumna. Dan langsung mencari batangan emas yang menjadi mahar mereka.""Ta-tapi, Mas Hamaz?""Kenapa Mbak Raisa?""Kita akan cari Mbok Yumna di mana?"Hamaz terdiam sejenak. "Sepertinya kita harus memasuki semua ruangan yang ada di rumah ini. Tanpa terkecuali!" tegas Hamaz. "Tapi usahakan jangan sampai berpencar.""Ba-baik, Mas."
Saat pandangan matanya berpendar. Raisa seperti melihat bayangan, yang melesat keluar. Lalu, berhenti did epan pintu kamar. Bayangan yang tak telihat jelas itu, seperti sedang mondar mandir. Membuat Raisa harus menarik napas panjang. Hamaz yang sedari tadi memperhatikan Raisa, mengernyitkan dahinya. Dia sudah menduga kalau Raisa melihat penampakan."Mbak Raisa! Mbak ... Raisa!"Raisa bagai tersentak, dan menoleh pada Hamaz. "Jangan melamun dan pikiran kosong, Mbak. Apalagi di tempat seperti ini!""I-iya, Mas. Aku tau, tapi--"Raisa menunjuk ke arah depan pintu kamar."Coba Mas Hamaz lihat sendiri! Apa aku salah lihat?"Saat Hamaz menoleh. Dia melihat sosok wanita, yang berwajah sama persis dengan yang ada dalam lukisan. "Lukisan itu, Mas Hamaz.""Iya, Mbak Raisa. Aku juga melihatnya.""Sekarang kita bagaimana, Mas? Terus Mas Hamaz ini mau sholat di mana?""Di ruang tengah. Itu ruangan sangat luas
"Allahu Akbar!" Pyaaaarrr!!! "Haaahhh!" Raisa tersentak. Dia sangat terkejut dengan apa yang dilihat dan didengar. Gadis itu benar-benar meringkuk. Raisa tak berani lagi untuk melihat suasana sekitarnya saat ini.Tak lama menunggu. Hamaz sudah mengakhiri sholatnya. Delon dan Hamaz langsung berputar ke arah Raisa yang masih tertunduk, tegang. "Mbak Raisa! Ada apa?" "Apa Mas Hamaz enggak bisa dengar?" Hamaz dan Delon saling berpandagan. "Suara apa Raisa?" "Banyak suara yang aku dengar. Aku bener-bener takut ini." Delon menghampiri Raisa. "Cobalah tenang dulu, Sa." Tanpa menoleh pada Delon. Raisa menunjuk pada lukisan itu lagi. Yang kini berceceran di lantai. "Aku lihat banyak darah di sana," bisik Raisa. Hamaz pun ikut memperhatikan pecahan kaca dan pigura yang tergeletak di lantai. 'Ternyata benar yang dikatakan Mbak Raisa. Cuman aku juga emang enggak denger apa-apa,' bat
Hamaz langsung menuju dua lemari yang berisi toples-toples. Lalu pandangan Hamaz tertuju pada sebuah toples cukup besar. Dengan ukuran yang berbeda dari yang lain."Mas Hamaz juga tertarik dengan toples besar itu juga ya?""Iya, Mas. Kenapa dia beda sendiri? Dan ada beberapa bagian tubuh di dalamnya?" tanya Raisa memindai setiap organ tubuh yang ada di dalamnya."Ini pun seperti pakai cairan pengawet. Kalau enggak udah belatung semua," sahut Delon."Ta-tapi, Mas. Lihat lemari yang satu ini!" seru Raisa dengan suara yang tertahan di tenggorokan.Seruan Raisa membuat Hamaz dan Delon mengalihkan pandangannya ke arah lemari yang satunya."Coba Mas Delon sama Mas Hamaz ada perbedaan?""Banyak, Sa. Sepertinya toples yang ini masih belum memakai pengawet. Baunya lebih busuk dan airnya sampai keruh kayak gitu.""Iya, Mas. Dan sampai ber-ulat."Ternyata apa yang dikatakan Raisa benar. Mereka melihat beberapa toples memang a
"Li-lihat ... itu Mas!"Delon meletakkan kembali toples itu pada lemari. Mereka berdua mulai memeprhatikan perlahan."Ini kah yang kamu maksud?" Sembari menunjuk ke arah sebuah kuku dengan bentuk yang besar. Mungkin kuku jempol. "Apa ini memang benar kuku Bu Sapto, Sa?""Mungkin saja, Mas." "Gila, Sa. Aku jadinya merinding parah ini.""Sa-sama, Mas."Mereka berdua masih terfokus pada lemari yang berisi toples."Jadi, menurut kamu Bu Sapto juga ada yang menumbalkan?""Iya, Mas. Makanya dia meminta pada Mas Delon untuk melepaskan ikatannya. Iya 'kan?"Saat mereka tengah asyik berdiskusi. Dan Raisa masih menghadap lemari kaca itu. Pandangan matanya melihat selintas bayangan hitam berkelebat. Sontak Raisa menoleh ke balakang."Ada apa, Sa?""A-aku kayak lihat ada orang melintas Mas.""Di mana?""Di belakang kita ini."Tengkuk mereka berdua serasa dingin dan bulu ku