Pov : Feri 2
Aku tak tahu kenapa ibu sering kali menguping pembicaraanku dengan Arina. Tak hanya sekali namun sudah berulang kali. Mungkin karena itu pula Arina menjadi lebih tertutup dan pendiam. Sering kutanya kenapa dia semakin berubah, namun dia hanya tersenyum lalu menggeleng pelan. Senyum yang begitu dipaksakan, menurutku.
"Kamu cekcok lagi sama ibu, Rin?" tanyaku lirih saat Arin terlihat begitu pusing. Dia masih terus memijit kening.
"Kamu pusing, Rin? Atau mau pijit karena kecapekan?" sambungku lagi.
Kulihat dia hanya menggeleng pelan. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan, membuatku semakin bingung.
Berulang kali kutanyakan dia mau apa, jalan-jalan atau apa tapi tetap saja Arin hanya menggelengkan kepalanya. Tiap weekend kuajak jalan pun dia nggak mau.
"Kamu kenapa sih, Rin? Nggak pernah mau jalan-jalan atau sekadar makan di luar? Bukannya aku kasih duit sama kamu pas-pas an? Atau kamu sudah sering jajan, makanya nggak mau tiap kali kuajak ke luar?" tanyaku suatu hari karena geram. Penolakannya berulang kali membuatku semakin keheranan.
Tiap kali nanya ke ibu, jawabannya hanya satu. Sering ke luar, jajan kali. Ibu males nanya-nanya nanyi dibilang sok ngatur. Jawaban ibu makin membuatku penasaran.
"Apa benar kata ibu, kalau kamu sering ke luar rumah untuk jajan?"
Dia menoleh cepat ke arahku. Tanpa mengucap sepatah kata pun, hanya menjawab pertanyaanku dengan air matanya yang berlinang. Bahkan dia semakin memijit kening seperti kesakitan.
"Aku bingung ya, Rin. Kamu tiap ditanya selalu diam, sementara kalau nanya ke ibu jawabannya tak pernah mengenakkan. Sebenarnya apa yang terjadi diantara kalian kalau aku tinggal kerja seharian?" tanyaku sedikit emosi.
Bahu Arina terguncang karena tangis. Aku berusaha memeluk untuk menenangkannya, namun dia tepis begitu saja.
"Kamu kenapa, Arina?!" Bentakku kemudian.
Arin menatapku lekat beberapa saat lamanya lalu kembali menggelengkan kepala.
"Cerita, Rin. Kalau kamu nggak cerita mana aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiap weekend kulihat kamu dan ibu juga baik-baik saja. Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan? Apa semua yang ibu katakan itu tak benar?" tanyaku lagi.
"Kalau aku bilang tak benar, apa kamu percaya, Mas? Kamu pasti nggak percaya omonganku, kan? Kamu selalu percaya apa yang ibu katakan," ucapnya lagi. Air matanya kembali berlinang.
"Bukannya gitu, Sayang. Tapi apa ibu berbohong?"
"Apa menurutmu aku juga berbohong, Mas?" tanyanya balik membuatku semakin pusing. Menghadapi dua perempuan dalam satu rumah memang memusingkan. Aku tak bertanya lagi, membiarkan semua berjalan seperti biasanya.
Melihat Arina semakin diam pun kupikir biasa saja. Tak terlalu kuambil pusing. Yang penting aku ingin menabung yang banyak agar bisa membeli rumah. Mungkin dengan itu akan membuatnya berubah, kembali tersenyum seperti biasanya.
"Nggak usah ngontrak ya, Sayang. Uangnya bisa kita tabung full, katanya kamu pengen punya rumah sendiri, kan?" tanyaku saat itu. Dia sedikit berbinar lalu tersenyum tipis.
"Iya, Mas. Kecil pun tak apa asalkan kita pindah dari sini. Aku ingin mandiri, Mas," ucapnya dengan nada bergetar bahagia. Aku pun mengangguk saja. Bagiku, kebahagiaan dua wanita penting dalam hidupku itu adalah yang utama.
Hari bergulir, sikap dingin dan diam Arin yang kupikir akan hilang seiring berjalannya waktu, justru semakin hari semakin bertambah.
