Pagi-pagi sekali aku mulai sibuk di dapur. Membuat timlo untuk pesanan Bu Ambar-- guru honorer yang kini sudah diangkat menjadi PNS. Dia berniat untuk syukuran kecil-kecilan di rumahnya. Jam sepuluh nanti pesanan akan diambilnya. Mas Feri sibuk membantu menggoreng tahu isi dan risol. Beruntung hari ini weekend jadi dia bisa membantuku menyelesaikan pesanan ini. Sementara penghuni yang lain baru bangun beberapa menit lalu, termasuk ibu dan Mbak Vina. Mereka pergi ke luar ngerumpi dengan Bu Asma dan tetangga lainnya. "Arina ke mana, Bu? Sibuk bikin timlo?" tanya seorang ibu, terdengar lirih dari dapur. "Masak itu, buat pesanan Ibu Ambar, sekarang kan diangkat jadi PNS," ucap ibu. "Oh iya, Bu. Bu Ambar RT sebelah," ucap ibu yang lain entah siapa. "Mas Feri ke mana weekend begini, Bu? Masih istirahat, ya?" "Nggak lah, Bu. Dia lagi bantuin Arin goreng-goreng. Entah lah sudah kubilang pamali laki-laki main di dapur, tapi nggak peduli. Dia tetap bantuin istrinya," ucap ibu terdengar be
Jam di dinding berdenting tujuh kali. Setelah membelikan sarapan untuk Mas Feri dan aku sendiri, gegas kubuatkan teh hangat. Sementara di atas meja belum terhidang apa-apa. Sepertinya ibu masih ke pasar untuk berbelanja. Sejak kuserahkan uang belanja pada Ibu dan menolak untuk memasak karena selalu dikomplen, aku memang jarang sekali makan di rumah. Bisa dihitung jari dalam seminggu. Lebih baik beli di warung tetangga atau pesan online. Tak peduli jika ibu dan Mbak Vina selalu menyindirku karena boros, toh semuanya pakai uangku sendiri hasil jualan, bukan minta jatah ibu maupun gaji Mas Feri. "Mana sarapan buat kita, Rin?" tanya Mbak Vina ketus saat melihatku duduk di kursi makan bersama Mas Feri. Aku dan Mas Feri memang saling diam sejak tadi, hanya terdengar suara sendok dan piring beradu lirih. Bukan karena kami sedang marah, tapi memang malas ngobrol saat sedang makan untuk lebih cepat beranjak dari ruang makan. Pagi ini aku dan Mas Feri ingin mencari kontrakan. "Kok nanya ak
Pov : Bang Sony "Bang, utang kita sudah banyak banget di warung Abah Han. Aku nggak berani utang lagi. Malu, Bang. Apalagi kalau banyak orang yang belanja, masak cuma aku yang utang? Si Abah juga sering banget ngomong kenceng total utangku, sengaja biar para pembeli pada dengar. Bukannya dapat yang kubutuhkan, yang ada kupingku panas karena gunjingan," ucap Vina saat aku tiduran di karpet ruang tengah kontrakanku sembari nonton acara tivi. "Utang juga nanti bayar, kan, Vin? Kenapa harus malu? Kita nggak merampok," balasku santai. Aku masih sangat pusing karena di PHK dua bulan belakangan tanpa pesangon karena pabrik memang gulung tikar. Masih cukup beruntung karena gaji terakhirku diberikan."Aku tahu, Bang. Memang dibayar tapi nggak tahu kapan. Padahal utang kita sudah satu jutaan. Belum buat bayar kontrakannya. Gimana ini, Bang? Aku benar-benar pusing apalagi saat ini nggak ada pegangan sama sekali," ucap Vina lagi semakin membuat kepalaku pusing tujuh keliling. "Pinjam tetangga,
Pov : Arina "Bu, nanti sore Feri sama Arin mulai bawa barang-barang ke kontrakan, ibu tinggal di sini saja sama Mbak Vina, ya?" ucap Mas Feri mengawali pembicaraan pagi ini. Ibu tak terlalu kaget karena memang sebelumnya sudah mendapatkan kabar ini dari Bang Sony."Ibu ikut kamu saja lah, Fer," jawab ibu singkat. Aku yakin ibu kemakan omongan Bang Sony kemarin. Takut gaji Mas Feri aku kuasai makanya dia nggak mau berpisah dengan anak lelakinya itu. Sengaja ingin terus memata - mataiku."Ibu bilang sendiri kalau kami harus mandiri. Feri pusing lihat ibu sama Arin selalu cekcok bahkan kadang hanya hal sepele. Apalagi sekarang Arin usaha kuliner, Bu. Dia sering bikin dapur berantakan. Ibu sendiri yang suruh Arin cari kontrakan, kan?" Mas Feri kembali menatap ibu yang ada di sebelahnya, sedangkan aku duduk di seberang meja bersebelahan dengan Mbak Vina. "Ibu ikut sama kamu saja lah, Fer," ucap ibu lagi. "Ibu kenapa? Takut kalau aku mengambil semua gaji Mas Feri?" tanyaku singkat sembar
