Share

Bab 5

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-05-09 21:04:00

Dari dulu, aku memang terbiasa hidup sengsara. Sebagai yatim piatu, aku sudah melewati banyak hal dan ujian. Mulai dikucilkan teman-teman karena tak bisa ikut jalan-jalan dengan mereka atau sekadar makan bakso di kantin sekolah. Sering juga dihina karena tas bertahun-tahun belum ganti juga.

Caci maki seolah menjadi makanan sehari-hari. Mereka membenciku atas kemiskinan ini. Aku seolah sudah kebal mendengar cacian mereka, karena sering hutang di warung tetangga saat kehabisan duit.

Aku juga seakan sudah mati rasa, saat para tetangga justru asyik menontonku dari halaman rumah mereka, saat aku ditagih ibu RT karena dia butuh duit untuk membayar kuliah anaknya. Iya, dia menagihku karena ternyata rumah peninggalan bapak ini memang sudah digadaikan padanya. 

Entah buat apa, aku pun tak tahu. Bahkan ibu juga sempat shock saat ibu RT membeberkan bukti gadainya. 

Sepuluh juta bukan uang yang sedikit buat kami saat itu, karena itulah ibu mencicilnya tiap bulan demi rumah ini kembali jatuh ke tangan kami. Namun hingga ibu tiada, hutang gadai itu masih tersisa tujuh juta empat ratus rupiah. 

Aku terbiasa mendapat panggilan si miskin, kere atau sejenisnya. Tak peduli, asalkan aku tak minta makan pada mereka. Pulang sekolah aku sibuk dengan jualan nasi pecel keliling, bukan aku yang memasak melainkan Mbah Painah. Aku sekadar menjualkan dengan upah di setiap bungkus yang terjual. Pulang dan habis jam lima sore itu sebuah keberuntungan, karena lebih sering sebelum isya baru habis tak bersisa. 

Saat teman-teman asyik bermain dengan gadgetnya, aku sudah sibuk di jalanan untuk mengais rejeki. Saat teman asyik menceritakan film terbaru di bioskop, aku sibuk menghitung recehan yang sering diberikan cuma-cuma Mbah Painah untukku jajan cilok, katanya. 

Begitulah hidupku yang berliku. Sungguh, yatim piatu sejak remaja itu tak mudah. Bapak pergi saat aku baru menginjak kelas lima sekolah dasar. Saat aku masih merasa belum puas mendapat pelukan dan kasih sayangnya. Sementara ibu pergi saat aku menginjak kelas dua bangku menengah pertama. Bayangkan saja bagaimana kacaunya hidupku saat itu, sedangkan sanak saudara aku tak punya. Mbah Painah lah yang sering membantu saat aku kelaparan dan benar-benar kehabisan stok makanan.

Kepergian bapak, tentu saja membuat roda ekonomi dalam keluarga kecilku berubah bahkan 180 derajat. Dulu aku memang bukan orang kaya, namun kecukupan. Bapak bekerja sebagai sopir pribadi pemilik sebuah pabrik oleh-oleh cukup ternama di kotaku, Semarang. 

Pak Hermawan, namanya. Seorang pengusaha sukses yang begitu humble, merangkul, ramah pada semua orang apalagi karyawannya sendiri. Istrinya meninggal saat melahirkan anak ketiganya. Namun dia tak memiliki keinginan untuk menikah. Fokus membesarkan ketiga anaknya biar jadi orang sukses, katanya. Mbak Sania, Mas Hengky dan Mas Davin. 

Pak Hermawan lah yang membiayai seluruh pengobatan bapak, saat dia kecelakaan dulu hingga bapak menghembuskan napas terakhirnya. Kepergian bapak otomatis membuat ibu beralih tugas menjadi tulang punggung keluarga. Dia bekerja sebagai tukang cuci setrika di tempat tetangga yang baru saja mendirikan usaha laundry-nya. 

Tiga bulan setelah kepergian bapak, kudengar Pak Hermawan juga pamit pada ibu untuk pindah ke Jerman demi mengembangkan bisnisnya. Aku tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Pak Hermawan menghilang begitu saja tanpa kabar, hingga ibu pergi bahkan sampai saat ini. 

"Arin, kamu gadis yang baik dan pintar. Bahkan di saat kamu membutuhkan uang untuk membayar hutang, kamu tak mengambil selembar pun uang yang kamu temukan," ucap Mas Feri tiba-tiba. 

Dia ... laki-laki yang kemarin kukejar untuk mengembalikan dompetnya. Dompet itu jatuh di parkiran toko, tepat saat aku akan pulang karena sudah ganti shift dengan yang lain. 

Buru-buru kususul dia menggunakan motor seorang teman, lalu memberikan dompet itu padanya, tanpa membuka apa saja isi di dalamnya. Iya, dua tahun lalu. Aku masih sangat mengingatnya karena bagiku dia adalah malaikat tak bersayap yang dikirimkanNya untukku.

Saat itu, aku baru saja mendapatkan omelan Bu RT karena belum bisa mencicil hutang rumah ini kembali. Gajiku hanya cukup untuk sebulan karena aku sakit dan tak masuk beberapa hari, otomatis gajiku terpotong karenanya.  

"Kurang berapa hutangnya?" tanya Mas Feri saat itu. 

"Tiga juta dua ratus empat puluh ribu, Mas," jawab Bu RT cepat. Dia melirik ke arahku penuh tanya.

"Biar saya lunasi, sekalian minta kwitansinya, ya, Bu," ucapnya serius.

"Tapi, Mas -- 

Bu RT tampak tersenyum bahagia mendapatkan uang itu dari laki-laki di depannya lalu gegas pamit pulang.

"Lunas, Rin. Kamu beruntung memiliki pacar sepertinya," ucap Bu RT sebelum pergi, membuat wajahku memerah seketika. 

"Terima kasih banyak atas bantuannya. Aku janji akan mencicilnya, Mas," ucapku lirih. Kuseka sudut mataku yang basah. 

"Nggak perlu, Rin. Anggap saja itu bonus buat kamu, karena aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Kamu sudah menemukan dan mengembalikan dompet kecil ini padaku. Dompet ini isinya beberapa lembar uang dan lima keping logam mulia yang akan aku titipkan ke bank, tak tahu kenapa terjatuh di parkiran. Kalau bukan kamu yang menemukan, mungkin malah hilang begitu saja. Rugi banyak aku," ucap Mas Feri sembari tersenyum.

Pertemuan pertama itu lah yang membuatku semakin dekat dengannya. Dia yang dewasa, baik dan perhatian. Dia juga sangat sopan dengan orang yang lebih tua. Tiga bulan setelahnya, dia menepati janjinya dengan datang melamar, hingga akhirnya aku benar-benar menikah dengannya. 

Mas Feri membawaku meninggalkan rumah dan kota yang penuh kenangan di Semarang menuju Jogjakarta. Tempat di mana dia ditugaskan dari kantornya. Sementara rumah peninggalan bapak dan ibu sudah aku waqafkan untuk tempat mengaji. Biar lah amal jariyah itu terus mengalir untuk bapak dan ibu di alam sana. 

"Istrimu makin hari makin kelewatan, Fer. Bikin malu keluarga apalagi suami!" Ucapan ibu yang cukup keras membuatku sedikit terlonjak. Aku terjaga dari lamunan. Ternyata aku masih duduk di lantai teras sedari tadi.

Suara televisi terdengar cukup berisik namun aku masih bisa mendengar suara ibu yang sedang menelepon seseorang, tak lain tak bukan adalah Mas Feri-- anak lelakinya. Ibu yang terbiasa menyalakan speaker saat menelepon, membuatku bisa mendengar suara Mas Feri cukup jelas meski tercampur dengan suara tivi. 

"Bikin malu gimana sih, Bu? Kenapa lagi dengan Arina? Bosan rasanya tiap hari mendapat laporan ibu begini begitu. Capek, Bu," ucap Mas Feri, sepertinya cukup kesal mendapat laporan lagi dan lagi oleh ibu. 

Ibu memang seperti itu, hampir tiap hari menelepon Mas Feri hanya untuk menjelekkanku. Entah apa maunya, kadang aku juga tak habis pikir kenapa ibu bisa sebenci itu padaku.

"Gimana nggak kesal? Ibu pulang dari warung ketoprak Bu Robiah ternyata istrimu nggak ada di rumah. Mbah Siyah bilang baru saja ke luar pakai motormu. Karena itu pula ibu minta ojek pangkalan untuk mencarinya. Kamu tahu dia di mana?" 

Mas Feri tampak gugup menjawab pertanyaan ibunya.

"Memangnya Arin di mana, Bu?" 

"Dia di warung Pak Bidin bertemu temannya," ucap ibu lagi. 

"Biar saja, Bu. Mungkin Arin suntuk di rumah terus, kasihan juga dia tak punya teman yang diajak ngobrol. Yang penting urusan rumah sudah beres, kan?" tanya Mas Feri kemudian. 

"Sudah. Tapi dia malu-maluin. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?" 

Kudengar Mas Feri beristighfar sembari menghembuskan napas panjang lalu menutup teleponnya. 

Duh, Ya Allah. Entah apalagi yang akan terjadi setelah ini. 

~

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
ketika koin habis mngkanya ini terjdi dan apa pun itu akan d pwrjuangkan ketika koin hbis
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Bab 6

    Pov : Feri 1 "Aku yatim piatu, Mas. Tak punya apa-apa, pun tak punya sanak saudara. Kamu nggak malu menikah denganku? Secara kamu berpendidikan dan mapan, sementara aku hanya lulusan sekolah menengah atas yang kerja serabutan asalkan halal," ucap perempuan sederhana itu dua tahun yang lalu, saat aku berencana untuk melamarnya tiga bulan setelah berkenalan dengannya. Sebuah perkenalan tak disengaja. Mungkin memang begitulah cara Allah menyatukan hambaNya. Tak kenal, tak disengaja bertemu dan jatuh cinta. "Kenapa ngomong begitu?" tanyaku singkat. Haruskah laki-laki yang berpendidikan dan mapan mencari istri yang selevel juga? Kupikir nggak begitu. Karena hati tak bisa dibohongi. "Beberapa teman begitu. Orang tuanya tak ada yang setuju jika anak lelakinya dekat denganku. Karena itu pula mulai detik itu aku sadar diri. Siapa lah aku? Mas juga sama. Lebih baik mundur saja, daripada nanti hatiku patah di saat aku mulai ada rasa," ucapnya polos sembari memainkan ujung sedotan di gelasn

    Last Updated : 2022-05-09
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Bab 7

    Pov : Feri 2 Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku. "Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening. "Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi. Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung. Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau. "Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku su

    Last Updated : 2022-05-09
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Bab 8

    Pov : Feri 3 "Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. "Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu

    Last Updated : 2022-05-16
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Bab 9

    Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena

    Last Updated : 2022-05-16
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Bab 10

    Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka

    Last Updated : 2022-05-16
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   11 Lidah Mertua

    Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan

    Last Updated : 2022-06-02
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   12 Mati Kutu

    Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d

    Last Updated : 2022-06-02
  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   13 Sebuah Bukti

    Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in

    Last Updated : 2022-06-06

Latest chapter

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 4

    Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 3

    Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 2

    Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 1

    ~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   67 Spesial

    Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   66 Penyesalan

    Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   65 Segenggam Hikmah

    Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   64 Pesan Darinya

    Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   63 Prediksi Dokter

    Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status