Hidup memang terus melaju. Esok yang tak kukehendaki pun akhirnya tiba. Usai menikmati satu piring nasi goreng kencur buatan Ibu dan segelas teh pahit hangat, aku beranjak. Ada sesuatu yang terasa hampa, ketika dulu setiap pagi, Mas Imam-lah yang menjemputku ke sini dan kami berangkat kerja bersama.
Aku panaskan sepeda motor bebek yang biasa dipakai Putri kuliah. Toh, kini dia sudah ambil cuti, acara nikahan dengan Mas Imam akan dilaksanakan dua mingguan lagi.“Mbak kok pake motor? Aku mau pergi.” Dia melongokkan wajah dari balik pintu.“Mbak mau kerja. Kuliah kamu ‘kan sudah cuti juga.” Aku menoleh sekilas ke arahnya. Lantas berjalan masuk dan meninggalkan sepeda motor beat keluaran lama yang sedang di panaskan di teras rumah. Kuhanya melirik sekilas padanya yang tengah memoles perwarna bibir warna orange, lalu duduk pada kursi kayu yang ada di ruang tengah dan mengenakan kaos kaki.Putri tampak sudah rapi. Aku menatapnya dari atas hingga bawah. Selalu saja tampilannya seksi. Dia pamerkan lekuk tubuhnya dengan dipakainya baju yang ketat.“Ck! Biasanya juga Mbak naik opang!” tukasnya lagi, bibirnya manyun entah berapa senti. Opang itu kependekkan untuk ojek pangkalan.“Itu dulu, sekarang beda! Dulu, kamu adalah tanggung jawab, Mbak. Sekarang, kamu akan segera jadi tanggung jawab suamimu. Lagian kamu juga sudah cuti kuliah! Lebih baik Mbak pake motor ini, biar hemat ongkos.” Aku melirik padanya. Kumasukkan gawai pada tas yang kusimpan pada meja kayu, meja kesayangan Bapak. Biasanya dulu Bapak menghabiskan pagi sebelum jaga parkiran di depan puskesmas dengan minum kopi di meja ini. Hanya saja, semua itu tinggal cerita. Pekerjaan Bapak harus ditinggalkannya semenjak sakit yang tak kenal waktu dan datang tiba-tiba itu.“Gak bisa gitu dong, Mbak! Aku mau pakai pokoknya!” Dia melengos pergi setengah berlari.“Putri, Mbak Gak ijinin!” Aku bangkit dan menahannya yang sudah hendak melangkah.“Bodo. Aku mau pake, pokoknya, titik!” Ditepisnya tanganku dengan keras. Dia berlari dan tubuhnya menghilang bersama debuman pintu.“Kalian ribut lagi, Va?” Ibu yang baru selesai menyuapi Bapak muncul. Pastinya keributan kami terdengar sampai ke kamar belakang.“Maaf, Bu!”Ibu membuang napas kasar.“Ibu kangen rumah kita yang dulu, Put! Hangat dan ada kalian yang selalu saling dukung dan membuat hati Ibu tenang.” Dia menghampiriku lalu duduk pada kursi kayu di mana tadi aku duduk.“Maaf, Bu. Diva pergi dulu, ya! Assalamuálaikum!” Aku mencium punggung tangan Ibu. Lantas berjalan keluar dan menyelempangkan tas.“Waálaikumsalam!” jawab Ibu. Suaranya mengiringi langkahku.Aku baru melangkah ke pekarangan ketika sebuah mobil fortuner warna putih berhenti di depan. Aku menatapnya, ternyata Bu Faridah. Dia turun dan tersenyum lalu melenggang menghampiri.Gamis berwarna army sepadan dengan kerudungnya, mampu menyembunyikan usianya yang sudah paruh baya.“Kerja, Va?” tanyanya.“Iya, Bu Faridah! Mau ketemu Ibu?” tanyaku.“Iya, Va! Ada Ibunya?” tanyanya.