"Istrimu itu jadi bahan gunjingan tetangga karena nggak pernah ikut arisan atau sekadar kumpul-kumpul," ucap ibu dengan nada kesal.
"Mungkin capek, Bu. Arina sibuk beberes, masak dan lainnya sendirian," ucapku santai sembari mengupas kacang tanah di atas meja.
"Yang lain juga sama. Begitu juga, memangnya mereka pada sewa pembantu? Nggak kan?" Ibu tak mau kalah.
"Arina dari dulu memang tak suka ngumpul-ngumpul begitu, Bu. Lebih baik di rumah atau tidur katanya daripada keseringan ngumpul biasanya ujung-ujungnya pada ngerumpi," ucapku lagi.
"Alasan saja dia itu. Lagian akhir-akhir ini dia memang sibuk terus sepertinya. Sibuk mainan ponsel," jawab ibu lagi.
"Biarin lah, Bu. Mungkin ngobrol sama temannya atau mainan game, yang penting pekerjaan rumah selesai semua, kan?" Ibu hanya diam saja.
Selama ini ibu memang sering menjelek-jelekkan Arina, namun aku berusaha meredam emosinya. Aku juga tak ingin tensi ibu makin naik kalau aku bantah terus menerus. Meski kadang aku berpikir, Arina tak mungkin seburuk itu. Tapi untuk membantah ucapan ibu pun aku tak ada bukti apa-apa.
"Ibu minta duit dua juta aja Fer. Duit ibu habis bulan ini," ucap ibu santai.
Aku mendadak kaget. Baru tengah bulan duit ibu habis? Buat apa? Satu setengah juta bukan uang sedikit karena itu sengaja aku kasih untuk jajan ibu, sementara jatah Arina untuk mencukupi kebutuhan bulanan yang hanya satu juta saja tak pernah kurang. Dia tak pernah meminta lagi.
"Buat apa uang sebanyak itu, Bu? Tiap bulan Feri kasih satu setengah juta khusus buat jajan atau arisan ibu. Masak baru tengah bulan sudah minta lagi? Arina saja--
"Nah, kan! Arina lagi. Kamu mau bandingin ibu dengan istrimu terus-terusan, iya? Kalau nggak boleh bilang saja, nggak usah membanding-bandingkan. Ibu nggak suka," ucap ibu lagi.
"Bukan begitu, Bu. Feri hanya heran kenapa duitnya cepat habis? Buat apa?" tanyaku lagi, mencoba meredam emosi.
"Kamu kan tahu Abangmu Sony kena PHK, sementara mereka punya anak dua yang masih kecil-kecil. Kemarin itu mereka minta uang ke ibu buat bayar kontrakan. Sudah telat tiga bulan, kalau nggak dibayar akan diusir. Kasihan, kan, Fer? Makanya ibu transfer semua uangnya, itu saja belum cukup karena kontrakan tiga bulan mereka dua juta seratus," ucap ibu dengan wajah lesu. Matanya berair dan aku paling nggak tega melihat ibu menangis.
"Oh ya, kapan kamu beli rumahnya? Nanti ibu ikut kamu saja ya, Fer? Rumah ini biar ditempati Mbakmu dan keluarga kecilnya. Daripada di ibukota nggak ada kerjaan bahkan bayar kontrakan saja nggak bisa, bukan kah lebih baik pulang kampung? Usaha apa gitu di rumah."
Deg. Kenapa ibu bilang begitu, padahal dulu ibu bersikukuh tak ingin meninggalkan rumah ini karena terlalu banyak kenangan bersama bapak. Lagipula sudah akrab sama tetangga bahkan seperti saudara, katanya.
Mana aku juga sudah bilang sama Arina untuk mandiri, pisah rumah agar dia tak selalu cekcok dengan ibu tapi kalau ibu tetap ikut bersama kami, itu artinya sama saja.
"Kenapa diam? Pasti karena istrimu nggak suka ibu ikut sama kamu, kan? Pasti dia minta agar ibu ikut dengan Mbakmu saja untuk tetap di rumah ini," tuduh ibu. Dia menatapku lekat.
