Aulia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku ngerti, Mbak. Tapi, aku tetap nggak rela kalau Mbak memilih untuk berpisah dengan Mas Arya, dan membiarkannya hidup bahagia sama Vidya."Shena tersenyum pahit. "Kebahagiaan itu pilihan, Lia. Kalau Vidya memang bisa membuat Mas Arya bahagia, aku nggak mau menghalangi. Tapi aku harus memikirkan kebahagiaanku sendiri juga."Aulia menggenggam tangan Shena, matanya mulai basah. "Mbak Shena, aku nggak tahu harus bilang apa lagi. Aku cuma berharap Mbak tetap jadi kakak ipar aku."Shena mengangguk pelan. "Terima kasih, Aulia. Setiap dukunganmu sangat berarti buatku."Mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di luar kamar, suasana rumah mulai tenang. Vidya mungkin telah masuk ke kamarnya, dan Arya entah ada di mana. Malam yang panjang ini terasa lebih sunyi daripada biasanya.Di kamar lain, Vidya menatap cermin dengan ekspresi marah. Pipinya masih memerah akibat tamparan Aulia. Ia menggenggam perutnya yang mulai membesar,
Arya hanya terdiam, karena ia tak ingin menanggapi perkataan Vidya yang membuatnya semakin cemburu melihat kedekatan antara Shena dengan Ervan.Setelah beberapa saat, mereka masuk ke ruang sidang. Proses perceraian dimulai dengan suasana formal dan serius. Hakim mengawali persidangan dengan membacakan latar belakang kasus tersebut. Ervan tampil dengan tenang dan tegas, menjelaskan posisi Shena sebagai istri yang selama ini telah berusaha mempertahankan rumah tangganya, meski dikhianati.Aulia duduk di bangku hadirin, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Ervan. Ia terkesima dengan cara pria itu berbicara, menunjukkan wibawa dan kecerdasan yang membuatnya kagum. Tapi di sisi lain, ia juga merasa cemburu melihat perhatian Ervan yang sesekali tertuju pada Shena.Sementara itu, Vidya memperhatikan Aulia dengan tatapan geli. Ia mendekatkan dirinya ke Aulia dan berbisik pelan, "Aulia, hati-hati, ya. Kalau Mbak Shena sudah jadi janda, kamu mungkin harus bersiap untuk menahan rasa cemburu."
Hari-hari setelah sidang perceraian terasa seperti berjalan di atas bara bagi Shena. Ia tahu, sebagai wanita yang ingin menjaga martabat, ia harus tetap tegar meski hati dan pikirannya terus berkecamuk. Situasi di rumah juga tidak membantu. Konflik kecil sering kali meletus, terutama antara Vidya dan Bu Surti, sementara Arya lebih banyak diam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.Malam itu, Shena duduk di ruang keluarga sambil memeriksa beberapa dokumen butik. Sesekali, ia menyesap teh hangat yang sudah mulai dingin. Pikirannya terpecah antara pekerjaan dan situasi di rumah yang semakin rumit.Langkah kaki ringan terdengar dari arah dapur. Bu Surti muncul dengan raut wajah yang tampak ragu-ragu, membawa nampan berisi beberapa makanan kecil."Shena, apa Ibu boleh duduk di sini?" tanya Bu Surti, suaranya terdengar lembut dan canggung.Shena mengangkat wajahnya, ia tersenyum tipis. "Tentu boleh dong, Bu. Duduk saja."Bu Surti menaruh nampan di atas meja dan duduk di kursi yang berseber