“Di dalam, Bu! Masuk saja!” tukasku seraya mengangguk lantas mempercepat langkah.Ojek pangkalan ada di ujung gang rumah kami. Di sana ada pertigaan. Biasanya ada dua atau tiga orang yang mangkal di sana. Sekarang tak banyak ojek pangkalan, sebagian sudah mendaftar menjadi ojek online. Yang tersisa hanya Bapak-bapak paruh baya dengan motor tua pastinya.***Suasana tempatku kerja masih seperti biasa. Beberapa peserta kursus sudah datang dan tampak tengah menikmati sarapan di area teras kelas. Tempat kursus ini hanya berada di ruko-ruko, terasnya pun gak luas. Hanya saja memang termasuk ruko yang sedikit elit dan harga sewanya lumayan.Aku menyapa mereka. Beberapa dari mereka adalah anak-anak tingkatan SD, ada juga anak-anak SMP dan SMA. Kalau sore, dimulai kelas kursus professional. Di mana ada metode seperti perkuliahan hanya saja memang ilmu praktis yang dipelajari dan bukan hanya teori. Lulusan kursus professional ini akan disalurkan nantinya ke perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang butuh admin level SMA. Meskipun pastinya terlebih dulu hanya diterima dengan sistem magang. Namun, ini sudah menjadi satu daya Tarik para peserta kursus yang melonjak, meski dengan harga bayar sedikit mahal.Aku pun dulu lulusan kursus komputer di sini. Hanya saja, aku gak ambil kelas professional karena ya itu tadi, harganya. Namun, ternyata kursus pun membawa berkah. Sebelum aku dapat sertifikat, bahkan aku sudah direkrut untuk menjadi staff admin. Mas Imam lah yang merekrutku dulu. Ah, apapun tentang pekerjaan ini benar-benar hanya seperti mengorek timbunan luka. Pastinya yang kuingat lagi dan lagi berhubungan dengan Mas Imam.“Pagi, Mbak Diva!”“Pagi, Cha!” “Pagi, Mbak Iva!”“Pagi, Ima!”Mereka rama-ramai menyapaku. Aku pun seperti biasa tersenyum ramah dan menyapa. Hanya saja, senyum ini menghilang ketika daun pintu kaca yang kudorong, mau tak mau membuatku langsung melihat seseorang. Mas Imam tengah mengobrol dengan Mbak Meli---bagian akademik di lobi.“Pagi, Diva!” Mas Imam menyapaku.“Pagi.” Aku menjawab singkat. Kutundukkan kepala dan lekas menuju mejaku dan meletakkan tas di sana.Aku berpura-pura tak menyimak obrolan mereka. Lantas menyalakan layar computer dan mengelap keyboard, meja dan gagang telepon dengan tissue. Namun, si*lnya suara itu mau tak mau membuat aku mendongakkan kepala.“Diva, sore nanti saya mau bicara, bisa?” Mas Imam sudah berdiri di depan mejaku dan menatap tajam. Aku memalingkan wajah. Ada luka yang menganga setiap kali melihatnya. Karena itu, semenjak kejadian menyakitkan itu, aku menutup diri darinya. Hanya saja memang belum bisa pergi ke mana-mana karena aku masih butuh pekerjaan ini.“Lihat nanti saja, Mas.” Aku menjawab malas sambil menunduk.“Selalu saja gitu! Please lah, Diva! Sebentar lagi kita akan jadi adik kakak. Mas gak mau hubungan kita jadi seperti musuh terus. Kita akan jadi keluarga, Diva!” tukasnya dengan ringan.Kubuang napas kasar. Lantas bangkit, mending aku bersembunyi di toilet dari pada ngobrol dengannya.“Va!” Lagi-lagi, untuk ke sekian kali dia berusaha menahan tanganku.