"Bukannya begitu, Bu. Dulu ibu sendiri yang bilang tak ingin pergi dari rumah ini, kan? Kenapa sekarang berubah?"
Ibu menghembuskan napas panjang.
"Kamu sama Arina belum ada anak, masih santai sementara Mbak Vira ada anak dua masih kecil-kecil pula pasti repot. Mana sempat dia mengurus ibu, nanti yang ada ibu yang ikut membantu mengurus dua anaknya. Bisa kecapekan dan tensi naik tiap bulan. Lagipula ibu sudah tua, waktunya kamu dan Arina berbakti. Walau bagaimanapun ridhoNya tergantung ridho orang tua, terutama ibu," jawab ibu cukup serius.
Aku berpikir sejenak. Ucapan ibu memang benar, bukan kah ini kesempatanku dan Arina berbakti padanya? Karena umur manusia tiada yang tahu kecuali DIA. Aku pasti akan sangat menyesal nanti jika ibu pergi sebelum aku mampu berbakti padanya. Dia tetaplah kunci surgaku, yang wajib kubuat bahagia.
***
Pagi-pagi ibu sudah menelepon. Tumben sekali biasanya jam istirahat baru dia telepon. Itu pun hanya untuk laporan soal Arin. Entah begini entah begitu. Kadang aku juga kesal, hal sepele sering kali ibu besar-besarkan. Sudah capek di kantor, di rumah pun tak pernah dibuat nyaman. Ibu dan Arina jarang akurnya.
Tapi yang membuatku heran, hanya ibu yang menjelekkan Arin. Sementara istriku itu, tak lagi lapor apa pun soal ibu setelah ketahuan waktu itu. Dia hanya diam dan istighfar tiap kali ibu menyudutkan atau menyalahkannya.
"Istrimu itu benar-benar malu-maluin, Fer. Dia pinjam duit 300ribu sama Si Yasmin itu, entah mau buat apa. Mana banyak orang di warung Pak Bidin. Gimana? Makin lama makin ngelunjak kan dia?" Lapor ibu padaku.
Aku tak habis pikir, mau buat apa uang segitu. Tiap kali kutanya apa uangnya kurang, dia selalu diam bahkan sering menggelengkan kepala dan sekarang dia merendahkan martabat suami di depan banyak orang dengan meminjam duit yang nggak seberapa?
Astaghfirullah ... makin lama aku makin nggak paham dengan jalan pikiran Arin. Sulit ditebak dan selalu ditutup-tutupi.
"Kenapa, Fer? Ada masalah? Akhir-akhir ini kulihat kamu seperti menyimpan banyak beban," tanya Ogi-- teman kantorku. Dia memang biasa tempatku berkeluh kesah, namun akhir-akhir ini aku cukup malas untuk bercerita dengannya. Bukan malas tapi lebih tepatnya malu.
Aku yakin dia pasti akan meledekku kalau sampai tahu aku hanya memberi jatah bulanan satu juta untuk Arina, sementara gaji dia semua diserahkan ke istrinya. Dia hanya megang untuk uang bensin atau jajan saja yang tak seberapa.
"Soal istri?" tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan.
"Istri kenapa?" Dia menoleh ke arahku, sepertinya mulai fokus mendengarkan cerita yang ingin kusampaikan.
"Ketahuan ibu kalau dia mau pinjam duit temannya 300ribu. Mana pinjemnya di depan warung, ada banyak orang di sana. Malu-maluin, kan? Dikira aku nggak sanggup kasih dia nafkah." Kuusap wajah kasar.
Ogi berpikir sejenak lalu menatapku lekat.
"Memangnya kamu kasih berapa dia sebulan? Kok masih pinjam sama teman?"
Entah karena gugup atau apa reflek kujawab satu juta. Ogi mendadak menegakkan badannya yang tadinya menunduk menatapku.
"Astaghfirullah, itu sih kamu yang malu-maluin, Fer. Bukan dia! Padahal kamu cerita waktu itu kasih uang jajan ibumu satu setengah juta, kenapa sama istrimu justru lebih sedikit? Jangan dzalim sama istri sendiri, Feri!" ucapnya sembari geleng-geleng kepala.