Hari itu, kabar mengenai sahnya perceraian antara Shena dan Arya sampai ke telinga Vidya. Di kamar yang masih berantakan, Vidya tersenyum penuh kemenangan. Baginya, perceraian itu adalah langkah awal untuk menguasai kembali hati Arya. Ia merasa menjadi satu-satunya wanita yang layak mendapatkan perhatian pria itu. Namun, senyum itu seketika memudar ketika Bu Surti masuk ke kamar dengan wajah tegas."Vidya, mulai sekarang kamu harus bersiap-siap. Bereskan barang-barangmu," kata Bu Surti sambil melipat tangan di depan dada.Vidya menoleh dengan alis terangkat tinggi. "Maksud Ibu apa? Kenapa aku harus beres-beres? Bukannya sekarang Mas Arya sudah bebas dari Mbak Shena? Kita bisa tinggal di sini lebih lama, kan?"Bu Surti menggeleng sambil menghela napas berat. "Shena sudah memberi kita cukup banyak waktu, Vidya. Kita tidak bisa terus tinggal di rumah ini. Sudah cukup malu Ibu memanfaatkan kebaikan Shena selama ini.""Tapi, Bu! Rumah ini kan sudah seperti milik kita juga! Aku nggak mau pe
"Tentu tidak, Sayang," jawab Shena sambil tersenyum lembut. "Papa pasti akan tetap ingat Sheira. Papa tetap sayang sama Sheira."Anak itu mengangguk kecil, meski raut wajahnya masih menyimpan kebingungan. Shena memutuskan untuk mengalihkan perhatian putrinya."Sheira, besok kita bikin taman bunga di halaman belakang, mau nggak? Sheira kan suka bunga-bunga. Kita tanam banyak bunga warna-warni, biar rumah kita lebih ceria."Mata Sheira sedikit berbinar, meski rasa sedihnya belum sepenuhnya hilang. "Boleh, Ma. Tapi Sheira mau bunga warna pink, ya. Sama ungu."Shena tersenyum, merasa lega bisa sedikit menghibur putrinya. "Tentu dong, Sayang. Apa pun yang Sheira mau. Besok pagi kita pergi ke toko bunga, ya."Setelah beberapa saat, Sheira kembali terlelap di pelukan Shena. Namun, hati Shena masih berat. Ia tahu, menjelaskan semuanya pada Sheira adalah langkah pertama. Tapi tantangan sebenarnya baru saja dimulai. Kini ia harus menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, memberikan yang terbai
Sheira menunduk, menatap pot bunga di tangannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ergan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan ekspresi temannya itu dengan wajah penuh simpati. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan suara pelan dan penuh perhatian."Sheira," panggil Ergan sambil menyentuh bahu gadis kecil itu. "Kalau kamu kangen banget sama Papa kamu, kamu bisa anggap Daddy aku jadi Papa kamu juga."Sheira mengangkat wajahnya, menatap Ergan dengan mata melebar. "Maksud kamu, Daddy kamu jadi Papa aku juga?"Ergan mengangguk, tersenyum lembut. "Iya. Daddy aku baik banget, kok. Daddy pasti nggak keberatan kalau kamu mau anggap dia jadi Papa kamu. Kan kita teman, jadi aku nggak mau kamu sedih terus."Shena, yang sedang menata pot bunga di sisi lain halaman, tertegun mendengar percakapan itu. Matanya langsung terarah pada kedua anak kecil itu, sementara Ervan yang berdiri di dekatnya juga tampak kaget."Ergan, kamu ngomong apa tadi?" tanya Ervan sambil berjalan mendekat
Setelah selesai makan malam, Ervan dan Ergan bersiap untuk pulang. Shena berdiri di depan pintu bersama Sheira. Gadis kecil itu memandangi kedua tamunya dengan wajah sedih."Daddy, Ergan, jangan lupa main ke sini lagi, ya?" pinta Sheira dengan suara polos sambil memegang tangan Ervan.Ervan tersenyum, lalu berlutut agar sejajar dengan gadis kecil itu. "Tentu, Princess. Daddy dan Ergan pasti akan datang lagi. Kamu janji mau jadi anak yang baik untuk Mama, kan?"Sheira pun mengangguk dengan antusias. "Sheira janji, Daddy!"Ergan, yang berdiri di samping ayahnya, memegang tangan Sheira. "Kita tanam bunga lagi nanti, ya, Sheira?""Ya, tentu!" sahut Sheira senang.Shena tersenyum melihat keakraban mereka. Saat Ervan berdiri, ia melirik ke arah Shena. "Terima kasih untuk makan malamnya, Shena. Anak-anak terlihat sangat bahagia malam ini."Shena mengangguk pelan. "Sama-sama, Ervan. Hati-hati di jalan, ya."Sebelum naik ke mobil, Sheira mencium punggung tangan Ervan dengan penuh hormat. "Dadd
"Aku nggak tahu, Bu ...," Aulia menjawab dengan suara bergetar. "Aku hanya ingin dia menjauh dari Mbak Shena. Aku nggak sanggup melihat mereka terlalu dekat."Bu Surti menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Ini bukan masalah yang mudah, Aulia. Ibu tidak mau keluarga kita harus menanggung malu karena kamu dan Shena memperebutkan seorang pria."Aulia mengangguk."Aku janji, Bu. Aku akan berusaha menahan diri. Tapi, Bu ..." Ia menoleh, matanya penuh harap. "Tolong bantu aku. Jangan biarkan Mbak Shena terlalu dekat dengan Pak Ervan."Bu Surti memandang Aulia dalam-dalam, mencoba membaca keputusasaan dalam perkataannya. Akhirnya, wanita paruh baya itu menjawab dengan nada tegas. "Ibu akan memikirkan cara untuk menjaga nama baik keluarga kita. Tapi kamu juga harus belajar mengendalikan perasaanmu, Aulia."Aulia hanya mengangguk, meski di hatinya, ia tahu bahwa mengendalikan perasaan terhadap Ervan adalah hal yang hampir mustahil.Di dalam keheningan mobil yang melaju, Bu Surti mulai m
Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada
"Cuma apa?" potong Arya dengan cepat. "Cuma mau memastikan Arvi selalu ada di dekatmu, biar aku nggak punya kesempatan buat bawa dia ke rumah sakit?""Mas Arya!" Vidya terperanjat. "Aku cuma … aku cuma nggak mau ada masalah dalam rumah tangga kita! Aku takut semuanya hancur!"Arya tertawa pendek, penuh kepahitan. "Semuanya hancur? Kamu pikir aku nggak takut? Aku juga nggak mau rumah tangga ini berantakan, Vidya! Sudah cukup rumah tanggaku dengan Shena berantakan gara-gara kamu muncul dalam hidup aku. Aku juga nggak mau hidup dalam kebohongan!"Vidya terdiam. Ia ingin membela diri, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan."Aku nggak minta banyak, Vid," lanjut Arya dengan suaranya yang lebih lirih, tapi tetap terdengar tegas. "Aku cuma mau kepastian. Kalau memang Arvi adalah anak kandungku, aku sangat bersyukur dan akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Tapi kalau ternyata bukan ...."Arya menatap istrinya dengan tajam. "Aku nggak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam rumah tangga yang
"Aku setuju tes DNA dilakukan besok," ucap Arya akhirnya.Anna tersenyum tipis, akhirnya sang adik menyetujui. "Bagus kalau kamu sudah yakin.""Tapi, ada masalah," lanjut Arya dengan nada serius. "Aku nggak punya uang cukup buat tesnya, Mbak."Anna mengerutkan kening, menatap adiknya dengan penuh selidik. "Memangnya, kamu butuh berapa?""Aku belum cek biaya pastinya, Mbak. Tapi, tes DNA di rumah sakit itu pasti nggak murah," Arya mengusap tengkuknya dengan canggung. "Makanya aku mau minta bantuanmu, Mbak. Bisa nggak, aku pinjam uang dulu?"Anna menatap Arya lekat-lekat, memastikan apakah adiknya benar-benar serius. Ia tahu kondisi keuangan Arya memang sedang sulit. Sebagai sopir taksi online, penghasilannya pas-pasan, apalagi sekarang Vidya sudah tidak bekerja semenjak menikah dengan Arya."Aku nggak masalah bantuin kamu," jawab Anna akhirnya. "Tapi, kalau hasilnya nanti beneran nunjukin kalau Arvi bukan anak kamu, apa kamu berani ambil tindakan?"Mendengar itu, Arya terdiam. Pertanya
