Bab 44
Aku kembali melanjutkan hidupku seperti biasa. Pelan-pelan, orang-orang mulai lupa dengan gosip heboh yang pernah beredar tentang Mas Iqbal.Kabar perceraianku juga mulai tersebar ke mana-mana. Ketua RT di tempat tinggalku sudah tahu kalau aku telah bercerai dengan Mas Iqbal. Semua tetanggaku sudah tahu kalau aku mulai menjalani hidup dengan status baru."Selamat pagi, Bu," sapaku pada para tetangga yang berpapasan denganku di jalan."Eh, mau ke mana, Mba? Mau berangkat kerja, ya?""Iya, Bu. Mari, Bu." Aku melempar senyum pada semua orang yang bertemu denganku.Begitu sampai di kafe, aku juga menyapa satu persatu pegawaiku dengan wajah cerah. Setelah aku mengambil akta cerai, jujur hatiku kembali rapuh. Untuk menutupi hatiku yang hancur dari dalam, aku berusaha sekuat tenaga memperlihatkan wajah bahagiaku pada semua orang, meskipun senyumanku hanyalah bentuk kepura-puraan.Ya, setelah aku berpisah dari Mas IqbaBab 45Aku terdiam cukup lama. Rasanya canggung untuk menerima ajakan dari Hendra, tapi aku juga sungkan untuk menolak. Lagipula, Hendra hanya ingin menemaniku jalan-jalan. Tidak masalah 'kan kalau aku pergi mencari angin bersama dengan Hendra?"Gimana, Mel?"Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku pun memutuskan untuk menerima tawaran Hendra. "Tapi aku belum tahu mau ke mana, Mas.""Kita bisa pikirin itu nanti. Ayo naik mobilku." ajak Hendra."Kayaknya aku mau naik angkot aja, Mas."Entah kenapa tiba-tiba aku ingin naik angkutan umum. Sudah lama aku tidak naik kendaraan itu yang kini lambat-laun mulai ditinggalkan oleh para penumpang karena kebanyakan orang telah beralih ke kendaraan roda dua."Mau naik angkot? Ya udah, ayo aku temani."Hendra mengikutiku menuju ke halte, lalu kami menaiki salah satu angkot yang kebetulan melintas. Angkutan yang kami tumpangi hanya ada dua orang penumpang. Aku dan Hendra meng
Bab 46Aku tidak sempat menjawab pertanyaan dari Mba Mira karena tiba-tiba ponselku mati kehabisan daya."Untung aja ponselku mati." Sebenarnya, aku sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan dari Mba Mira membuatku mulai berpikir yang tidak-tidak. Kenapa Mba Mira menanyakan hal seperti itu padaku? Memangnya apa pentingnya pendapatku mengenai Hendra?Selama beberapa bulan terakhir ini, aku memang cukup sering bertemu dengan Hendra. Aku juga merasa hubunganku dan Hendra semakin dekat. Tapi aku hanya menganggap Hendra sebagai teman. Aku tak pernah punya pikiran macam-macam terhadapnya."Kayaknya nggak mungkin Mba Mira punya maksud tertentu." Aku segera menepis semua pemikiran tentang ucapan Mba Mira tadi.Pagi harinya, aku bangun agak siang karena aku tidak perlu datang ke kafe untuk bekerja. Rencananya hari ini aku akan pergi ke tempat wisata. Meskipun aku hanya pergi berlibur sendirian, tapi aku yakin ada banyak kegi
Bab 47Perempuan bernama Ayu itu menatap Hendra tak berkedip. Jika dilihat-lihat, wajah itu tampak familiar sekali. Apa mungkin aku pernah bertemu dengan perempuan itu sebelumnya? Tapi di mana?"Apa kabar, Mas?" tanya Ayu pada Hendra.Aku diabaikan sepenuhnya oleh Ayu. Perempuan itu hanya tersenyum dan menatap lurus ke arah Hendra. "Alhamdulillah baik," jawab Hendra singkat."Aku nggak nyangka kamu akan datang ke acara ini."Hendra tak menjawab. Sepertinya Hendra tidak mau meladeni perempuan itu."Kalau begitu, selamat menikmati acaranya, Mas," ucap Ayu, kemudian dia pergi meninggalkan kami.Tak lama kemudian, Mba Mira dan Pak Rayhan muncul bersama seorang laki-laki berjas mewah. Saat melihatku dan Hendra, Mba Mira dan Pak Rayhan langsung menghampiri kami."Perkenalkan, ini sepupu saya, Hendra," ucap Pak Rayhan. "Hendra, ini Pak Willy Salim, pemilik perusahaan furniture yang bekerja sama deng
Bab 48Tanpa mempedulikan permintaan Ayu, Hendra langsung membawaku keluar dari hotel. Aku tak sempat melihat bagaimana ekspresi wajah Ayu, karena Hendra begitu cepat menarik tanganku."Tadi kamu udah makan 'kan sama Mba Mira? Mau makan lagi nggak?" tawar Hendra."Udah malam, Mas. Kita langsung pulang aja," jawabku.Hendra mengendarai mobil dengan santai. Di sepanjang perjalanan, aku dan Hendra saling diam. Aku tak membuka suara, begitu pula dengan Hendra. Wajah Hendra yang terlihat kusut membuatku takut untuk membuka obrolan."Makasih udah nganterin aku pulang, Mas," ucapku pada Hendra sebelum kami berpisah."Aku langsung pulang ya, Mel?""Iya, Mas. Hati-hati di jalan."Aku masuk ke rumah, kemudian merebahkan diri di tempat tidur. Akhirnya aku bisa beristirahat setelah berjam-jam berkumpul bersama para pengusaha elit.Di acara tadi, Pak Rayhan mengenalkanku pada beberapa pengusaha. Aku bisa mencari rel