“Mas, please! Jauhi aku! Kamu calon adik iparku, jadi .. tolong sopan! Panggil aku, Mbak! Hormati aku, karena aku akan jadi kakakmu, paham?!” kutekankan kata Mbak dan Kakak dengan sengaja. Lalu kuhempaskan tangan Mas Imam yang mencekal lengaku. Lantas tergesa menuju toilet, aku bersandar pada tembok, mengasingkan diri di tempat sempit ini sampai jam kerja dimulai.Begitulah hari-hari yang kujalani di sini setelah kejadian itu. Setiap hari bertemu dengan mantan yang akan jadi adik ipar. Ibarat kata, luka ini terus menerus dikasih tumpahan garam.Bell berdering. Aku yakin Mas Imam sudah pergi ke ruangannya yang ada di lantai atas. Aku baru kembali duduk di depan meja admin dan menyapa Mbak Ana---sang customer yang terkadang membantu pekerjaanku.Beruntungnya, seharian ini Mas Imam ada meeting. Setidaknya mengurangi kemunculannya ke lantai bawah. Aku bisa fokus kerja dan fokus mencari lowongan di sela-sela senggangnya pekerjaan.Istirahat siang, aku makan bareng Mbak Ana di ruang office. Ruko ini gak terlalu luas, jadi memang tak punya kantin khusus. Kami membeli nasi rames. Seperti biasa kami saling cerita, tepatnya Mbak Ana sih yang lebih sering bercerita. Termasuk nasihatnya dia padaku untuk tetap menyayangi diri. Hidup hanya sekali, jangan sia-siakan waktu untuk menangisi seorang pengkhianat, itu katanya.Denting bell terdengar. Aku sudah menyimpan sendok dan garpu ketika jatah makan siangku sudah tandas. Sebelum bangkit, tampak notifikasi email masuk kuterima. Lekas kuusap layar gawai dengan jemari.[Kepada Saudari Diva Wulandari. Surat lmaran Anda sudah kami terima. Mohon untuk bisa datang menghadiri interview besok pukul 08.00 di Ruko Star light – HR Recuritment Kenzo Cosmetic & Skincare center.]Membaca sederet email ini, aku hampir melonjak karena senang. Terasa bongkahan batu besar yang menyesakkan dada perlahan terangkat. Senyumku mengembang. Membayangkan pergi dari sini saja aku sudah bahagia, apalagi jika benar-benar jadi kenyataan. Semoga saja aku bisa diterima di sana dan memulai lembaran baru tanpa bayang-bayang Mas Imam lagi. Selamat tinggal masa lalu, masa depan cerah dan indah itu akan jadi milikku.Aku sudah mengajukan izin pada Bu Ratna---selaku pimpinan LPC Al Huda atau Lembaga Professional Course Al-Huda di mana aku bekerja, pastinya setelah berbincang dengan Mbak Ana. Dia yang biasanya menggantikan tugas pentingku ketika akan ada keperluan seperti sekarang.Pakaian hitam putih sudah rapi kukenakan. Kupoles wajah dengan bedak, tetapi sayangnya malah aneh. Kulitku yang gelap ketimpa bedak yang putih malah terkesan dipaksakan. Akhirnya kucuci lagi muka dan hanya memakai foundation seharga sepuluh ribuan. Tak memunculkan efek apa-apa, hanya saja setidaknya tak terasa terlalu kering. Kupoles lip balm warna natural agar bibirku tampak segar. Kerudung warna hitam menjadi pilihan. Kulipat kerudung segi empat itu dan kupertemukan dua sisinya. Lekas kupakai dengan simetris. Setelah tersemat jarum pentul, lekas aku mengambil tas yang sebetulnya hanya berisikan ballpoint, dompet kecil, ponsel, kotak makan segi empat dan air mineral.“Bu, Diva berangkat dulu!” Aku menghampiri Ibu yang t
Menunggu pengumuman hasil interview sudah seperti nunggu yang ngapel di malam minggu. Meskipun itu dulu,. Berulang kali lihat jam, lihat tanggal, bahkan bolak-balik check email. Huh … tiga hari berasa tiga bulan. Hari ketiga sudah terlewati, tetapi kabar belum juga kudapatkan. Aku, hanya bisa pasrah dan mengirim lamaran lain lagi. Mungkin belum rejekiku di sana. Sementara itu, yang sibuk persiapan pernikahan sudah mulai sebar undangan. Tiap hari sampai bosan lihat wajah-wajah manusia tanpa dosa berkeliaran di rumah. Bahkan, hampir setiap saat pamer kemesraan. Sabaar, Diva! Setelah mereka resmi nikah, mereka akan tinggal di rumah barunya. Setidaknya, kamu bisa menghirup udara bebas.Sore itu, sepulang kerja. Aku diminta Ibu mengantar Bu Minah---tukang pijat yang habis mijat Bapak. Sekalian aku bawa kue untuk dikirim ke salah satu pelanggan Ibu. Ponselku berdering dan menampilkan nomor baru. Bu Minah sudah naik ke atas boncengan, terpaksa aku minta dia turun lagi. “Hallo, Selamat S
Maaf, aku tak lagi peduli. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar. Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan tempat kerja baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut. Lekas aku masuk dan menuju lobi. Benar saja dugaanku, sosok perempuan berparas lembut yang tak lain adalah Bu Faridah---Ibunya Kenzo ada di dalam. Sepertinya dia salah satu pelanggan dari klinik kecantikan di sini. “Pagi, Mbak Intan!” “Pagi, Mbak Diva!” Aku menyapa resepsionis sekaligus kasir yang baru kutahu namanya Intan ketika kemarin mengirimkan email kontrak untukku. Sosok berkerudung warna salem yang tengah memilih produk skincare tersebut menoleh. “Eh ada Diva?” Perempuan yang tak lain adalah Bu Faridah itu menatapku. “Ibu lagi apa di sini? Langganan juga, ya?” Aku menghampirinya lalu menyalaminya dengan khidmat.“Ahm, Mbak Diva!” Aku menoleh pada Intan yang memanggilku. Namun, dari sudut matanya dia ta
“Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan. Lantas aku mengambil sabun mukanya dan gegas membersihkan wajah. Kuabaikan hiruk pikuk dan hingar bingar para tetangga yang sedang rewang dan para kerabat yang juga ikut membantu-bantu. “Eh, Diva, kok baru kelihatan, sih?” Pertanyaan dari Bi Asih terlontar ketika aku kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan sekaligus cuci muka. Kalau dulu, aku cuci muka hanya dengan facial wash yang harganya lima belas ribuan. Kali ini, beda. Aku cuci muka dengan facial wash bagus, tapi gratisan. Ah, andai bisa gratis tiap hari. “Iya, Bi! Habis kerja, hari pertama masa mau izin.” Aku tersenyum. “Oh kamu pindah kerja. Iya, kalau ada kerjaan, mending kerja, lagian di sini sudah banyak yang bantu juga.” “Iya, Bi.” Ah, malas berlama-lama. Gegas wudhu dan mencuci muka. Lalu aku kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Kuapplikasikan skin
Dia tampak duduk dan memainkan gawai. Aku hanya meliriknya sesekali lantas asik makan dan menyuap dengan semangat hingga sebuah chat masuk dari akun bernama pangeran. [Lagi apa?] tulisnya.[Makan. Kamu?] balasku.[Lagi bete. Punya pegawai songong kelewatan.] tulisnya lagi.[Dih, kok, bisa? Yang sabar, ya?] Aku menghiburnya. [Mentang-mentang jam istirahat, gak mau diganggu. Padahal paling mereka juga sempat-sempatnya nyuri waktu kalau lagi kerja. Si*lan memang.] [Sabar, ya. Lagian datangnya jam istirahat.] Aku menanggapinya.[Biasa pesanan nyokap, gak bisa di entar-entar. Tuh, ‘kan bener sudah nelpon. Dah dulu, ya!] Kolom pesan tertutup. “Hallo, Ma! Iya sudah di sini. Lagi pada istirahat! Gak ada orang!” Itulah penggalan kalimat yang kudengar dari Kenzo sebelum dia pergi keluar. Aku menautkan alis, kok bisa nyambung, ya? Baru saja Pangeran bilang ada telepon, eh lelaki menyebalkan itu juga mengangkat telepon, Hmmm … lalu si Kenzo juga panggil Mama, Pangeran bilang nyokap. Hmm, s
“Jodoh dan kematian itu rahasia Allah, Va. Ibu juga harap Bapak panjang umur. Hanya saja, Bapak ingin jaga-jaga, takutnya umurnya di ambil dalam waktu dekat. Dia ingin melihat kamu menikah. Hmmm … andai kamu setuju, Bapak akan terima pinangan untukmu. Insya Allah besok orang tuanya datang ke rumah. Orangnya mapan, tampan dan pastinya bisnisannya banyak. Usianya juga sudah matang dan keluarganya sangat mendukungnya untuk meminang kamu, Va.” Aku menelan saliva. Kini yang hadir adalah dilemma. Kutatap wajah Ibu, lantas kulontarkan tanya, “Apakah Diva kenal siapa dia, Bu? Apa boleh penjajakkan dulu dan gak usah nikah dulu?” tanyaku. Anggukan kepala dari Ibu akhirnya membuatku sedikit lega. Setidaknya, kami hanya saling berkenalan. Jika cocok lanjutkan, tetapi jika tidak maka gak akan dipaksakan. Lagi pula, aku masih baru daftar kuliah. Bahkan perkuliahannya pun belum di mulai. Obrolan yang tengah serius ini, terganggu oleh kedatangan Putri. Wajahnya yang tampak lelah menatap Ibu. “Bu,
“Ahm, siapa mereka, Va?” Kudengar Mas Imam bertanya.Aku belum menjawab ketika suara Pak Rafael mengucap salam, membuatku lebih memilih menjawab salam Pak Rafael dari pada menjawab pertanyaan Mas Imam.“Tumbenan pada rombongan Bu Ida? Mau ada perlu sama Ibu, ya?” tukasku seraya menyalami mereka. Bukan hanya basa-basi, tetapi memang heran juga atas kedatangannya yang tak biasa.“Iya, Va. Sama kamu juga. Ibunya ada?” Bu Faridah tersenyum lembut dan menepuk-nepuk bahuku.“Ibu lagi ke depan bentar, tunggu di dalam saja. Mari masuk!” Aku mempersilakan mereka.Mas Imam pun tak tinggal diam. Dia mengekor di belakangku, setelah berbasa-basi juga dan menyalami mereka satu per satu. “Pak Rafael dan keluarga ada perlu sama Ibu dan Bapak, ya? Mari duduk dulu saja, Ibu baru keluar, kalau Bapak sih ada, tapi paling masih tiduran.” Mas Imam tampak SKSD. Dia sibuk menggelar tikar yang tadi sudah aku siapkan untuk tamu Ibu nanti siang. Eh, ternyata pagi juga ada tamu yang datang.“Makasih, Mas Imam.”