Hari ini adalah hari yang begitu membahagiakan karena sudah pindah ke kontrakan baru. Rumah yang kuharap bisa memberikan kenyamanan untuk penghuninya-- aku dan Mas Feri.Senang dan haru kini kurasakan. Aku tak pernah menyangka jika Mas Feri akhirnya bisa pergi juga dari rumah penuh kenangan almarhum bapak itu. Memilih bersamaku tanpa membawa serta ibu."Mas, kita harus beli perabotan juga, kan? Nggak mungkin kita bawa dari rumah ibu meskipun kamu yang beli semua," ucapku mengawali pembicaraan. Maklum, baru saja pindah. Peralatan masak nggak punya, peralatan tidur pun nggak ada. Yang aku bawa dari rumah ibu hanya sebatas pakaian dan beberapa benda lain yang nggak begitu berharga. Mas Feri menyeruput kopinya lalu mengambil sepotong brownies yang sudah kusiapkan di atas piring. Beruntung aku punya teko listrik, jadi lumayan bisa untuk menyeduh kopi sebelum ada peralatan dapur. "Soal itu kamu nggak perlu khawatir, Rin. Aku sudah telepon penjual perabotan, nanti siang mereka ke sini baw
Hari kedua tinggal di kontrakan baru, rasanya begitu tenang dan nyaman. Tak ada suara berisik ibu dan Mbak Vina yang selalu menyindir dan meremehkan apalagi sengaja mengajak tetangga untuk menggunjing berjamaah di teras rumah. Mas Feri pun mulai perhatian, meski tetap saja dia terkadang plin-plan tiap kali melihat ibunya menangis. Entah beneran atau sekadar settingan. Mungkin karena ibu selalu mengungkit soal kewajiban anak laki-laki setelah menikah, membuat Mas Feri terkadang bimbang dan kebingungan. Seperti kemarin saat ibu kembali mengusik tanggungjawabnya sebagai anak laki-laki satu-satunya. "Ibu sudah mengizinkan kamu menikah dengan Arina, Fer. Padahal sejak awal ibu ingin kamu menikah dengan Delima. Tapi kamu selalu bilang kalau ibu pasti akan akur dengan Arina. Kamu selalu memuji dia perempuan baik, jujur dan sayang pada orang tua. Kamu juga bilang nggak akan pernah melupakan tanggungjawabmu pada ibu karena kamu anak lelaki, tapi apa?Nyatanya sampai dua tahun pernikahan kal
Terpaksa aku buru-buru masuk ke dalam dan melangkah cepat menuju kamar. Tiba-tiba pintu kamar tertutup begitu saja dari luar. Aku sangat kaget, keringat dingin mulai menetes dari dahi. Berulang kali aku berusaha membuka pintu namun tak bisa. Entah mengapa!Aku luruh begitu saja di lantai. Tangan gemetar mengambil ponsel dari dalam tas kecil yang kubawa. Gegas kutelepon Mas Feri untuk mengabarkan keadaanku saat ini. Berulang kali kutelepon tak diangkatnya juga. Apakah akhirnya Mas Feri sudah meeting meski tanpa berkas itu? Air mataku mulai menetes di pipi apalagi saat melihat pintu kamar mulai terbuka perlahan dari luar. Kupandangi sosok itu dari bawah menuju atas. Senyum tipis itu terlukis di sana, seolah senyum penuh kemenangan. Mengerikan. Siapa lagi kalau bukan Bang Sony. Kakiku masih begitu lemas, namun berusaha kuat dan lari ke jendela dan segera membukanya, ingin lompat begitu saja dari kamar ini. Namun belum sampai jendela terbuka, Bang Sony berlari mendekat, aku pun buru-bur
Pov : Vina "Aku cuma minta kamu menjebak Arina di rumah ini dua kali, Bang! Kenapa kamu justru ke kontrakannya, ha? Pakai alasan bohong pula! Keterlaluan kamu, Bang. Kamu suka sama Arina, kan? Jujur, Bang. Jangan mengelak!" Kudorong tubuh Bang Sony kasar. Aku sangat kesal, teganya dia membohongiku. Ternyata selama ini diam-diam dia mendekati Arina di belakangku, begitu? Tega! Sudah nggak kasih nafkah layak, tinggal gratis di rumah ibuku, tapi dia malah ngelunjak. Selama ini aku diam saja saat dia nggak kasih nafkah karena masih ada Feri.Aku juga nggak terlalu menuntut saat dia hanya memberiku uang berapa rupiah saja hasil dari ngojeknya karena memang kebutuhan masih ditanggung ibu, tapi berbohong demi Arina? Benar-benar kelewatan!"Keterlaluan kamu, Bang! Kamu tahu kalau aku kesal sama Arina karena dia sudah menguasai Feri, tapi kamu diam-diam justru mendekati dia, ha?!" Kutonjok lengan kanan Bang Sony lagi. Air mataku deras mengalir, sementara Bang Sony terus memohon maaf. "Maaf,