"Apa kabar, Dina."
"Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting." "Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya. Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?" "I-itu..." "Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu...." "Dobrak atau kalian kupecat!" "B-baik Bu." Brak! Aku tersenyum puas, kini apa yang akan kau jadikan alasan, Mas? Namun saat aku masuk ke dalam, mataku membulat melihatnya.... "Kamu ngapain sih, Mel?" Yang ketemui justru malu. Mas Hendi memang benar tengah rapat bersama seorang lelaki. Duh, kenapa bisa jadi begini? "Maaf, Mas. Abisnya dikunci, makanya aku minta satpam buat dobrak." "Dina, memangnya kamu nggak ngasih tahu Ibu kalau saya sedang rapat?" "Sudah, Pak, cuma ibunya...." "Ini semua memang salahku, Mas. Maaf, ya. Maaf, Pak, sudah mengganggu meetingnya." Pria yang memakai topi itu mengangguk. Tumben sekali, klien Mas Hendi memakai topi begitu. Aku pun keluar bersama yang lain. Kuhampiri Dina yang sudah biasa saja, tak menampakkan kegugupan sama sekali. "Dina, dari pagi, apakah ada orang yang ke sini. Perempuan?" Dina terlihat sedikit terkejut, lalu kemudian menggeleng. "Nggak, Bu. Hanya Pak Santoso saja yang datang karena tengah membahas semua proyek." Aku hanya mengangguk-angguk, lalu mengucapkan terima kasih padanya serta dua satpam lagi yang kuselipkan beberapa lembar merah. "Ini, Pak, makasih sudah bantu saya, ya." "Alhamdulillah, terima kasih, Bu." Aku tersenyum. Jika melihat ekspresi mereka berdua, pasti sangatlah membutuhkan uang itu. Seharusnya aku bersyukur, bisa makan di tengah-tengah paceklik begini memang suatu hal yang perlu kusyukuri. Banyak sekali orang yang mengais rezeki sampai melakukan hal yang haram. Na'udzubillah. "Saya pulang dulu," ucapku pada Dina yang dijawab dengan anggukan. Kustop taxi yang lewat, lalu masuk ke dalamnya. Namun setelah dipikir-pikir, memang aneh. Bukankah kemarin Mas Hendi menyuruh orang yang menelponnya itu untuk datang sekitar pukul sembilan? Lalu, kenapa yang kudapati malah seorang pria yang ternyata memang tengah meeting dengannya? Ah, tau lah! Memikirkannya hanya membuatku pusing saja. "Pak, ke jalan cempaka, ya? Perumahan Callista." "Baik, Bu," jawab supir taksi. Mobil melaju di tengah keramaian. Aku sudah menghubungi Mama akan menjemput anak-ana sebentar agi. Yolla sudah berumur delapan tahun, sementara adiknya berumur enam tahun. Beruntung keduanya sangatlah penurut dan mandi. Oleh sebab itu, aku mengizinkan mereka untuk menginap di rumah neneknya. Saat berhenti di lampu merah, aku tak sengaja menoleh ke arah kanan. Itu, mobil suamiku. Ya, itu memang dia, tapi mau ke mana? Kaca bagian kemudi dibuka, nampaklah Mas Hendi yang tengah bercerita dengan kliennya tadi. Ke mana mereka akan pergi? Tingkah suamiku dan kliennya itu sangat aneh. Pria itu yang bernama Santoso, justru bersikap centil di hadapan suamiku. Satu pemandangan membuatku ternganga. Mas Hendi memeluk lelaki bertopi itu. Astaga, apa yang kupikirkan sekarang itu, tidak benar, kan? Baru saja hendak turun, lampu merah berubah menjadi hijau. Semua