Bab 49Kulihat Ayu terus melirik ke arahku dan Hendra. Aku sudah berusaha menjauh dari Hendra, tapi dia terus menahanku. "Maaf, Mas. Aku harus ke belakang. Masih ada kerjaan," pamitku."Sebentar, Mel. Jangan pergi dulu. Aku bawa berita bagus untuk kamu. Soal rencana kamu yang mau cari EO buat snack box, aku udah bikin janji temu antara kamu sama temanku," ucap Hendra.Aku merasa Hendra seperti sedang mencari-cari alasan agar bisa berbicara denganku. Tapi jika ini menyangkut pekerjaan, mungkin aku bisa meluangkan waktu sebentar meskipun aku harus menerima tatapan sinis dari Ayu."Mas Hendra, bisa nggak kita ngobrol sebentar?" Beberapa kali Ayu berusaha memanggil Hendra, tapi Hendra terkesan cuek dan tak mau meladeni.Meski aku tidak mau ikut campur, tapi sepertinya Hendra dan Ayu mempunyai hubungan yang kurang baik. Walaupun begitu, hari-hari berikutnya Ayu sering muncul di kafe untuk menemui Hendra.Bahkan saat Hendra t
Bab 50Kubiarkan Ayu pergi setelah dia selesai bicara. Aku tidak terlalu menanggapi ocehan perempuan tidak jelas itu. Kubiarkan saja dia bertingkah dengan segala kesombongannya. Hubungan Ayu dan Mas Hendra bukanlah urusanku, karena aku memang tidak punya hubungan spesial dengan Hendra."Fokus kerja aja, Mel! Nggak perlu memusingkan orang-orang yang nggak penting!" gumamku berusaha menyemangati diri sendiri.Selama ini aku tidak pernah mengganggu siapapun, aku juga tidak ingin mencari musuh. Kalau memang keakrabanku dengan Hendra bisa memancing musuh, maka lebih baik aku tidak berurusan lagi dengan Hendra."Mel!" Hendra melambaikan tangan seraya melempar senyum tipis padaku. Begitu laki-laki dengan tubuh tinggi tegap dan rambut cepak itu masuk ke kafe, aku mulai merasa was-was. Aku benar-benar malas melihat wajah Ayu dan aku tidak ingin perempuan aneh itu kembali berkunjung ke kafeku ini."Kamu belum menukar voucher ke restoran teman aku,
Bab 51"Mba Mira ngomong apa sih? Kenapa Mba tiba-tiba nanya kayak gitu?" tanyaku agak panik. Pertanyaan Mba Mira membuatku salah tingkah."Jawab aja sesuai kata hati kamu, Mel. Mba juga mau tahu, apa kamu udah ada rencana buat nikah lagi? Kamu 'kan udah cerai dari Iqbal. Kamu juga masih muda, nggak mungkin kamu akan menjanda sampai tua."Aku terdiam. Setelah berpisah dari Mas Iqbal, aku sama sekali belum berpikir ke arah sana. Bagi sebagian perempuan yang pernah gagal dalam rumah tangga, menikah bukan prioritas lagi.Lagi pula, aku masih trauma. Aku takut pernikahanku akan gagal lagi. Ada banyak ketakutan dan kegelisahan dalam diriku tentang pernikahan. "Kenapa, Mel? Kamu belum ada pikiran untuk menikah lagi?"Aku mengangguk. Memang inilah yang ada di pikiranku saat ini. Aku takut untuk menikah lagi. Aku juga takut akan bertemu dengan laki-laki yang tidak tepat sama seperti sebelumnya."Sebagai perempuan, aku juga meng
Bab 52"Bu!" Seorang pegawai menepuk bahuku hingga membuatku terperanjat.Tanpa sadar, sejak tadi aku melamun hingga tidak memperhatikan pegawai yang sedang berbicara padaku. "I-iya, Mba?""Pesanan untuk hotel di Bekasi udah siap, Bu.""I-iya, tolong letakkan di meja depan, ya? Sebentar lagi ada yang datang mengambil."Aku memijat kepalaku yang pening. Kata-kata Mba Mira tempo hari membuatku kepikiran. Setelah Mba Mira berkata kalau Hendra menaruh hati padaku, aku belum bertemu dengan Hendra lagi.Entah apa sebabnya, Hendra tiba-tiba menghilang. Sudah berhari-hari dia tidak datang ke kafe, padahal biasanya dia selalu menyempatkan diri untuk mampir meskipun hanya sekedar membeli minuman.Namun, meskipun Hendra tidak datang, Ayu masih saja muncul di kafe. Mungkin Ayu juga tidak tahu kalau Hendra tidak akan datang ke kafe. Awalnya aku tidak peduli dengan menghilangnya Hendra. Tapi, lama-lama aku mulai penasaran da
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang