"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar.
"Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?" "Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutupi? "Ya udah, yuk, masuk!" Kami pun masuk ke dalam rumah dan bergabung dengan yang lain. Bercanda bersama. Ataya sendiri masih bayi. Baru berumur empat bulan. Sedang gemas-gemasnya. "Assalamu'alaikum." Suara Mas Hendi terdengar dari depan. Sudah masuk waktu maghrib. "Wa'alaikum salam." "Tadi aku pulang ke rumah, Bun, tapi sepi. Makanya aku ke sini." Aku hanya menganguk saja. Dari ekor mataku, kulihat Kak Ria tengah tersenyum sendiri. Sedangkan Mas Hendi beberapa kali melirik ke arahnya. "Mas, sudah makan?" tanyaku. "Eh? Sudah, Dek. Tadi." "Kamu sudah, Ra?" tanyaku pada Viera. "Belum, Kak." "Ya sudah, Kakak pesan pizza aja, ya?" Viera mengangguk setuju, anak-anak pun bersorak. Pizza memang makanan kesukaan mereka, namun aku jarang memberikan. Meskipun aku mempunyai uang, namun sudah menjadi kebiasaan untuk masak sendiri tiap hari. "Mas, maaf, ya, tadi malah ganggu meeting kamu," ucapku. "Iya, nggak papa." Kak Ria melirik sekilas ke arahku, lalu asyik kembali ke ponselnya. Anak-anak mulai menggelayuti ayahnya. Banyak hal yang mereka ceritakan. Jika melihat keakraban mereka, aku jadi sanksi kalau Mas Hendi tengah berkhianat. "Oh, iya, Kak. Udah punya gandengan belum? Sudah mau kepala tiga, loh," ucapku sambil terkekeh. Mas Hendi langsung tersedak mendengar pertanyaanku. Kuberikan segelas air putih, namun aku kalah cepat dengan Kak Ria. "Makanya, makan itu pelan-pelan. Kakak sudah punya kok, Mel. Cuma ya masih tahap pendekatan aja." "Kakak dari dulu bilangnya pendekatan mulu," ucap Viera. "Memang sudah lama, Ra?" tanyaku. "Sudah sekitar dua bulanan ini." Dua bulan? Lama juga. Jadi, selama ini, aku telah dibohongi begitu lama? S*al! Mama datang membawa pisang goreng. Padahal sudah kutolak tadi karena pizza yang kupesan tadi pun sudah habis. "Nih, makan lagi. Makan kaya gitu, kapan kenyangnya." Namun memang dasarnya doyan makan, pisang itupun tandas juga, hehe. Usai puas bermain di rumah Mama, aku pun mengajak anak-anak untuk pulang. "Kak, mau pulang bareng, gak?" tawar Mas Hendi. Kak Ria melirik ke arahku. Tadi mereka memang ke sini menggunakan mobil Viera. "Dek, kamu nginep emang?" tanyaku pada adik. "Iya, Kak. Mas Bisma mau lembur sampai malam. Aku nggak berani di rumah sendirian." Aku menjulurkan lidah. Ya, nggak ada pilihan lain, kan? Aku pun ikut menawarkan tumpangan pada Kak Ria. "Apa nggak merepotkan, nih?" tanyanya. "Nggak papa, Kak, naik aja." Mobil pun berjalan. Ketika hendak belok ke jalan yang menuju ke rumah Viera, anak-anak tiba-tiba mengatakan ingin buang air besar. "Sabar ya, Sayang. Kita ke rumah tante Viera dulu, abis itu kita pulang. Tahan, ya?" Namun tiba-tiba, Mas Hendi membelokkan mobil ke arah rumah. Loh? "Loh, kok, ke sini, Mas?" tanyaku. "Iya, Hen, ini kan ke rumah kalian. Motorku ada di rumah Viera." "Nggak papa, Kak, nanti setelah antar anak-anak, aku antarin ke rumah Viera." Oh, jadi begini permainanmu, Mas? Sengaja menggunakan anak-anak untuk memiliki waktu berselingkuh? Anak-anak sudah meringis. Benar juga, jarak dari rumah Viera ke rumah kami lumayan jauh. Lebih baik ke rumah saja dulu. Setelah sampai di depan, aku segera menurunkan anak-anak. Mas Hendi masuk ke dalam rumah dan mengeluarkan motor. "Loh, kok pakai motor, Mas?" "Iya, biar cepat sampai. Kasian Kak Ria sudah malam." "Tapi nggak baik loh. Kalian bukan mahram." "Tapi, Bun...." Aku pun tetap menggelengkan kepala. Ini tidak dapat dibenarkan. Selain bukan mahram, bisa jadi ini adalah alasan supaya mereka bisa berduaan di atas motor. "Ya sudah, pakai mobil saja, Hen." Akhirnya Kak Ria membuka suaranya, dengan ekspresi yang sulit kuartikan. "Aku pesankan taksi online aja, Kak." Mas Hendi hendak buka suara, namun aku sudah keburu dapat taksinya. "Sebentar lagi juga sampai, Kak." Aku pun menyusul anak-anak yang sudah di dalam. Namun, baru beberapa langkah masuk, aku mendengar Kak Ria menggerutu dan Mas Hendi hanya menghela napas. Kupasang telinga baik-baik, lalu mendengarkan apa saja yang mereka bicarakan. Ternyata...."Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
KUIKUTI PERMAINAN MANISMU"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?""Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-p
"Apa kabar, Dina." "Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting.""Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya.Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?""I-itu...""Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu
"Apa kabar, Dina." "Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting.""Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya.Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?""I-itu...""Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu
KUIKUTI PERMAINAN MANISMU"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?""Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-p