Benar kah kata Ogi? Aku yang malu-maluin, bukan Arina?
***
Pov : Feri 3 "Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. "Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu
Pov : Feri 4 Di Rumah Sakit "Kata Dokter, Arina kena radang lambung, Bu. Kemungkinan besar karena dia sering telat makan. Apa selama ini dia memang sering makan telat?" tanyaku pada ibu yang masih duduk di sofa sembari memainkan ponselnya. "Apa, Fer? Arina terkena radang lambung karena sering telat makan?" tanya ibu kemudian. Aku mengangguk pelan, memandang wajah Arina yang tampak begitu tenang. "Iya, Bu. Dokter bilang begitu. Apa di rumah pekerjaannya terlalu banyak?" "Pekerjaan apa? Kalau sekadar beberes rumah, masak atau nyuci 'kan memang tugas seorang ibu rumah tangga. Harusnya dia bisa atur kapan waktunya makan dan kapan waktunya kerja," jawab ibu kemudian. "Kalau dia lupa makan, tolong ingatkan ya, Bu. Feri takut dia nanti kambuh lagi kalau telat makan terus." "Dia sudah tua, Fer. Ngapain juga sekhawatir itu. Harusnya dia tahu diri, kalau nggak mau sakit ya bisa jaga diri baik-baik. Akhir-akhir ini dia memang sering mainan ponsel berjam-jam di kamarnya. Mungkin karena
Pov : Arina "Rin, semoga kamu cepet sehat, ya?/Aku berangkat kerja dulu. Kalau buruh sesuatu atau ada apa-apa bilang ke ibu saja. Kalau ibu nggak ada, kamu bisa tekan belnya untuk memanggil perawat. Akhir bulan begini pekerjaan numpuk, pulang kerja nanti langsung ke sini. Kamu mau makan apa? Biar nanti sekalian aku belikan," ucap Mas Feri pelan padaku yang masih terbaring di atas ranjang. Hari ini adalah hari keduaku dirawat. Tensiku memang sudah normal, namun masih cukup lemas jadi kemungkinan satu atau dua hari ke depan, aku masih di sini untuk mendapatkan infus dan perawatan."Kamu mau makan apa? Atau kalau pengin sesuatu bilang aja, biar nanti aku bawakan sekalian setelah pulang kerja," ucap Mas Feri lagi. Lagi-lagi aku tak bisa menjawab apa pun. Aku tak ingin kembali kena omel ibu kalau sampai request sesuatu padanya. "Dasar istri pemboros. Kalau mau minta ini dan itu, harusnya kamu bantu cari duit. Kerja nggak cuma nodong saja!" Ucapan ibu tempo hari masih terngiang-ngiang, ka
Pagi-pagi sekali ibu sudah ribut. Bunyi pisau dan nampan beradu, gelas, sendok dan piring serta perabot lainnya, seolah sengaja dia perkeras agar aku gegas ke luar kamar. Padahal aku masih cukup mengantuk karena semalam tidur terlalu larut. Meracik bahan-bahan untuk membuat nasi timlo dan sop ayam. Aku sudah bilang sekalian pagi saja sebelum subuh, tapi ibu tak pernah mau mendengar apa pun usulanku. Mau tak mau aku mengikuti arahannya. Aku tak ingin tensi ibu kembali naik seperti beberapa hari yang lalu, semakin memperlambat urusanku beberes rumah. "Biasakan bangun pagi sebelum subuh. Jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan matahari terbit baru bangun," ucap ibu ketus saat melihatku sudah sampai di pintu dapur. Gegas kubuka jendela, meski masih gelap gulita. Sengaja. "Kok malah dibuka? Kamu nggak lihat masih gelap? Dingin. Kamu sengaja ingin ibu masuk angin?" Bentak ibu kemudian. "Bukannya ibu bilang, jadi perempuan harusnya bangun sebelum ayam berkokok, bukan
