KUIKUTI PERMAINAN MANISMU
"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?" "Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-puasin sekarang. Yolla dan Friska memang tak kuizinkan memakan mie instan. Selain umur mereka yang masih kecil, juga karena tak baik bagi kesehatan. Tetapi, kenapa aku juga memakannya, ya? Ah, sudahlah. "Mas mau mandi dulu. Gerah." Aku hanya mengangguk sambil terus menghabiskan mie dalam mangkuk. Aku terpaku pada ponsel Mas Hendi yang berkedip lampunya. "Chat dari siapa, ya?" gumamku. Aku pun mengambilnya dan memeriksa dari jendela pop up. Selama ini emang kami saling percaya. Itu sebabnya, memeriksa hal macam ini, sangatlah canggung. Tapi apa daya? Membuatku penasaran saja. Kulirik ke arah kamar mandi, lalu mulai membuka. Terdapat sebuah pesan dari kontak yang hanya diberi tanda baca titik sebagai nama. [Mas, uangnya kurang. Transfer lagi, ya!] Aku termenung. Siapakah ini? Kenapa minta ditransfer uang lagi? Sedang sibuk berpikir, pintu kamar mandi terbuka. Suamiku keluar hanya dengan mengenakan handuk. "Mel, yuk!" "Nggak ah, Mas. Lagi haid!" Aku berdiri mengangkat mangkuk. Sebenarnya bukan sedang haid, hanya saja aku ingin menyelidiki dulu, siapakah pemilik nomor tersebut? Usai membereskan bekas makan tadi, aku masuk ke kamar, menyusul Mas Hendi yang sudah duluan. Saat tiba di sana, kulihat lelaki itu tengah menatap ponsel serius. Dahinya sampai mengkerut begitu. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Oh, nggak. Udah beres?" tanyanya sambil menyimpan ponsel. Aku mengangguk kemudian mengambil baju tidur dan memakainya. Mas Hendi memerhatikanku sejak tadi, namun aku cuek. Pertanyaan demi pertanyaan melintas di otak. Tentang siapa pemilik nomor tadi? "Kenapa, Mas?" "Nggak papa." Aku langsung naik ke ranjang dan memejamkan mata. Namun, belum benar-benar terlelap, terasa badan Mas Hendi turun lalu tak lama kemudian suara pintu berderit kemudian ditutup. Mau ke mana dia? Kenapa tingkahnya seperti maling? Aku mencoba tak peduli. Namun hati tak bisa berbohong. Akhirnya, akupun ikut bangkit dan berjalan mengendap ke luar. Lho, ke mana Mas Hendi? Kucari di dapur, tak ada, di kamar mandi pun sama. "Iya aku tahu. Tapi jangan suka kirim pesan sewaktu aku di rumah. Nanti kalau ketauan Meli gimana?" Samar-samar terdengar suara Mas Hendi dari luar, namun aku cukup mendengarnya. Aku berjalan menuju sumber suara, lalu mengintipnya dari balik tirai. "Iya iya, nanti Mas transfer." ".." "Iya, Sayang. Besok ke kantor aja, oke?" "Ya udah, tidur sana. Nanti cantiknya hilang kalau begadang terus." Ya Allah, Mas! Apakah kamu sudah mengkhianati pernikahan kita? Aku segera berjalan menuju kamar dan membenamkan wajah. Tidak! Aku tak boleh menangis. Aku harus mengusut ini semua. Kriet! Aku segera menutup mata begitu terdengar langkah kaki suamiku mendekat. "Maafkan aku, Meli." Kenapa ia minta maaf? - Pagi menyapa. Sinar matahari mulai menyusup dari celah-celah jendela. Semalaman aku tak dapat tidur. Beruntung tak ada anak di rumah sehingga aku tak begitu kerepotan. "Mas, bangun." Meskipun hati kesal, namun tetap saja aku membangunkannya. Lalu beranjak keluar untuk menyiapkan sarapan. "Nggak ada anak-anak, sepi, ya, Mel?" "Hmmm." Mas Hendi terlihat menengok padaku. Mungkin ia merasa aneh dengan sikapku pagi ini. Setelah mandi, ia bergabung denganku yang tengah sarapan. Tak ada yang berubah dari perilakunya, jatah belanja dan juga ia selalu tepat pulang ke rumah ketika sedang tak ada dinas ke luar kota. "Mel, kamu kenapa?" "Kenapa apanya, Mas?" "Kamu kayak beda." "Cuma perasaan Mas aja, kali." Kami melanjutkan makan dalam diam. Beberapa kali Mas Hendi mencuri pandang padaku, namun aku tetap acuh. "Mas berangkat dulu," ucapnya sambil mengulurkan tangan. "Iya, hati-hati," kataku sambil mencium takzim punggung tangannya. Setelah kepergiannya, aku buru-buru membersihkan rumah, lalu menelpon orang tuaku. "Assalamu'alaikum, Ma." "Wa'alaikum salam." "Ma, Meli titip anak-anak dulu, ya? Ada urusan. Mungkin nanti sore baru bisa pulang." "Oh, yasudah." Gegas mandi dan menata diri. Kemarin Mas Hendi menyuruh orang itu untuk datang ke kantornya pukul sembilan. Sekaran sudah pukul delapan lebih tujuh menit. Jarak rumah ke kantornya memakan waktu setangah jam. Oke baiklah, kupesan ojek online dan berangkat ke sana. "Bu, Meli!" panggil sekretaris suamiku sambil meremas tangannya. Dari gerakan ini saja, aku tahu ia tengah terkejut dan juga gugup."Apa kabar, Dina." "Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting.""Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya.Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?""I-itu...""Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu
"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu
"Apa kabar, Dina." "Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting.""Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya.Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?""I-itu...""Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu
KUIKUTI PERMAINAN MANISMU"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?""Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-p