kendaraan melaju, begitu pun dengan mobil Mas Hendi. Ah, benarkan?! Pasti ada yang tak beres antara mereka berdua. Jika memang dugaanku kali ini benar, maka.... Mas, sungguh bi*dab kamu! Kita lihat saja nanti, Mas, sampai kejauh mana kamu akan mempermainkanku. Taksi berhenti di depan rumah, aku membayar sesuai argo. "Ini, Pak." "Waduh, Bu, ini tarikan pertama saya, belum ada kembalian. Uang pas aja." "Sudah, nggak papa, Pak. Buat keluarga di rumah," jawabku. Aku langsung keluar setelah lelaki itu berkali-kali mengucapkan terima kasih. "Assalamu'alaikum, Ma," ucapku sambil memasuki rumah. "Wa'alaikum salam." "Mana anak-anak, Ma?" "Tuh lagi nonton tv." "Mama, jangan terlalu dibiasakan nonton tv." Mama hanya meringis saja. Aku pun mengambil remot dan mematikan televisi. Mereka sempat kaget, lalu menghambur ke pelukanku. "Mamaa!" "Kangen, nggak?" "Iya!" "Padahal cuma semalam aja." Mereka tertawa. Kuajak mereka pulang, namun masih enggan. Katanya lagi menunggi Dedek Ataya datang. "Memang Viera bakal ke sini, Ma?" tanyaku. Viera adalah adikku. Kami hanya dua bersaudara saja. Dia pun kini sudah menikah dan tinggal tak jauh dari rumah Mama. Sebenarnya, Mama ingin kami satu rumah. Namun, mengingat banyaknya fenomena ipar, kami memutuskan untuk mandiri. Sementara Mama di sini tinggal bersama Bi Sari, asisten rumah tangga kami sejak dulu. Papaku sudah meninggal, sepuluh tahun lalu. Aku langsung sedih ketika anak-anak menanyakan tentang papanya. "Kamu kenapa, Mel, kok melamun? Wajahmu juga sedikit pucat." Suara Mama menyadarkanku. "Oh, nggak papa, Ma." Kami menghabiskan waktu di rumah Mama hingga sore. Melihat anak-anak betah di rumah neneknya, membuatku berpikir apakah anak-anak juga akan betah jika aku dan Mas Hendi berpisah? Teringat lagi dengan adegan Mas Hendi dengan Pak Santoso. Ya Allah, aku sampai merinding! Namun, bisa juga, kan, kalau wanita itu menyamar sebagai Pak Santoso? Memakai wig dan topi. Jika tidak, kenapa ruangan ia kunci dan Dina sangat panik melihatku datang. Ah, kenapa baru kepikiran sekarang?"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu
"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
KUIKUTI PERMAINAN MANISMU"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?""Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-p
"Kamu serius, Ra?" tanyaku pada adikku itu."Apa aku kelihatan becanda, Kak?" Aku manggut-manggut sambil mengetuk-etuk dagu. Menimbang-nimbang untuk apa Dina ikut? Apakah selama ini dia tahu tentang perselingkuhan Mas Hendi? "Mungkin besok aku harus mengintrogasi Dina di kantor. Bisa-bisanya dia menyembunyikan fakta begini di belakangku." "Setuju, Kak." Aku terdiam. Kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa harus menghadapi kehidupan pelik seperti ini? "Kak, aku tahu ini berat. Tapi, Kakak pasti kuat, kok. Aku juga sudah muak banget sebenarnya. Kemarin sore ajak dia ke sini, karena pengen lihat reaksi dia berhadapan lagi sama Kakak itu kaya gimana. Ternyata, malah biasa aja. Udah nggak ada muka emang." Kugeser kursi tempat dudukku agar lebih dekat dengannya lagi. Kuberi kode agar ia meletakkan Ataya yang sudah tertidur dalam gendongan ke box bayi. "Tapi, Kak, apa nggak sebaiknya Kakak usir aja Mas Hendi? Aku yang orang luar aja udah gemes loh." Aku tersenyum miris. Berbicara mem