Setelah masuk ke dalam kamar, Vidya langsung mengunci pintunya rapat-rapat. Ia bahkan memastikan jendela juga terkunci. Ia tak mau ada seorang pun yang masuk atau mencoba mengambil sesuatu dari dalam kamar ini.Sementara itu, di luar kamar, Anna berdiri bersedekap dengan ekspresi dingin. Ia sudah menduga Vidya akan melakukan hal ini, mengurung diri bersama dengan bayinya. Namun, kali ini ia tidak akan tinggal diam.Anna menunggu di luar kamar dengan penuh kesabaran. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Vidya, mengamati apakah ada celah yang bisa dimanfaatkan.Ternyata, usahanya tidak sia-sia.Ketika sore mulai menjelang, Anna mendengar suara kunci kamar yang diputar. Ia segera berpura-pura sedang sibuk dengan ponselnya. Namun, ekor matanya tetap mengawasi.Vidya keluar dari kamar dengan wajah sedikit lelah, tetapi ekspresi tegang masih jelas terlihat di wajahnya.Anna memperhatikan dengan saksama."Kenapa dia keluar kamar?" pikirnya.Saat Vidya berjalan menuju kamar mandi, Anna memperh
Siang itu, suasana rumah masih terasa tegang. Vidya terus-terusan menempel pada Arvi, seolah tak ingin bayi itu lepas dari gendongannya. Bahkan, saat makan pun, ia tetap menggendong sang putra.Arya yang duduk di meja makan hanya bisa menatap istrinya dengan pandangan penuh tanya. Sejak pagi, Vidya tampak semakin aneh. Ia tidak membiarkan siapa pun menyentuh Arvi, bahkan Arya sendiri.Saat tangan Arya terulur ingin mengusap kepala bayinya, Vidya langsung memundurkan tubuhnya sedikit, menghindar tanpa terlihat mencolok."Kamu kenapa, Vid?" tanya Arya akhirnya, dengan suaranya yang datar, dan sorot matanya yang menatap tajam.Vidya tersentak, lalu terkekeh kecil. "Nggak kenapa-napa, Mas. Aku cuma lagi menikmati waktu sama Arvi."Arya mengangkat alis, merasa tidak percaya. "Bahkan aku aja nggak boleh gendong Arvi? Sejak kapan kamu kayak gini?"Vidya berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa dag-dig-dug. "Bukan gitu, Mas. Arvi kan masih kecil. Aku nggak mau dia rewel kalau digendong ora
Ia menunduk, menenangkan Arvi yang mulai menggeliat dalam gendongannya. Vidya pun menghela napas panjang."Sial," desisnya. "Aku nggak boleh panik, dan aku harus berpikir jernih."Jika benar Arya sudah mulai curiga, maka itu berarti ia harus mencari cara lain untuk mengendalikan keadaan. Mengandalkan Yudi jelas bukan pilihan. Pria itu terlalu bodoh untuk memahami situasi.Vidya menegakkan punggungnya, memasukkan amplop itu ke dalam saku celananya. Matanya mulai mencari-cari seseorang di sekitar taman. Ia harus memastikan bahwa tidak ada yang mengawasinya.Tapi, tanpa Vidya sadari, seseorang masih berdiri di balik pohon besar, mengamati semua yang terjadi.Anna menggenggam ponselnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mendengar semuanya. Setiap kata yang keluar dari mulut Vidya dan Yudi telah ia rekam.Anna mengusap tengkuknya yang dingin. Apa yang baru saja ia dengar bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Fakta bahwa Arvi bukan anak kandung Arya adalah sebuah bom besar y