Aku termangu. Chat dari akun Pangeran masuk beruntun. Lalu apa ini? Kenapa dia baru beinisiatif sekarang ngajak ketemuan, sedangkan aku baru saja mengambil sebuah pilihan. Aku memijat pelipis, rasanya, kepala tiba-tiba berdenyut memikirkan hal ini. Bugh!“Aku gak mau!” Suara teriakan disertai debuman daun pintu dari ruang tengah mengejutkanku. Lekas kusimpan gawai dan membuka daun pintu. “Kamu itu istriku, Put! Kita sudah punya rumah, ayo pulang!” Kulihat Mas Imam sudah berdiri di depan pintu kamar Putri yang sepertinya tadi terbuka. Hanya saja kini tertutup kembali. “Aku mau pulang, asal gaji kamu aku yang atur semuanya! Enak aja status doang istri, duitnya sisaan!” Suara Putri memekik kencang. Ibu yang tengah berada di dapur pun menghampiri ke ruang tengah. “Ada apa, Imam? Kenapa Putri?” Ibu menatap menantunya yang tampak mengusap wajah berkali-kali. Mas Imam menoleh pada Ibu dengan wajah lesu. “Tadi Putri keluar, Bu. Aku ajak dia pulang. Hanya saja gak mau.” Suaranya terde
Pov DivaSuasana pagi di sari ater terasa sejuk. Aku masih bergelung di balik selimut. Usai shalat shubuh tadi, kembali memejamkan mata. Rasa lelah cukup terasa kerana perjalanan panjang kemarin siang. Derit pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan hidung bangir dan rambutnya yang tampak masih basah. Satu gelas susu hangat tersaji dalam nampan bersama potongan roti bakar. “Pagi, Adek … Papa bawain sarapan buat Adek.” Mas Iqbal menyimpan nampan berisi sarapan itu di atas meja. Lalu dia mendekat dan mengecup keningku lama. “Duh, Mommy-nya kecapekan, ya?” Dia membelai rambutku yang tergerai ke atas bantal. Aku hanya tersenyum, rasanya kenapa dia makin hari, makin membuatku merasa jadi orang spesial. Perlakuannya tadi malam juga manis banget dan membuat terus terbayang-bayang. Lengan kokoh itu beralih pada betisku, lantas dia pijit perlahan. “Mas, sebelah sini ….” Aku tersenyum malu-malu dari balik selimut, tetapi kuulurkan kaki yang lain agar dipijitnya. Berulang kali dia mi
Liburan, itulah kata yang disepakati Iqbal dan Kenzo pada makan malam terakhir keluarga. Meskipun Kenzo awalnya enggan, tetapi Iqbal meminta sebagai syarat perpisahan mereka sebelum Kenzo pergi ke Surabaya. “Pergilah, Kenz. Kalian juga belum bulan madu ‘kan? Biar sekalian bulan madu saja.” Itulah kalimat yang dilontarkan Bu Faridah ketika mendengar usulan Iqbal terkait liburan. Begitupun dengan Adzkya yang tampak sekali bersemangat, akhirnya Kenzo luluh dan ikut saja.Dia tengah duduk di depan meja kerjanya di dalam kamar ketika Adzkya sibuk packing pakaian. “Mas mau bawa baju mana saja?” Suara itu tak mengalihkan pikiran Kenzo. Sejak tadi dia hanya duduk menatap layar laptop dengan fokus sekali. “Mas!” Sebuah tepukan pada akhirnya mengalihkan dunianya. “Ahm, apa?” Kenzo menatap Kya. “Mau bawa baju mana saja?” Adzkya memasang senyum dan menatap Kenzo lekat. “Pilihkan saja. Gak usah terlalu banyak.” Hanya itu. Dia menoleh malas. Rasanya enggan sebetulnya untuk pergi liburan. Seb