Acara masak-memasak untuk arisan ibu mertua akhirnya kelar juga. Badan rasanya nano-nano. Pegel, linu, ngantuk campur menjadi satu, namun aku masih berusaha standby di dapur. Malas sekali rasanya mendengar teriakan-teriakan ibu lagi dan lagi di saat aku baru saja menyelonjorkan kaki. Segala masakan dan camilan sudah kuhidangkan. Lesehan alias melantai di atas tikar. Timlo, sayur sop, tempe & tahu bacem, telur puyuh goreng, sate ati ampela, kerupuk. Belum camilan lain agar-agar, brownies, bolu, kacang rebus, risol, pisang goreng, bala-bala, dan entah apalagi aku sampai mual rasanya melihat masakan segitu banyak. Kalau pesan sih nggak masalah, tapi kebanyakan aku yang memasaknya dibantu dengan dua tetangga lain. Sementara ibu, entah sibuk apa. Mondar-mandir nggak jelas dari pagi hingga sesore ini. "Minumannya mana, Rin? Buruan disiapkan keburu tamu datang semua," titah ibu lagi saat aku baru saja merebahkan badan."Badanku capek banget, Bu. Ibu gantian lah, tinggal mindahin ke ruang d
Drama gaji bulanan sudah usai. Biar saja ibu yang mengurus isi kulkas, beli token dan lainnya. Sampai akhir bulan atau nggak duit sejuta. Kalau kurang, biar ambil jatah ibu sendiri. Paling tidak saat ini ibu tahu jika kebutuhan rumah tangga dengan tiga orang dewasa itu tak cuma seratus dua ratus ribu dalam sebulan. "Rin, seperti janji sebelumnya ini jatah buat kamu. Maaf kalau selama ini tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadi kamu. Ini bisa buat beli baju atau sandal. Baju kamu warnanya sudah pudar semua. Rin ... maaf ya belum bisa buat kamu bahagia," ucap Mas Feri dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu kesambet jin mana Mas Feri bisa tiba-tiba berubah sedrastis itu. Semoga saja jinnya masih menetap di sana biar nggak kumat lagi errornya. Atau perubahan mendadak pada Mas Feri ini ada udang di balik batu? Entah lah.Aku tak mau buruk sangka pada suamiku sendiri. Yang pasti sekarang aku cukup bersyukur melihat pengertian Mas Feri soal kebutuhan pribadi istri, meski aku juga tak in
Pagi-pagi sekali aku sudah sibuk. Setelah pulang dari pasar membeli bumbu-bumbu, ayam dan ikan, aku buru-buru ke kebun belakang rumah. Banyak sayuran yang sengaja kupanen hari ini. Ada pare, sawi, kangkung dan terong. Rencananya aku akan memasak sayuran matang dan lauk dan kujual via whatsapp nanti. Modalnya untuk jualan nasi timlo dan membeli peralatan lainnya. "Sayang, Mbak Vina beneran chat begitu sama kamu? Kok kasar begitu ya bahasanya?" tanya Mas Feri tiba-tiba sembari membenarkan kancing kemejanya. Semalam dia lembur, mungkin kecapekan jadi tak sempat menanyakan soal pesan dari Mbak Vina padaku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan darinya."Sejak kapan dia kasar begitu sama kamu?" tanyanya lagi. Kuhentikan jemari yang sibuk memetik kangkung. Menoleh ke arah Mas Feri dengan wajah penasarannya. "Sejak awal menikah denganmu, Mbak Vina memang selalu begitu kalau chat denganku, Mas. Aku juga pernah bilang sama kamu soal duit yang habis karena dia pinjam nggak pernah ba
Pertengahan bulan seperti saat ini memang nano-nano. Sejak kemarin ibu mulai menyindir soal duit dari Mas Feri, padahal sudah jelas aku pinjamkan ke Mbak Vina. Jatah pribadi satu juta itu pun akhirnya kutransferkan ke Mbak Vina untuk bayar kontrakan, katanya. Aku juga bukan seorang ipar yang jahat, yang tega membiarkan kakak iparnya diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak beberapa bulan. Tapi ibu tetap saja menyindir, padahal kemarin dia juga tahu kalau aku pergi ke Atm untuk transfer duit. Sekalian ke bank buat aktifin mobile banking. Hari ini, kelima kalinya aku jualan masakan matang. Badan rasanya benar-benar capek. Remuk redam tak karuan. Berulang kali ibu menyindir soal uang bulanan dari Mas Feri yang kurang, menyindir token listrik dan arisan, aku tak tak peduli. Namun saat melihatku sibuk dengan perdapuran, ibu justru pergi merumpi. Bahkan sekadar ikut menjaga penggorenganku agar tak gosong saat kutinggal sarapan pun tak mau. Bukan urusanku, katanya. Benar-benar menje