Mas Hendi dan Ria masuk dengan wajah percaya diri. Dasar lelaki tak tahu malu, sudah menyakitiku, namun masih bisa menampakkan batang hidungnya di sini? "Loh, kok bisa bareng?" tanya Mama pada mereka. "Iya, Tante. Tadi ketemu di depan," jawab Ria. "Di depan apanya." Tanpa sadar, aku mendumel. "Kenapa, Mel?" tanya Mama. Aku tersadar jika tadi sudah menggerutu, lalu menggelengkan kepala. "Nggak papa kok, Ma. Hehe," jawabku. Mas Hendi menatapku datar. Ya Allah, memang sudah tak ada lagi cinta di sana. "Ma, menurut Mama, kalau misal suami kita selingkuh dengan saudara kita sendiri, apa yang akan Mama lakukan?" tanyaku pada Mama. Mas Hendi melotot menatap ke arahku, sedangkan wajah Kak Ria tampak memucat. Aku tahu, ia tengah takut jika rahasianya terbongkar di sini. "Memangnya, kamu selingkuh, Hen?" tanya Mama. Mas Hendi yang tak siap dengan pertanyaan itu, tergagap menjawabnya dan berhasil membuatku tersenyum sinis. "Bukan, Ma, ini mah teman Meli. Menurut Meli, sangat jahat se
"Ayo, jelaskan." "Kamu tadi sengaja, kan, ngasih pertanyaan menjebak?" Mataku membeliak, sekarang ia mau melempar kesalahan? Pandai betol! "Pinter lah kamu, Mas! Kamu sendiri yang keceplosan, malah aku yang kau salahkan!" Mas Hendi terlihat menggeretukan giginya. Selama kami hidup bersama, baru kali ini kulihat ia bersikap seperti ini. Wah, sungguh hebat pengaruhmu, Ria! Kulangkahkan kaki untuk lebih dekat dengannya. Sepertinya, lelaki ini perlu diingatkan dari mana ia berasal. "Ingat, Mas, jangan banyak bertingkah kalau kamu tak mau aku balikkan ke tempat asal!" Dulu, Mas Hendi hanya seorang office boy, entah apa yang membuatku seakan buta menerima cintanya. Mama dulu pun tak suka, entah mengapa semenjak kelahiran Yolla, sikap Mama berubah seratus delapan puluh derajat. Mas Hendi tersenyum sinis. Sungguh, ini bukan suami yang kukenal! "Coba saja, Meli. Kamu takkan bisa apapun tanpaku." "Haha, Mas-Mas, apa kamu lupa, jika akulah yang mengajarkanmu tentang semua tetek bengek
"Hen, gimana sih? Kok malah jadi gagal begini?" "Sabar dong, Sayang. Kamu jangan khawatir. Nanti malam, aku ke apartmenmu." "Serius?" "Iya. Udah kamu pulang aja naik taksi. Oke?" "Bunda, lagi ngapain?" Hampir saja aku terjungkal karena kaget mendengar suara Yolla. Gadis itu tengah menatapku bingung. Sementara adiknya tengah membuka kulkas, mungkin mencari makanan. "Nggak papa. Sudah malam, tidur, ya?" Friska langsung menutup kulkas, lalu menghampiriku. "Tidur sama Bunda aja!" "Eh, kan Bunda bilang apa?" "Sudah besar, tidur sendiri, mandi sendiri, makan sendiri." "Itu namanya apa?" "Mandiri!" "Apa itu mandiri?" "Apa-apanya sendiri," jawab mereka sambil terkekeh. Menurut anak-anak, itu merupakan hal lucu. Aneh-aneh aja. "Loh, Ma, kamu dari tadi di sini?" tanya Mas Hendi. Aku menoleh ke arahnya yang sudah masuk. Karena posisiku di belakang pintu persis, makanya ia terkejut melihatku. "Iya. Kenapa?" "Eee nggak papa." Mas Hendi masuk ke dalam kamar. Aku pun mengantar ana