Pov KenzoMataku mengerjap rasa nyari terasa pada bagian perut yang tertusuk masih terasa. Samar aku membuka mata. “Adz—Adzkya?” Kepala terasa berat dan kedua mataku terasa sulit untuk terbuka. Perempuan dengan wajah yang tampak masih pucat itu mengangguk dan menggenggam jemariku ketika lirih kusebut namanya. “K--Kamu baik-baik saja, Kya? Syukurlah ...." Suaraku bergetar antara rasa haru dan lega. Perlahan tangan ini bergerak mengusap pipi tirusnya. Ya, Adzkya memang tampak cantik dengan pipinya yang tirus. Meskipun pucat dan tampak letih, tetapi dia tetap cantik. “Aku baik-baik saja, Mas. Syukurlah kamu sudah sadar.” Adzkya menyeka air matanya yang jatuh. Aku mengangguk. Rasa lega yang kini hadir memenuhi rongga dada terasa ketika melihatnya baik-baik saja. Hanya saja gimana bisa tiba-tiba dia ada di sini? Seingatku malam itu, aku dibopong warga dan tak sadarkan diri. Lalu ketika aku sadar, aku ada di klinik. Hanya setelahnya, aku kembali tak ingat apa-apa lagi. Hanya terdenga
“Pak, boleh tanya. Apa Bapak ada lihat perempuan ini?” Kenzo menunjukkan foto Adzkya. Lelaki itu menautkan alis dan tampak mengingat-ingat. Beberapa detik kemudian wajahnya sumringah.“Ah iya, tadi dia keluar dari masjid sini juga, Mas. Terus dia jalan ke arah sana!” Kedua bola mata Kenzo membulat seketika. Ada secercah harapan dan rasa bahagia. Berarti Adzkya baik-baik saja. “Makasih, Pak.” Kenzo mengangguk, lantas menarik gas dan segera melaju meninggalkan area masjid jami di mana tadi Kenzo berisitrahat. Hati harap-harap cemas karena hari sudah mulai gelap. Ada rasa bersalah menelusup hingga ke dalam dada. Andai dia tak lengah dan becus menjaga Adzkya, pasti istrinya itu tak akan hilang jadinya. Tak berapa lama setelah Kenzo melajukan sepeda motor, ada sebuah masjid yang agak besar di tepian jalan. Lekas Kenzo menepi. Berharap jika Kya singgah di sini. Namun, ternyata tak ada. Bahkan Kenzo sempat bertanya pada beberapa orang dan menunjukkan fotonya, tak ada yang mengenalinya.
Pov 3“Hey, Bung! Berhenti disitu! Gue bakal tuntut lo karena sudah berani mengganggu privasi gue dan masuk ke rumah gue tanpa persetujuan!” bentak Marcello. Namun Kenzo tak menggubrisnya dan terus berteriak memanggil Adzkya dan menyusuri kamar-kamar yang ada di lantai dua. Marcello baru hendak berjalan tergesa mengejar Kenzo yang berada di lantai dua ketika terdengar suara sirine polisi mendekat. Wajahnya tampak ditekuk dan melirik Arpan dan Ardan bergantian.“Paman! Cemen banget ternyata nyali kalian! Urusan kayak gini doang, bawa-bawa polisi?” “Kami hanya butuh surat tugas mereka untuk membantu menggeledah rumah ini, Marcel. Kami tahu, kamu pemain drama yang baik dan dengan dukungan kekuasaan orang tua kamu, bisa melakukan hal-hal abnormal. Jadi, sudah biasa ‘kan? Gak perlu panik.” Ardan berucap santai. Marcello belum lagi menjawab ketika daun terdengar bell dipijitnya. Dia langsung berjalan menuju ke depan untuk membukakan pintu. Sementara itu, Iqbal menelpon Kenzo agar segera
Kenzo berlari gesit melewati jarak-jarak yang tercipta di antara mobil yang terparkir bersama di sepanjang tol. Rambut sebahunya yang ikatannya lepas, bergerak-gerak tak beraturan, sesekali dia menyibak helai yang menutup wajah. Keringat membasahi kaos yang dikenakannya. Kedua kakinya dengan lincah melompat melewati pembatas tepian tol yang tingginya kurang lebih 1 meteran.“Bang, lo di mana?” Ditempelkannya gawai itu ke bibirnya. Kenzo mengirim pesan suara pada Iqbal yang akan menjemputnya keluar dari jalur tol. Namun, sampai dia menurunkan ponsel, urung mendapat jawaban. Tak ada pesan balasan. Kenzo terus berjalan keluar, menyusuri hamparan rumput yang tumbuh subur di tepian tol. Tak lama dari itu, dia harus bertemu tembok setinggi dua meteran yang menjadi pembatas pemukiman dengan jalan raya. Kenzo mendarat dengan selamat di sebuah kebun di belakang rumah warga. Dia pun berlari kecil mencari jalan agak yang terhubung ke jalan raya agar Iqbal bisa menemukannya lebih mudah. Baru sa