"Uang," jawab Yudi dengan singkat. "Gunakan ini buat jaga-jaga. Kalau Arya sampai kepikiran tes DNA, kamu tahu harus gimana, kan?"Vidya pun semakin gelisah. "Tapi ....""Jangan banyak tanya, Vidya," potong Yudi dengan tajam. "Ini buat kebaikan kita semua. Aku nggak mau ada masalah."Vidya menggigit bibirnya, lalu menerima amplop itu dengan rasa penasaran, berapa banyak uang yang ia terima.Ia segera membuka amplop yang baru saja diberikan Yudi. Dengan cepat, ia menarik isinya dan mulai menghitungnya di hadapan pria itu. Matanya menyipit saat melihat jumlahnya. Hanya sepuluh lembar uang seratus ribuan.Vidya mendengkus, lalu menatap Yudi dengan ekspresi tak percaya. "Serius? Kamu kasih aku uang cuma satu juta?"Yudi memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, ekspresinya tetap datar. "Memangnya kamu berharap berapa?"Vidya mendekatkan wajahnya, menurunkan suaranya agar tidak terdengar oleh siapa pun di sekitar mereka. "Kalau kamu pikir aku bisa nyogok dokter buat memalsukan hasil tes
Arya mendesah pelan, lalu menundukkan kepala. "Aku … nggak punya cukup uang buat itu, Mbak."Anna terdiam. Ia tahu bahwa setelah kehilangan pekerjaan lamanya, Arya kini hanya bekerja sebagai sopir taksi online. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk Arvi."Tes DNA itu mahal," lanjut Arya dengan suara berat. "Aku bahkan belum bisa menabung, karena semua uangku habis buat beli susu dan kebutuhan Arvi."Anna menatapnya dengan penuh simpati."Mbak ngerti, Arya. Mbak juga nggak mau maksa kamu untuk Tes DNA, kalau memang kamu belum siap." Ia menghela napas sejenak, lalu menatap wajah adiknya yang kini tampak lebih tua dari usianya. "Tapi kalau kamu benar-benar ingin tahu kebenarannya, kamu harus cari cara. Mungkin bisa mulai menabung sedikit demi sedikit dari sekarang. Ya, meskipun akhirnya entah kapan tes itu bisa dilakukan."Arya memijat pelipisnya, merasa semakin terbebani. "Aku takut, Mbak."Anna menatap adiknya dalam-dalam. "Kamu takut kalau t
Vidya tertegun. Ia tidak menyangka Arya akan menanyakan hal itu."Maksud Mas Arya apa?" tanya Vidya yang memaksakan diri dan berusaha tersenyum, meskipun jantungnya mulai berdebar tak menentu karena merasa tak nyaman mendengar pertanyaan dari suaminya.Arya menelan ludah dengan susah payah. "Aku nggak tahu kenapa, tapi … aku merasa dia nggak mirip sama aku, atau kamu."Ruangan mendadak terasa lebih sunyi. Vidya memandang wajah bayi mereka, lalu kembali menatap Arya."Mas … kenapa tiba-tiba mikirin hal kayak gitu?" tanya Vidya, mencoba untuk tetap tenang.Arya mengusap wajahnya, merasa bimbang apakah ia harus melanjutkan ucapannya atau tidak. Namun, pikiran itu terus menghantuinya."Aku tahu ini mungkin cuma perasaan anehku aja," katanya pelan. "Tapi … selama ini aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau aku cuma berlebihan. Tapi sekarang, aku nggak bisa lagi. Aku merasa … Arvi lebih mirip seseorang yang kita kenal."Vidya merasakan napasnya tercekat. Tangannya secara refleks menggeng