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar. "Wa'alaikum salam." Kami semua ke depan, ternyats Viera baru datang. "Kamu ini, Dek. Kok malam gini baru datang?" "Iya, tuh yang ngejemput kelamaan." Lalu, muncullah Kak Ria. Dia sepupu terdekat kami, anak Uwak. "Loh, nggak diantar sama Bisma?""Nggak." "Apa kabar, Kak?" Aku mencium punggung tangannya. Ini seakan sudah menjadi tradisi. Setiap ada yang tua, kita mesti cium tangan. Umur Kak Ria selisih tiga tahun denganku. Kalian pasti berpikir bahwa aku yang muda? No! Kak Ria yang lebih muda. "Mel, di mobil ada buah. Ambilin ya. Kakak capek." "Oke." Aku pun berjalan ke mobil, lalu mengambil buah. Tapi tunggu! Aku berbalik lagi dan mengambil kemeja kemeja yang ada di jok mobil. Sepertinya, aku pernah melihat kemeja ini?! "Mel, udah?" tanya Kak Ria sambil menyusulku. "Nih! Katanya capek?" "Hehe, iya. Abisnya kamu lama banget," ujarnya sambil buru-buru menutup pintu mobil. Aku jadi semakin curiga. Apa yang sedang dia coba tutu
"Apa kabar, Dina." "Alhamdulillah baik, Bu." "Kamu kenapa sampai berkeringat gini?" "Oh, nggak papa, Bu." Aku tersenyum lalu hendak masuk ke ruangan Mas Hendi, saat tiba-tiba tangan Dina menghalangiku. "Maaf, Bu. Pak Hendi sedang ada rapat penting.""Lalu?" "Ibu tak bisa mengganggunya." "Kamu lupa siapa saya?" Dina buru-buru menggeleng. Dia dulu adalah sekretarisku. Ya, ini adalah perusahan keluargaku. Namun karena melihat Mas Hendi yang dulu hanyalah seorang staf keuangan, membuatku berpikir memberikan jabatan ini padanya.Lalu, apa yang kudapatkan? Mungkinkah pengkhianatan? Kutarik handle, namun ternyata dikunci dari luar. Aku menatap Dina. "Tolong jangan masuk, Bu. Nanti saya bisa dipecat!" "Jadi, apa yang dilakukan suamiku di dalam?""I-itu...""Jawab!" "Maaf, Bu, saya tak bisa." Kuembuskan napas kasar. Baiklah akan kudobrak saja jika begini. Aku turun ke bawah dan memanggil satpam. Dina makin kelabakan saat melihatku membawa dua orang itu. "Dobrak!' "Ta-tapi, Bu
KUIKUTI PERMAINAN MANISMU"Huh-Hah!" "Kenapa, Mas? Nggak kuat, ya?""Iya, kamu sih malah minta malam-malam begini." "Ya gimana, dong, Mas, orang aku lagi pengen." Akhirnya, kami melanjutkan aktifitas. Bersama keringat dan napas yang muai tak beraturan. Tak lupa, cairan dari dalam hidung pun sudah keluar. "Meli, lain kali kalau ngajak makan mie pedes kaya gini, jangan malam-malam, ya? Siang aja biar makin hot! Kalah juga sinar mataharinya," ucap suamiku sambil mengelap ingusnya. "Ah, justru enak malam-malam begini, Mas!" "Tetap aja, aku nggak biasa, Mel." Mas Hendi memang tak kuat makan pedas, itu sebabnya ia selalu menggerutu saat aku mengajaknya untuk makan mie instan dari negeri ginseng ini. Aku menyeruput mie terakhir, sungguh nikmat memang. Rasanya seperti menjadi Jeni Blackpink! "Sudah ah, Mel, nggak kuat aku. Buat kamu aja," ucapnya sambil mengangsurkan mangkuk padaku. Aku menerimanya dengan senang hati. Mumpung anak-anak sedang tidur di rumah neneknya, jadi aku puas-p