Komandan security dengan name tag bernama Rahmat itu mempersilakan duduk. Dia menarik dua kursi dan mempersilakan juga lelaki berpakaian formal yang aku tak diketahui siapa namanya itu. “Silakan Pak Muhyi! Pak Kenzo!” Kenzo dan lelaki berpakaian formal yang disebutnya Pak Muhyi itu pun duduk. Sementara itu, dia sendiri lebih memilih berdiri.Layar komputer mulai terhubung ketika jemari Pak Muhyi mengetikkan sebuah IP adress, lalu dua memasukkan username dan password pada layar. Ada banyak sekali kamera cctv yang terpasang di sana. Dia yang sudah hapal letaknya memilih kamera nomor 25 yang ternyata berada menyorot lebih banyak ke area toilet dan mushola. Mereka menunggu beberapa detik, hingga akhirnya Kenzo melihat sosok Adzkya yang berjalan tergesa masuk ke dalam toilet. Lalu, sekitar sepuluh menit berlalu, di antara lalu lalang orang-orang, terlihat Adzkya keluar. Namun melihat ekspresinya membuatnya yakin, ada hal yang tak baik-baik saja. Hingga sosok tinggi tegap yang hanya te
Pov Kenzo “Terima kasih sudah berbelanja di sini. Silakan datang kembali.” Kasir tersebut menangkup tangan di depan dada dan tersenyum dengan ramah. Dua plastik berisi belanjaan sudah kutenteng. Namun, entah kenapa, Adzkya belum juga kembali. Akhirnya kuputuskan untuk mencarinya ke depan toilet. Aku duduk pada kursi tempat menunggu yang bersisian dengan mushola. Beberapa orang pun tampak ada yang tengah duduk juga. Lima menit berlalu, tetapi Adzkya tak juga keluar dari dalam toilet perempuan itu. Gegas kuambil gawai dan kucari nomornya. [Masih lama?] Aku mengirimkannya pesan. Hanya checklist satu. Aku menautkan alis. Tiba-tiba merasa ada yang janggal. Masa cuma ke toilet saja harus mematikan gawai. “Mohon perhatian! Mohon perhatian! Telah ditemukan sebuah ponsel di depan toilet perempuan! Bagi yang merasa kehilangan, silakan datang ke bagian informasi.” Pengumuman itu diulang sebanyak dua kali. Lalu segera kuhubungi lagi nomor Adzkya setelah suara pengumuman itu terhenti. Kali i
Pov Adzkya Aku menatap wajah tampan yang tengah terpejam di sampingku. Kunaikkan selimut yang tertarik untuk menutup tubuh polosnya. Kuabaikan rasa perih yang mendominasi pada inti tubuhku. Bayangan semalam sekilas melintas dan membuatku tersipu. Akhirnya aku mampu mengalahkan ketakutanku sendiri disentuh oleh lelaki. Aku menekan rasa trauma itu demi menghapus jejak perempuan masa lalu dari hati suamiku. Meskipun, sempat aku gemetar dan berkeringat karena ketakutan yang luar biasa itu muncul lagi. Namun, ternyata aku bisa melawan dan mengalahkannya. Aku beringsut bangun, lalu berjalan menuju kamar mandi. Malam ini sudah kami lewati dengan menunaikan kewajiban masing-masing. Menjadikanku miliknya dan menjadikannya milikku. Meski aku tahu, menyingkirkan masa lalu di hatinya tak semudah itu. Namun, ini harus diperjuangkan. Terlebih ketika kemarin aku mengobrol dengan Mbak Diva dan memancingnya. Sepertinya dia tak tahu menahu tentang perasaan suamiku padanya. Bahkan dia bercerita jika