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce
Pagi ini, aku dan Mas Feri siap-siap ke rumah ibu. Sengaja membawa beberapa potong baju, barang kali nanti tiba-tiba pengin nginep di sana. Mas Feri tampak lebih bersemangat menjalani hari-harinya setelah berhasil melewati prediksi dokter itu. Aku dan Mas Feri diantar Mang Edi ke rumah ibu. Beberapa hari belakangan kami memang tak main ke sana. Ibu dan Mbak Vina sepertinya juga cukup sibuk, jadi tak ada waktu luang untuk menjenguk Bian.Akhir-akhir ini Mas Feri juga sering ke resto untuk melihat perkembangan usaha baru kami itu. Usaha yang sudah menampakkan hasilnya. Di luar dugaan, semua seolah dimudahkan olehNya. Alhamdulillah. Keuntungan yang didapat tiap bulannya pun semakin bertambah. Aku selalu mendengarkan cerita-cerita Mas Feri tentang perkembangan resto kami setiap dia pulang kerja. Lelah yang selama ini selalu terlihat di wajahnya itu berganti dengan senyum dan semangat yang kian meningkat dari hari ke hari. Tak hanya soal duniawi, Mas Feri juga meningkatkan ibadahnya, se
Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Alvin akan menikah secepat ini. Bukan masalah iri, cemburu atau apa seperti yang dituduhkan Mas Feri, hanya saja selama ini Mas Alvin memang tak pernah cerita apapun soal rencana pernikahannya. Aku juga tak pernah tahu siapa teman dekatnya akhir-akhir ini. Wajar jika aku sangat kaget mendengar kabar bahagianya itu, kan?Mas Alvin memang jarang menceritakan tentang hidupnya. Dia agak tertutup sejak aku menikah dengan Mas Feri. Meski begitu dia masih sering menanyakan kabar keluarga kecilku, termasuk menanyakan soal perkembangan Bian. Namun lagi-lagi dia tak pernah cerita soal asmaranya, apalagi calon istri dan tanggal pernikahannya. Aku juga tak tahu kenapa dia menutupi kabar bahagia itu dariku, sementara pada Mas Feri dia justru cerita semuanya. Padahal dulu akulah yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.Ah ya, dulu. Kini aku pun maklum, dia begitu karena terlalu menghargai statusku. Mungkin karena tak ingin ada fitnah diantara aku dan dia makany
Waktu terus bergulir, Mas Feri sepertinya sudah bisa 'berteman' dengan sakitnya. Tak seperti bulan lalu yang masih sering menjerit sakit kepala tiba-tiba, tapi sekarang dia sudah bisa mengontrol diri saat sakit itu tiba-tiba datang menyerang. Entah mengapa, aku jarang melihat Mas Feri kesakitan. Atau dia memang sengaja menyembunyikan segala sakitnya, hanya demi terlihat baik-baik saja di depanku dan keluarga besarnya? Mas Feri sering izin ke resto untuk sekadar cuci mata. Aku pun mengizinkan asalkan dia janji banyak istirahat di sana. Ada ruangan khusus untuk Mas Feri melepas lelah. Sejak Mas Feri sakit, kami memang menyewa sopir untuk mengantar jemput dia saat ingin pergi ke sana-sini. Tak kuizinkan Mas Feri menyetir mobil sendirian. Penglihatan Mas Feri mulai kabur, kadang dia juga sering lemah. "Mas, gimana sakitmu? Sudah membaik atau ada keluhan lain yang mungkin bertambah sakit?" tanyaku lagi saat dia tampak begitu lelah saat pulang dari resto. "Alhamdulillah sudah mendinga